Gejolak Timur Tengah, Kebangkitan Kelompok Negara Jalur Sutra (1)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)

Mencermati pergolakan politik di Maroko, Tunisia, Al Jazair, Mesir, Jordania, Yaman, dan seterusnya —  kok kompak ya — menarik untuk dikaji. Gencarnya media seringkali cuma memblow up “apa yang terjadi”, yaitu gerakan massa menginginkan pergantian rezim. Kendati sudah jatuh korban baik luka, harta benda bahkan korban jiwa, tidak membikin massa gentar dan surut, justru menyulut pergerakan semakin meletup-letup. Ya, untuk beberapa bulan ke depan, barangkali “geliat” negara-negara di seputar Jalur Sutra bakal disorot oleh mata dunia.

Tulisan tak ilmiah ini, mencoba menjelaskan bukan dari aspek “apa yang terjadi” — tetapi mencoba “slulup” (menyelam), lalu menguak persoalan dari sisi “mengapa ia terjadi”, baik dari aspek internal maupun eksternal. Dan semoga celoteh ini bukan potongan secara parsial dari hakiki permasalahan yang terjadi. Inilah ulasan sederhananya.

Berangkat dari asumsi : bahwa konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Itu mutlak, karena memantau gejolak dan gerakan massa di Timur Tengah (Timteng) harus totalitas dan bulat. Artinya ialah apapun gejolak di Timteng dan sekitarnya, terutama negeri seputaran Jalur Sutra — apabila ia menyangkut politik dan kekuasaan, sesungguhnya tak lepas dari “remot” Amerika Serikat (AS) dari kejauhan. Indikasi itu terlihat di Mesir. Adanya statement beberapa pakar dan tokoh Mesir sendiri menyebut, bahwa siapa memegang tampuk kekuasaan di negeri piramida harus melalui “restu” dari Paman Sam. Meski kebenaran pendapat tersebut sempat kabur dengan turunnya 1500  tentara Israel membantu pemerintah Mesir, ditambah bertolak-belakangnya statement antara Tel Aviv dan Washington.

Namun akhirnya terkuak bahwa ternyata hanya soal ketakutan berlebihan (phobia) Israel ditinggal sendirian jika Mubarak jatuh. Bagi Israel, kejatuhan Mubarak, selain akan menghilangkan sekutu dekatnya — juga bisa berimbas putusnya pasokan 40 % gas dari Mesir jika kelak rezim penggantinya sosok anti-Israel. Dan phobia Israel terbukti dengan meledaknya pipa yang mentransfer gas ke negaranya. Disinyalir pergolakan di Mesir akan menciptakan kekacauan ekonomi Israel. Tel Aviv khawatir perubahan rezim di Mesir kemungkinan akan merugikan impor gas, sebab cadangan gas Israel hanya bertahan hingga 2012 (06/02.2011/IRIB/Farsnews/Aljazeera/AR). Dan ternyata meski rezim belum berganti –Mesir terus bergolak– pasokan gas ke Israel terputus sudah!

Kisruh politik di kelompok negeri seputaran Jalur Sutra memang tidak sporadis atau berdiri sendiri-sendiri. Seperti ada skenario besar yang tengah dijalankan. Ada wayang, dalang dan juga terdapat kelompok hajatan atau yang punya hajat. Mari kita cermati aspek internal dan eksternal :

Pertama :  Aspek Eksternal

Bermula dari munculnya WikiLeaks yang di-HERO-kan berbagai media sebagai simbol kebebasan dan cermin kuatnya dinamika (informasi) global. Awal kemunculannya menimbukan decak kekaguman berbagai pihak, namun rupanya ada hidden agenda (agenda tersembunyi) tak terbaca. Dunia tersihir oleh keberanian sosok individu menantang negara-negara, dan “kebenaran” informasi yang dibocorkan.  Itulah fenomena Julian Assange. Loncatan logika yang tidak terbaca adalah, kenapa potret lazy joernalism (kemalasan jurnalis) justru digembar-gemborkan oleh media itu sendiri; siapakah individu atau perorangan di dunia ini yang berani melawan banyak negara, selain Superman, Spiderman, Popeye dan Osama?

Sekali lagi, dunia tersihir hingga lupa membaca hal tersirat pada fenomena. Padahal politik praktis adalah apa yang tersirat bukan yang tersurat (Pepe Escobar, 2007). Tiba-tiba saya teringat ajaran leluhur doeloe : wong wani iku kudu duwe bunci, wong kendel kudu duwe piandel  (terjemahan bebasnya : orang berani itu harus ada modal dan punya andalan/diandalkan). Pertanyaannya adalah : Apa modal WikiLeaks, dan siapa andalan di belakang Assenge?

Mengurai hipotesa, modal apa dan siapa yang diandalkan WikiLeaks hingga Assange begitu hero melawan negara-negara, ternyata jawabannya ialah media New York Times/NYT (Michel Chassudovsky dan Dina Y Sulaiman, 2011). Indikasi ini tampak jelas, selain kesamaan fokus geopolitik WikiLeaks pararel dengan geopolitik AS yakni oppressive regimes di Asia, Cina, Rusia dan Timteng, juga dikatakan oleh David E Sanger dari NYT, bahwa seleksi dan editing informasi yang hendak dibocorkan Assange kepada publik justru dilakukan pemerintah AS itu sendiri. Gila! Inilah “dagelan politik” tingkat tinggi yang baru terurai. Maka pantaslah jika Presiden Ahmadinejad menanggapi, “Materi itu bukan bocor, melainkan dilepas secara terorganisir. Pemerintah AS melepas data-data itu, yang tidak memiliki nilai legal dan tidak akan memiliki dampak politis atas kepentingan mereka”.

Pertanyaannya adalah : Apakah “dagelan” ini layak dianggap sebagai sikap hero guna membangkitkan opini publik melawan kebohongan media dunia? Siapa sejatinya yang pembohong?

(Bersambung-2)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com