Betapa Paradoksnya Pemerintah AS Menyikapi Wewenang Juridiksi Universal ICC

Bagikan artikel ini

Masih menyorot soal Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) seturut keluarnya surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, maka dalam seri kedua tulisan ini, saya mau menyorot secara lebih rinci kemunafikan atau standar ganda Amerika Serikat dalam menyikapi keputusan ICC terkait surat penangkapan Putin tersebut.

Terlepas soal adanya Krisis Ukraina yang mana AS sejak 2014 memang secara terang-terangan mendukung rejim pemerintahan pasca lengsernya Presiden Yanukovich, AS sebagai negara yang tidak terikat statute Roma, tidak punya kewenangan secara legal untuk bermanuver lewat ICC. Sebagai negara yang tidak menandatangani statuta Roma, maka AS berarti secara yuridis formal tidak mengakui eksistensi ICC.

 

Baca: Vladimir Putin vs. the International Criminal Court

 

Namun menariknya, sejak meletus Krisis Ukraina, sepertinya ada perubahan ketentuan hukum (legal alteration) yang kemudian memudahkan Washington untuk menjalin kerjasama dengan ICC. Sehingga sekarang AS mendapatkan legalitas untuk bekerjasama membantu ICC dalam proses investigasi. Ini memang aneh tapi nyata. Tidak mengakui ICC secara legal, namun kemudian oleh karena munculnya Krisis Ukraina yang mana AS dan blok Barat berada di pihak Kiev, tiba-tiba saja pemerintah AS mendapatkan payung hukum untuk bermanuver di ICC.

Nampak jelas bahwa oleh sebab pentingnya AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO untuk mendukung habis-habisan Ukraina dan menyudutkan Rusia, maka tiba-tiba saja ICC terkait urusan Ukraina, AS diberi legalitas untuk terlibat dalam proses investigasi kasus Putin. Sehingga di ICC sekarang berlaku dua sistem.

Satu sisi, restriksi dan larangan masih tetap diberlakukan bagi negara-negara yang tidak tergabung dalam ICC untuk terlibat proses investigasi di ICC, namun khusus untuk AS mendapat hak istimewa untuk berperan meskipun bukan anggota ICC, dan bukan yang ikut menandatangani statua Roma.

Kemunafikan AS terkait ICC juga sempat digambarkan secara bagus oleh Human Right Watch baru-baru ini. Betapa AS berkeberatan terhadap juridiksi ICC terkait perlakuan hukum terhadap warga negara berkebangsaan AS yang diberlakukan sama terhadap warga negara berkebangsaan lain yang sama-sama berstatus non-anggota ICC.

Hal ini menurut Human Right Watch, akan membawa implikasi bahwa AS akan mendapat pengecualian untuk ikut terlibat mendukung Ukraina dalam menghadapi Rusia.

Seperti berita yang dilansir The New York Times mengutip pernyataan salah satu sumber, Pentagon menghalang-halangi pemerintahan Presiden Joe Biden untuk tidak berbagi informasi intelijen dengan ICC. Sebab pihak militer di Pentagon menyadari betul bahwa tentara AS terlibat dalam tindak kejahatan perang di pelbagai negara  seperti invasi Afghanistan dan Irak. Sehingga Pentagon sebenarnya cenderung menntang keikutsertaan pemerintah AS dalam proses investigasi ICC terhadap Putin dan Rusia.

Maka dari itu hingga kini masih tetap terjadi perselisihan pendapat antara kementerian kehakiman dengan Pentagon. Bahkan meskipun the National Security Council  berupaya menengahi antara kementerian kehakiman dengan pentagon, namun menteri pertahanan Lyoyd J. Austin III tetap berkeberatan.

 

Dalam Kesejarahannya AS Selalu Berusaha Membuat ICC Lumpuh.

 

Pada 1998, 160 negara menghadiri konferensi untuk merumuskan apa yang kelak kita kenal sebagai Statuta Roma (Rome Statute of ICC). Tujuannya adalah memberikan advokasi adanya juridiksi universal yang memberi wewenang ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional untuk menginvestigasi dan menjatuhkan sanksi hukum kepada negara-negara yang melakukan tindak kejahatan perang terhadap negara manapun di dunia.

Namun AS yang menolak ikut bergabung dalam ICC menghalangi kewenangan Juridiksi Universal ICC dan menegaskan bahwa ICC hanya berwenang menerapkan Juridiksi Universal tersebut terhadap negara-negara yang menandatangani Statuta Roma.

Maka penyikapan AS sejak awal terbentuknya ICC tersebut dijadikan celah yang dieksploitasi secara sadar oleh AS sehingga tentara AS yang terlibat kejahatan perang di perlbagai belahan dunia bisa terbebas dari kewenangan Juridiksi Universal ICC.

Pada tahun 2000, Presiden Bill Clinton memang sempat menandatangani Statuta Roma namun tidak menyerahkannya ke kongres untuk diratifikasi. Saat George W. Bush menggantikan Clinton, membatalkan kembali Statuta Roma yang sudah ditandatangani Clinton. Maka terbebaslah tentara AS yang terindikasi terlibat kejahatan perang di pelbagai belahan dunia seperti Afghanistan dan Irak.

Bahkan Bush kemudian mengeluarkan undang-undang yaitu the American Service members Protection Act. Undang-Undang tersebut memberi kewenangan kepada pemerintah AS untuk menggunakan segala sarana yang dianggap perlu untuk membebaskan warga negara yang terlibat dalam operasi-operasi intelijen atau operasi senyap maupun orang-orang yang terlibat dalam jejaring operasi intelijen dari jeratan hukum yang dikenakan melalui kewenangan Juridiksi Universal peradilan internasional seperti ICC.

Lebih jauh lagi, AS melalui payung hukum undang-undang tersebut, telah membatalkan bantuan-bantuan militer kepada negara-negara yang ikut menandatangani Statuta Roma. Bahkan pada 2004 undang-undang tersebut bukan saja tetap dipertahankan, bahkan melalui the Nethercutt Amendment, kemudian memasukkan pasal tambahan sehingga selain bantuan militer, bantuan ekonomi juga dijadikan alat penekan Washington agar negara-negara anggota ICC tidak kooperatif terhadap skema ICC.

Negara-negara sekutu AS yang tergabung dalam NATO pun terbebas dari jeratan Juridiksi Universal ICC. Yang mana pada intinya AS tidak mau tunduk pada aturan main ICC terkait investigasi maupun sanksi hukum terhadap personil-personil warga negara AS yang terindikasi terlibat kejahatan perang.

Nampaknya pasal 98 Statuta Roma merupakan hasil kesepakatan AS dan ICC, memang telah memberi hak istimewa terhadap Washington. Bahkan pasal 98 tersebut dijadikan senjata politik AS untuk menekan negara-negara yang bermaksud meminta bantuan ekonomi dari AS.

Bocoran WikiLeaks pada Desember 2002 mengungkap adanya ancaman sanksi untuk menghentikan bantuan ekonomi jika menolak mematuhi pasal 98 Statuta Roma itu. Sebaliknya akan memberi bantuan ekonomi apabila mematuhi.

Ini bukti nyata bahwa AS merasa sebagai polisi dunia dan pemegang monopoli hegemoni global. Sehingga Uni Eropa pun berpendapat bahwa negara-negara yang setuju untuk mendukung pasal 98 Statuta Roma hasil kesepakatan AS-ICC, sejatinya sama saja dengan melumpuhkan wewenang ICC.

 

Menurut hemat saya, ancaman dan paksaan Washington kepada negara-negara sedang berkembang agar setuju dengan skema pasal 98 Statuta Roma yang memberi hak kekebalan hukum terhadap para personil militer AS yang terindikasi terlibat tindak kejahatan perang, pada perkembangannya malah jadi boomerang bagi kepentingan nasional AS itu sendiri.

Beberapa negara, terutama negara-negara berkembang, yang merasa berada dalam paksaan dan ancaman AS terkait pasal 98 Statuta Roma itu, kemudian berpaling kepada Cina dan Rusia untuk mendapatkan bantuan ekonomi.

Inilah paradoks AS. Membenarkan ICC atas keluarnya surat penangkapan terhadap Putin, namun pada saat yang sama berusaha mencegah agar tidak diberlakukan pada para perwira militer maupun pejabat pemerintahan AS yang terlibat kejahatan perang. Seperti pada 2017 lalu ketika ICC melakukan investigasi terhadap indikasi keterlibatan tentara AS dalam tindak penyiksaan kepada para tahanan terduga terlibat aksi terorisme. Dan pemerintah AS segeral mengambil tindakan menghalangi ICC menjalankan kewenangannya.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com