Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berpendapat bahwa membantu Ukraina merupakan suatu keharusan baik dari segi pertimbangan moral maupun strategis. Bahwa Ukraina harus berada di garis depan dalam pertarungan antara demokrasi dan kebebasan versus otoriterisme. Namun menurut Ted Galen Carpenter dalam sebuah artikelnya yang menarik, menulis bahwa pembenaran pihak AS dan NATO tersebut tidak punya kredibilitas atas dasar dua alasan.
Pertama, Ukraina itu sendiri merupakan negara yang korup, represif dan otoriter. Bukan negara yang secara sungguh-sungguh berkomitmen pada demokrasi dan kebebasan. Bahkan dengan menggunakan tolok ukur pengertian demokrasi yang sangat fleksibel sekalipun.
Kedua, perang Rusia-Ukraina sejatinya merupakan pertarungan dalam suatu wilayah antar negara yang dulunya pernah bersatu sewaktu Rusia masih bernama Uni Soviet, dan sekarang baik Republik Federasi Rusia maupun Ukraina sudah sama-sama menjadi negara bangsa sendiri. Namun Ukraina secara lokasi geografis tetap dipandang Rusia sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan negaranya, sehingga sangat sensitif bila ada indikasi negara-negara asing ikut campur mendukung Ukraina memusuhi Rusia dari belakang layar. Dengan demikina, perang Rusia-Ukraina sama sekali tidak ada kaitannya dengan konfrontasi antara kebaikan dan kejahatan.
Maka itu menurut Ted Galen Carpenter, adalah sulit buat menentukan seberapa yakin para pemimpin pemerintahan di negara-negara Barat berikut media-media corongnya mengenai bobot moral dari propaganda yang mereka sebar-luaskan ke seluruh dunia. Yang jadi alasan utama AS maupun negara-negara Barat mendorong Washington melancarkan perang proksi terhadap Rusia nampaknya adalah dari segi pertimbangan keuntungan finansial dari Komplek Industri Militer yang sangat besar. Kalau di AS tentu saja yang motor penggerak utamanya adalah Pentagon.
Baca juga:
Using Ukraine as a Bloodied Pawn
Menurut informasi, AS telah menggelontorkan dana bantuan sebesar 100 miliar dolar AS kepada Kiev, dan sebagian besar porsi anggaran tersebut dialokasikan untuk pembelian peralatan militer baik untuk kebutuhan sekarang maupun proyeksi pertahanan Ukraina di masa depan. Misalnya untuk pembelian sistem persenjataan dari Lockheed Martin, Raytheon, maupun pabrik-pabrik persenjataan lainnya.
Perusahaan-perusahaan dan pabrik persenjataan dari Barat terrsebut juga meraup keuntungan dengah hancurnya persenjataan yang sudah dikirim ke Ukraina, sebab dengan begitu persediaan persenjataan AS pun harus segera diproduksi kembali.
Koleksi pesawat-pesawat tempur AS jenis hawk saat ini berada dalam kondisi rawan akibat perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan, sehingga gudang persenjataan AS dan NATO benar-benar terkuras untuk membantu Ukraina menghadapi Rusia.
Baru-baru ini secara tidak sengaja menteri pertahanan AS Lloyd Austin mengungkap adanya motif-motif jahat di balik Perang Proksi Rusia-Ukraina. Dalam pernyataannya pada April 2022 lalu di Polandia seusai kunjungan rahasianya ke Kiev, Austin menegaskan bahwa tujuan Washington bukan sekadar membantu Ukraina menangkis aksi militer Rusia. Namun juga untuk melemahkan Rusia pada skala ketika Rusia tidak mampu lagi menjadi ancaman bagi negara-negara lain. Maka untuk mencapai tujuan tersebut perlu melancarkan perang militer berkepanjangan di Ukraina. Tak peduli jika hal itu akan mengorbankan kehidupan masyarakat sipil di Ukraina. Maka itu AS dan NATO memberikan bantuan militer secara besar-besaran kepada Ukraina.
Menyadari hal itu maka Gedung Putih harus mendorong adanya perundingan damai untuk mengakhiri pertumparan darah di Ukraina sesegera mungkin.
Modus operandi Washington memberi bantuan militer kepada tentara Ukraina itu mirip dengan apa yang dilakukan AS ketika membantu kaum Mujahidin Afghanistan antara 1979-1980 dalam melawan tentara Uni Soviet. Penasehat strategis Presiden Jimmy Carter, Zbigniew Brzezinski, belakangan membuka rahasia bahwa pemerintahan Presiden Carter telah memberikan bantuan senjata kepada kaum mujahidin Afghanistan bahkan sebelum Moskow memutuskan melancarkan serangan militer langsung ke Kabul pada Desember 1979, untuk menghambat meningkatnya pengaruh komunis seturut masuknya tentara Soviet di Afghanistan.
Bahkan semasa pemerintahan Ronald Reagan yang menggantikan Carter, jumlah maupun bobot persenjataan AS yang dikirim kepada milisi mujahidin semakin meningkat.
Maka tujuan strategis AS baik di Afghanistan maupun yang saat ini di Ukraina, untuk mengganggu Rusia dan membuat negara beruang merah tersebut berdarah-darah. Yang mengerikan, seperti belakangan pengakuan Tom Twetten, orang nomor dua di CIA yang berwenang dalam menangani operasi terselubung pada decade 1980an terkait pengalaman di Afghanistan, para pemimpin AS sama sekali tidak punya perencanaan pasca perang untuk Afghanistan.
Dengan begitu, masuk akal jika muncul kekhawatiran terhadap tidak adanya perencaan strategis pasca Perang Ukraina-Rusia sehingga menimbulkan potensi bahaya yang sama seperti yang dialami masyarakat Afghanistan pasca mundurnya pasukan Soviet.
Pada September 2022 dan kemudian pada November 2022, menteri pertahanan Austin memastikan bahwa bantuan militer AS untuk Ukraina akan berlanjut terus selama memang masih dipandang perlu dalam rangka untuk menghadapi agresi Rusia. Presiden Putin pun dengan tak ayal menyatakan akan mempersiapkan rakyat Rusia untuk perang jangka Panjang. Jika demikian berarti kerusakan dan kehancuran Ukraina tak terelakkan lagi seperti halnya Afghanistan pada 1980an.
Sekadar informasi. Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS Jenderal Mark. Milley, memperkirakan bahwa korban jiwa baik dari Rusia maupun Ukraina hampir berjumlah 100 ribu. Baik yang tewas maupun luka-luka. Berapa besar korban jiwa jika perang terus berkepanjangan, tentunya sangat mengkhawatirkan setiap orang yang berakal sehat.
Maka itu perlu adanya perubahan kebijakan di Washington yang membatalkan cek kosong atau blank check kepada terkait bantuan militer ke Ukraina. Sebab kebijakan tersebut terbukti sembrono dan brutal.
Seperti terungkap dalam laporan Stephen Neukam bahwa Ukraina ada indikasi terlibat kejahatan perang dengan menggunakan bom cluster yang menewaskan warga masyarakat sipil. Padahal penggunaan bom clustr telah dilarang karena penyebarannya bisa menghancurkan dan mengontaminasi area sehingga bisa membahayakan kehidupan warga sipil.
Lebih dari semua konstruksi cerita tersebut tadi, sekali lagi terbukti bahwa media massa arus utama di negara-negara Eropa Barat dan AS gagal memberikan gambaran yang seimbang dalam mewartakan perkembangan Perang Ukraina-Rusia. Pada kenyataannya justru media massa arus utama di Barat malah berfungsi sebagai corong propaganda anti-Rusia.
Tindakan pemerintah Kiev yang didukung AS dan NATO dalam pelanggaran hak-hak asasi manusia di Ukraina, layak untuk menjadi sorotan berbagai lembaga internasional. Menganggap sepele pelanggaran pemerintahan Kiev dalam pelanggaran hak-hak asasi di Ukraina dan menganggap berbeda dengan pelangaran hak-hak asasi manusia maupun kejahatan perang yang dilakukan AS dan NATO di Serbia, Irak, Libya dan negara-negara lain di dunia, merupakan jurnalisme yang tidak bertanggungjawab.
Berkenaan dengan hal itu, maka bisalah kita simpulkan bahwa AS dan NATO telah salah dalam membaca konstelasi dan dinamika perkembangan geoopolitik dunia internasional, Kedua, Perang Ukraina-Rusia pada perkembangannya telah membahayakan keamanan internasional mengingat fakta semakin meningkatnya jumlah pasokan dan pengiriman bantuan senjata dan teknologi pertahanan AS dan NATO kepada Ukraina, yang sulit dikontrol dan membuka ruang meningkatnya praktek korupsi berskala besar.
Ketiga, upaya AS maupun negara-negara blok Barat yang tergabung ke dalam NATO untuk meningkatkan bantuan militer kepada Ukraina, pada perkembangannya justru semakin kontraproduktif.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)