Dr Karen Brook dan Dr Jeffrey Winters, Indonesianist AS yang Perlu Dicermati

Bagikan artikel ini

Hendrajit dan Tim Riset Global Future Institute (GFI)

Selain Dr Jeffrey Winter, satu lagi Indonesianist yang patut dicermati. Dia lah Dr Karen Brook, seorang Indonesianist lulusan Cornell University yang perlu dicermati. Saat ini dia aktif di Council of Foreign Relations(CFR) sebagai pakar yang spesialis Indonesia, Asia Tenggara, Timor Timur dan beberapa isu seputar penguatan demokrasi, resolusi konflik dan kesepakatan perdagangan.

CFR, merupakan Dewan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat yang berdiri sekitar 1920-an, yang merupakan dapur memasak kebijakan luar negeri yang melayani hajatan korporasi-korporasi minyak dan tambang milik dinasti John D Rockefeller. CFR sebagai penggodok kebijakan strategis luar negeri Washington senantiasa menggalang berbagai elemen strategis baik dari kalangan akademisi, media massa, kaum profesional, perbankan, komunitas bisnis, dan tentu saja birokrasi lintas kementerian.
Dia mulai mendapat koneksi luas di Indonesia sejak menulis tesis tentang Bung Karno di Cornell University Indonesia Project yang dipimpin Dr Ben Anderson. Sejak masa penelitian tesisnya di Jakarta, dia menjalin kontak kedekatan dan persahabatan dengan Megawati dan beberapa simpul-simpul strategis di Indonesia. Tak pelak lagi, bersama Dr Jeffrey Winters, Karen Brook merupakan orang yang cukup penting dan pemain “garis depan” dalam fase jelang kejatuhan Suharto dan kemunculan rejim reformasi.
Karen Brooks mulai debut akademiknya pada 1995, ketika mulai menerbitkan artikelnya tentang Bung Karno di Jurnal Indonesia, terbitan Cornell Indonesia Project yang berada di bawah pimpinan Dr Ben Anderson. Artikel ini semula merupakan makalah kuliah seminar yang dia presentasikan kepada Dr Anderson pada Desember 1994. Artikel yang intinya melakukan pemetaan terhadap berbagai kelompok yang pro dan kontra terhadap Bung Karno ini, bertajuk The Rustle of Ghost: Bung Karno in the New Order. Tentu saja resminya ini merupakan sebuah kajian akademik.
Namun dari dari sudut pandang analisis intelijen, momentum 1994-1995, kondisi politik dalam negeri Indonesia sudah mulai menunjukkan bahwa kekuasaan Rejim Suharto sudah mulai melemah dan kehilangan soliditasnya di kalangan internal lingkar inti kekuasaan Suharto. Artikel ini sendiri kalau disimak secara seksama, hanya menggambarkan pro kontra antara pendukung diehard Bung Karno dan kubu pro Suharto yang sejatinya anti Bung Karno. Dengan mendasarkan awal kajian pada buku karya politisi veteran Manai Sophian bertajuk “Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G-30-S.”
Namun kalau ditelisik artikel ini, fokus kajian lebih pada pemetaan siapa-siapa yang masuk kategori kubu Pro Bung Karno versus kubu anti Bung Karno. Dengan latarbelakang dan setting politik waktu itu, Brooks dan para Indonesianist yang tidak sekadar berperan sebagai akademisi dan peneliti melainkan juga memainkan operasi khusus bagi kepentingan nasional Washington, akan memiliki pemetaan yang akurat dan tepat mengenai siapa siapa saja yang masuk kategori pro Bung Karno, pro rejim Suharto dan elemen-elemen mana yang pro Suharto namun sejatinya tetap bisa jadi sekutu potensial untuk digalang dalam satu front bersama melengserkan rejim Suharto.
Pada masa kejatuhan Suharto Mei 1998, Bill Clinton menjabat sebagai presiden dari partai democrat. Dari catatan singkat mengenai profil Karen Brooks di data yang terdokumentasi di CFR, Brooks pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat maupun Presiden George W Bush dari Partai Republik, Dr Brook tercatat sebagai salah seorang arsistek utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Indonesia. Beberapa informasi yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, pada masa kepresidenan Clinton wanita berparas lumayan cantik ini berhasil menjadi orang dekat dari Menteri Luar Negeri Madeline Albright.
Seperti publik sudah maklum, lengsernya Suharto pada Mei 1998, antara lain ditandai oleh pidato Menlu Albright yang pada dasarnya bisa dibaca sebagai isyarat bahwa Washington sudah tidak mendukung lagi keberlanjutan rejim Suharto. Apakah Dr. Brooks memainkan peran penting dalam memberi masukan-masukan bagi Menlu Albright. Kiranya memang perlu kajian lebih mendalam. Namun yang pasti, ketika masa kepresidenan Bill Clinton berakhir dan Menlu Albright pun harus mundur dari jabatan sebagai menlu, alumni Cornell University yang mengambil progam masternya dalam Asian Studies ini, kemudian sempat bergabung beberapa saat di National Democratic Institute (NDI) karena diajak oleh madam Albright  selepas jadi menlu diangkat sebagai Direktur NDI.
Kenyataan pada fase jelang kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid ke Megawati, Karen Brook praktis punya “jalur komunikasi khusus” yang bersifat langsung ke Megawati dan lingkaran dekatnya, maka dalam studi studi tentang peran Para Indonesianist Amerika, kiranya perlu kajian khusus seberapa besar peran Karen Brook dan kawan kawan Indonesianis lainnya dalam ikut mengatur konstalasi politik di Indonesia. Yang jelas, bahkan semasa kepresidenan George W Bush yang notabene berasal dari partai yang berbeda dengan Partai Republik, Karen Brooks sempat dipercaya sebagai Direktur untuk masalah-masalah Asia di National Security Council (NCS). Sebuah badan pembuat kebijakan strategis yang berada dalam kendali langsung Presiden Bush di Gedung Putih.
Satu lagi catatan menarik. Dr. Karen Brook saat ini telah menerbitkan sebua buku berjudul Indonesia’s Lesson for Egypt yang mana hal ini mengindikasikan bahwa penggusuran Preisden Mesir Hosni Mubarak tempo hari, merujuk pada keberhasilan Menggusur Rejim Suharto pada 1998. Yang tentunya bisa diartikan secara tersirat bahwa Amerika terlibat secara aktif baik dalam penggusuran Suharto maupun Mubarak. Dan yang lebih aneh lagi, secara khusus melalui bukunya ini, mengulas perbandingan antara Moslem Brotherhood/Ihwanul Muslimin dari Mesir dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Indonesia. Baik kesamaannnya maupun perbedaannya.
Dr. Jeffrey Winters: Konseptor Deregulasi Kebijakan Ekonomi Suharto Lewat USAID 
Bagaimana halnya dengan Dr. Winter? Sejauh yang saya ketahui, dia punya beberapa contact person yang bisa dikategorikan sebagai JARINGAN INFORMAL KADER KADER PSI yang dekat dengan Dr Sri Mulyani dan Menteri Keuangan Agus Martowardoyo. Yang boleh dikatakan berada dalam orbit jaringan PSI Sumitro Djoyohadikusumo.
Melalui jaringan inilah, Dr. Winter menjalin kontak dan koordinasi ketika mulai aktif melancarkan operasi intelijennya yang berkedok sebagai Ilmuwan. Mengingat pengaruh yang besar dari jaringan PSI terhadap media media arus utama/mainstream seperti harian Kompas, Majalah Tempo dan beberapa stasiun televisi swasta, nampaknya peran yang dimainkan Dr Winter adalah sebagai OPINION BUILDER/agen pembentuk opini publik untuk memanaskan situasi sepanjang 2013-2014.
Ihwal peran dan kiprah Winters, menarik menyimak cerita versi Entjeng Shobirin Nadj, mantan Wakil Direktur LP3ES (salah satu LSM/NGO terbesar di Indonesia pada masanya). Menurut penuturan Shobirin,  peran Jeffrey Winter dalam operasi intelijen Amerika di balik gerakan reformasi di Indonesia bertumpu pada kelincahan bergaul, lobi dan jejak langkah dia yang sudah dirajut jauh-jauh hari sebelum tumbangnya pemerintahan Orba rejim Suharto.
Selanjutnya Shobirin yang saat ini masih menjabat Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Dr. Winters makin dipercaya Washington setelah dia, antara lain, sukses menjadi konseptor deregulasi kebijakan ekonomi Soeharto/Orde Baru melalui USAID.
Didukung pergaulannya yang luas, dan mencakup berbagai kalangan, serta pemahaman politik (ekonomi politik) Indonesia yang cukup mendalam telah membuat Dr. Winter berhasil memainkan peranan penting dalam proses perubahan politik yang ujung-ujungnya telah memporak-porandakan ekonomi dan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 yang tidak menguntungkan kepentingan AS.
Senada dengan analisis Global Future Institute, Entjeng Shobirin juga memandang kedekatan Winters dengan kubu Megawati memang sudah berlangsung sejak masa-masa awal kemenangan Mega di pucuk pimpinan PDI di mana dukungan moral Winters cukup berandil dalam meneguhkan ketegaran Mega waktu itu.
Perlu ditelusuri secara lebih mendalam seberapa jauh peran Winters pada masa peralihan dari penjatuhan Presiden Abdurrahman Wahid ke Megawati. Seberapa besar peran Winter sehingga Taufiq Kiemas dengan mudah dapat diterima Washington dan memperoleh restu dan dukungan untuk menaikkan Mega dengan menggeser Abdurrahman Wahid sebagai Presiden pada kemelut politik tahun 2001. Semua itu menunjukkan bahwa Dr. Winter tercatat lebih powerful daripada seniornya, William Liddle sebagai kaki tangan CIA berkedok sebagai ilmuwan Indonesianist.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com