Volk Organization Company (VOC)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto – Pemerhati Masalah-Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)

Catatan kecil ini bukanlah cerita VOC-nya Belanda yang doeloe pernah menjajah nusantara sekian lama, tetapi ini adalah potret suatu bangsa yang terjerumus di lubang (sama) nestapa, tanpa ia tahu bagaimana bangun, darimana bangkit, dan kapan memulai kiprahnya di panggung dunia. Ya, catatan ini hanya ungkapan duka anak bangsa melihat hiruk-pikuk para elit negerinya. Hampir tak kunjung usai, akibat sistem politiknya.

VOC kini akronim dari Volk Organization Company, atau arti dalam bahasa Indonesia ialah perusahaan yang mengatasnamakan rakyat. Dan bila dianalogkan pada sistem politik negara disebut Otonomi Daerah (Otoda).

Maka inilah panggung sejarah “proses pembodohan bangsa” berulang seperti masa silam. Terdapat penjarahan segelintir orang kepada kelompok atau golongan; ada fragmen tirani minoritas terhadap mayoritas, atau penghisapan manusia atas manusia (Homo Hominilupus – Bahasa Prancis) tetapi terlihat samar, karena atas nama reformasi, kedaulatan dan undang-undang (UU).

Jika jeli mencermati praktek Otoda di daerah-daerah, ternyata isinya cuma bagi-bagi proyek negara, namun bungkusnya, hey, ini ranah partai! Itu ploting rekanan lama, yang ini jatah bapak-bapak, dan sebagainya. Kasus Garut ialah salah satu yang mencuat sebagai contoh, meskipun sesungguhnya masih banyak kasus lainnya tetapi selesai via jalur “kompromi”.

Fenomena Garut menarik dikaji. Betapa tidak, antara Bupati dan Wakilnya berbagi (proyek). Kompak. Ada Surat Kesepakatan Bersama antara Bupati dan Wakil tentang Pembagian Wilayah Binaan 2009-2014, tertanggal September 2010. Ya, ya! Bupati dapat 23 Kecamatan, sedang Wakilnya 19 Kecamatan. Lalu Sekda pun di non-aktifkan. Edan. Aturan dan UU dianggap dagelan. Bukankah yang mengangkat dan memberhentikan Sekda Kabupaten/Kota itu Sekda Provinsi atas nama Gubernur?

Menyimak hal di atas, itu memang (tersirat) tujuan VOC  — namun tak dirasa oleh semua. Ya, ada devide et impera, tersimpan hidden agenda yakni “ruh adu domba” pada Otoda. Ia menjebak agar banyak Bupati dan Gubernur masuk bui. Sebagai gambaran awal, setidaknya sejak 2005-an, terdapat 150 Bupati/Wali Kota dan 17 Gubernur dipenjara sebab korupsi. Bandingkan dengan masa sebelum Otoda. Mengenaskan sekaligus memalukan. Agaknya ada target stigma supaya republik ini dicap negeri para koruptor oleh dunia. Inilah cermin panggung politik yang memalukan bagi negeri tercinta.

VOC membonceng reformasi di birokrasi. Kedaulatan rakyat dilangkahi. Hukum negara pun dikencingi. Tak heran, jika banyak daerah berani melawan pusat. Seperti mau bangkit raja-raja (kecil) di nusantara ini. Sungguh menakjubkan di negeri ini, dan benar-benar mengherankan. Mencermati fenomena yang marak terjadi, tiba-tiba saya teringat ucapan Eyang Soekarno (BK) tahun 1960-an doeloe, itulah Vifery-Fery Coloso! Atau NEGARA DALAM KEADAAN BAHAYA!

Pertanyaannya, apa beda VOC doeloe dan (VOC) Otoda sekarang ini? Jawaban sederhana : Serupa Tapi Tak Sama. Serupa, karena sama-sama ada penghisapan dan tirani segelintir orang terhadap banyak orang, juga tersembunyi anasir pecah belah disana. Tidak sama, sebab cuma cara dan sarananya saja berbeda.

Bangkitlah Bangsaku!!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com