Welcome to Asia Spring! (Bagian 2)

Bagikan artikel ini

Penulis: M. Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Pendapat Seputar Revolusi Warna

Adanya kesamaan pola antara gejolak politik di Jalur Sutra dengan pergolakan di Serbia sewaktu mengusir Slobodon Milosevic, membuat analis Webster G. Tarpley merasa curiga. Bukankah dalam politik, tidak ada peristiwa terjadi secara kebetulan? Niscaya karena sebab akibat ataupun proses sebelumnya, bahkan kemungkinan merupakan by design secara konseptual. Maka pagelaran politik di Serbia, bukanlah murni hajatan rakyat tetapi karena didukung oleh Amerika Serikat (AS) via Central Intellegent Agency (CIA). Tak boleh dilupakan dalam konteks ini ialah peran National Endowment for Democracy (NED), LSM “seribu proyek”-nya Pentagon yang dibiayai jutaan dolar per tahun oleh Kongres AS. Sementara CANVAS itu sendiri, sesungguhnya mata rantai atau “anak organisasi” dari NED.

Masih ingat statement Alan Weinstein? Ya. Salah satu pendiri NED itu pernah menyatakan: “Banyak dari apa yang kita (NED) kerjakan, secara diam-diam dilakukan 25 tahun lalu oleh CIA” (1991). Dan agaknya, pernyataan Weinstein dapat dijadikan asumsi pembuka guna melanjutkan catatan ini. Pertanyaannya ialah: adakah manuver NED identik dengan “silent operation”-nya CIA?

Pendapat Prof Michel Chossudovsky, pendiri Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, semakin menebalkan pernyataan Weinstein. Ia mengatakan, bahwa Revolusi Warna adalah operasi CIA mendukung gerakan-gerakan protes dalam rangka memicu perubahan rezim di bawah gerakan pro-demokrasi. Tujuan utamanya menggulingkan pemerintahan syah melalui protes dan kerusuhan sosial.

Selanjutnya pendapat wartawan politik Ian Traymor, Frederick William Engdahl dan Ulfkotte Udo, bahwa semua pergerakan terkait Revolusi Warna ini dibiayai AS baik secara langsung ataupun melalui LSM seperti NED, Freedom HouseOpen Society Institute-nya George Soros dan lain-lain.

Sedang pernyataan Andrew Gavin Marshall lain lagi. Peneliti dari CRG, Kanada, pimpinan Chossudovsky menyatakan, bahwa Colour Revolution diduga sebagai awal Perang Dunia III. Menurut Marshall, ini merupakan taktik politik rahasia memperluas pengaruh Paman Sam dan Nort Atlantic Treaty Organization (NATO) menyeberang ke perbatasan Rusia dan Cina sesuai strategi dan tujuan membentuk New World Order(Tatanan Dunia Baru). Salah satu caranya dengan membatasi gerak laju Cina dan Rusia, serta mencegah munculnya tantangan apapun bagi kekuasaan AS di kawasan tersebut.

Asymmetric Warfare

Apapun motivasi Barat sesuai pendapat serta pernyataan di muka tadi, entah dalam rangka membentuk Tatanan Dunia Baru, atau berintikan redesign of power (tata ulang kekuasaan) di negara target dll, maka menelaah manuver Barat melalui aksi-aksi massa baik (Arab Spring) di Jalur Sutera maupun (Colour Revolution) di jajaran negara bekas Uni Sovyet, memang lazim disebut asymmetric warfare atau peperangan non konvesional. Tak boleh tidak.

Isyarat Wakil Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Samsoedin, (14/3), perihal model perang semacam ini layak disimak: ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara”.

Jika mem-breakdown isyarat Sjafrie Samsoedin tadi, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang mutlak dicermati terkait peperangan asimetris: (1) “terjadi tanpa disadari”; (2) “media mengumbar sensasi”; dan (3) “bukan menghadapkan senjata dengan senjata”. Inilah yang sering terjadi di depan mata, namun dianggap wajar-wajar saja.

Flu burung misalnya, dalam perang asimetris itu hanya “isue” belaka. Sekedar permulaan. Oleh karena “tema” (agenda) yang akan diangkat setelah isue ditebar ialah daging menjadi langka, atau daging mahal; sementara “skema” kolonial yang hendak ditancapkan oleh asing di republik ini adalah jerat impor. Entah membuka kran baru, penambahan kuota, dan lain-lainnya. Silahkan analogikan pada sektor-sektor lain. Pola inilah yang acapkali berulang dan berulang. Pertanyaannya: bukankah kronologis muncul flu burung hingga ke jerat impor berjalan serta berlangsung tanpa kita sadari akibat sensasi media serta tanpa melibatkan tentara dan senjata? (Lebih lengkap lagi, silahkan baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung di www.theglobal-review.com).

Sungguh ironis! Negeri dua musim kok impor daging dari negeri yang nyata-nyata empat musim (Aussie); republik yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, kok justru impor garam, ikan; mengapa negeri agraris dengan curah hujan tinggi justru impor kedelai, jagung, beras, dll? Betapa canggihnya permainan kemasan isue, tema dan skema yang dijalankan dalam perang asimetris oleh asing, sehingga banyak elemen bangsa ini melihat dan merasakan peristiwa tersebut dianggapnya hal yang wajar. Mau sampai kapan?

Bersambung (3)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com