Koalisi Jumbo, Koalisi Galau?

Bagikan artikel ini
Memilah Asumsi Liar Menuju Pilpres 2024
Konstelasi dalam Koalisi Besar nantinya —kalau PDI-P ikut bergabung— diyakini bakal ada kocok ulang terkait pasangan capres/cawapres. Kenapa? Sebab, beberapa kelompok, faksi, dan partai politik ingin meloloskan jagonya masing-masing. Risikonya, jika blunder memilih pasangan calon, selain bisa menimbulkan friksi di internal koalisi, tak lagi solid, juga Anies —kompetitor utama— bakal kencang melaju. Unstoppable.
Dalam politik praktis, terutama pada laga pemilihan presiden (pilpres), bahwa antara popularitas dan elektabilitas tak selalu berbanding lurus. Boleh saja Koalisi Besar plus PDI-P merupakan koalisi superjumbo (6 partai bahkan bisa lebih) melawan Koalisi Perubahan yang terdiri cuma tiga partai saja. Tetapi, sekali lagi — elektabilitas dalam pilpres ialah hal paling pokok. PS contohnya, boleh popularitasnya paling top di antara para kandidat capres, siapa tak kenal beliau? Bahkan semenjak Orde Baru, nama PS sudah kondang sebagai mantu presiden. Akan tetapi, dalam hal elektabilitas belum tentu. Terbukti ia kalah dua kali oleh Jokowi (2014 dan 2019), sosok yang justru ‘binaan’-nya semasa Pilgub DKI tempo lalu. Pun demikian pula Anies. Jadi, jangan dianggap remeh soal elektabilitas. Dan jangan terjebak oleh popularitas semata.
Di satu sisi, upaya penjegalan terhadap Anies lewat jalur hukum PK di MA dan Formula E di KPK, memunculkan persepsi playing victim di publik. Belum lagi, bebasnya Anas Urbaningrum dari LP Suka Miskin, Bandung. Momen itu bisa melemahkan Koalisi Perubahan bila Anas fight back; namun pada sisi lain, justru pelemahan Koalisi Perubahan bisa melambungkan Anies karena seolah-olah ‘dizalimi’.
Diprakiran ada tiga skenario berkelindan atas situasi tersebut, antara lain:
Skenario I: ketika PDI-P bergabung dalam Koalisi Besar maka hanya dua pasangan bertarung dalam pilpres 2024, yakni calon dari Koalisi Besar (plus PDI-P dan lain-lain) berhadap-hadapan dengan calon dari Koalisi Perubahan. Katakanlah, head to head antara Prabowo versus Anies, tanpa merinci siapa cawapres masing-masing;
Skenario II: jika PDI-P mendeklarasikan calonnya sendiri maka ada tiga calon kandidat capres yakni Prabowo, Anies dan calon dari PDI-P (entah siapa). Di sini, akan muncul kuda hitam;
Skenario III: bila manuver penjegalan terhadap Anies berhasil sukses, maka mapping copras-capres pasti berubah lagi. Dan andai PDI-P tetap di dalam Koalisi Besar maka akan membidani calon tunggal. Katakanlah, Prabowo sebagai capresnya, maka ia akan bersaing dengan kardus kosong di pilpres. Tetapi, jika PDI-P leave group lalu mendeklarasikan calonnya sendiri, bakal ada dua calon di pilpres 2024. Entah siapa calon PDI-P kelak.
Tak dapat dielak, peluang tiap-tiap skenario dari ketiga skenario di atas sepertinya fifty-fifty. Yang jelas, para calon awal (unggulan) oligarki sudah tidak masuk hitungan —elektabiltasnya anjlok— diterjang isu Timnas Israel U-20, dan isu-isu lain.
Nah, dalam kondisi serba tidak pasti ini, nantinya ide perpanjangan waktu masa jabatan presiden akan bergulir kembali. Test the water. Namun, ide dimaksud bakal menuai reaksi (spontan) penolakan baik dari para elit partai, kaum akademis, kelas menengah, maupun kalangan akar rumput. Bila ide perpanjangan dipaksakan, niscaya menimbulkan chaos. Gejolak besar, dan Jokowi bisa distigma ‘common enemy‘. Apapun alasannya, dianggap melanggar konstitusi secara terang-terangan.
Sepertinya, mendekati 2024 terlihat kegalauan pada (wacana) Koalisi Besar. Bolak-balik ngumpul, tidak juga deklarasi. Tak ada keputusan. Retorika menarik muncul, “Apakah kegalauan dimaksud juga kegalauan istana; sebab, selama ini terkesan (seolah-olah) Jokowi yang ‘memimpin’ Koalisi Besar?” Retorika ini tidak perlu dijawab agar tulisan bisa dilanjutkan.
Perkembangan politik itu sifatnya turbulent dan unpredictable. Fluktuasi dinamika menuju pilpres 2024 relatif tinggi. Gerak grafiknya zig-zag, turun naik, nyerong tak beraturan. Pada situasi semacam itu, muncul asumsi-asumsi liar berkelindan, antara lain misalnya:
(1) Jangan-jangan, pada tahap pendaftaran capres nantinya, justru NasDem keluar dari group sehingga presidential threshold Koalisi Perubahan tidak cukup 20% untuk mencapreskan Anies. Dan Anies ‘gugur’ sebelum bertempur;
(2) jangan-jangan, di pertengahan jalan PDI-P memilih Mahfud MD – Ganjar sebagai pasangan capres/cawapres. Ini baru kuda hitam; atau
(3) jangan-jangan, di tengah kegalauan Koalisi Besar berujung gagal, hanya show of force menekan Koalisi Perubahan. Lalu, terbit Dekrit Presiden atau semacam konvensi/kesepakatan nasional untuk kembali ke UUD 1945, kemudian pilpres dilaksanakan melalui MPR lagi. MPR kembali menjadi Lembaga Tertinggi Negara.
Jangan-jangan! Ya, politik praktis itu bukanlah apa yang tersurat melainkan apa yang tersirat, kata Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times (2007).
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com