Indonesia Butuh Ekspedisi Pamalayu Jilid II

Bagikan artikel ini

Nugroho Prasetyo, Komandan Markas Besar Front Pembela Rakyat 

Di era kepemimpinan Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusoottama Wira Asta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa alias Kertanegara# (1268-1292), Kerajaan Singosari menjadi entitas pemersatu Nusantara. Menurut keterangan Prasasti Mula Malurung, Kertanegara adalah raja terbesar Singosari. Di masanya, ia banyak membina hubungan diplomasi dan membangun kerjasama dengan luar negeri. Efeknya, banyak tenaga kerja asing (TKA) —-dari China Daratan, Vietnam, Thailand dan Singapura—- yang mengais rejeki di tlatah Singosari. Namun, di balik kebaikan pemerintah Singosari, para pendatang itu menusuk dari belakang. Pelan-pelan mereka mengikis pranata sosial yang berlaku di wilayah konfederasi Singosari.

Di tengah-tengah situasi dalam negeri yang penuh tikungan tajam seperti itu, pada 1275, Kertanegara mengaktifkan operasi militer untuk mempertahankan teriritorial yang dipimpin oleh Kebo Anabrang. Operasi bersandi “Ekspedisi Pamalayu” itu membuahkan persekutuan —-yang disepakati oleh Jambi, Pahang, Gurun dan Bakukapura, serta Melayu pada 1282—- untuk menguasai jalur ekonomi dan pertahanan-keamanan di Selat Malaka.

Kesuksesan ini disusul dengan integrasi Bali lewat “Ekspedisi Pabali” (1284). Ia mengutus Kebo Bungala, Kebo Anabrang, Patih Nengah, Jaran Wa, Arya Sidi dan Amarajaya untuk menaklukkan Pulau Dewata. Selain mengkonstruksi Nusantara, lewat dua operasi militer terbatas tersebut, Kertanegara menancapkan kuku pengaruhnya di Asia Tenggara sekaligus membendung pengaruh Mongolia yang saat itu sudah melumuri seluruh daratan Asia. Ekspedisi Pamalayu, Ekspedisi Pabali dan Chakravarti Mandala Dwipantara yang dijalankan Kertanegara membuat penguasa Dinasti Yuan nun jauh di sana murka hingga mengirim diplomatnya (1289-1290) untuk menyampaikan ultimatum.

Apa yang terjadi?

Sambil merobek-robek surat Kubilai Khan, Kertanegara menolak keras ultimatum tersebut. “Sampaikan kepada rajamu, aku dan Singosari tidak sudi tunduk di bawah kaki kekuasaan Mongolia !”, katanya lantang. Wajahnya tegang memerah menahan luapan amarah.

Tidak hanya sampai di situ. Ia mengambil pisau, lalu ia memotong telinga Meng Khi, salah satu utusan yang dikirim Kubilai Khan. Tindakan keras Kertanegara itu adalah jelaga hitam penghinaan yang menyiram wajah imperium kekuasaan Mongolia, kekaisaran kedua terbesar dalam sejarah dunia —-hanya dikalahkan oleh imperium Britania—- yang menguasai wilayah seluas 33 juta km² yang membentang dari Korea hingga Hongaria dan dari Siberia hingga India, melebihi wilayah yang ditaklukkan oleh orang Romawi selama 4 abad, hanya dalam tempo 25 tahun, dengan jumlah penduduk di atas 100 juta orang dan menjadi yang terkuat di antara semua kekaisaran abad pertengahan itu.

Insiden Meng Khi itu adalah lonceng peperangan antara “Nusantara vs China Daratan Jilid I”. Akhirnya, pada 1293, Kubilai Khan mengirim 20.000 tentara asal Hokkian, Jiangsu dan Hukuang yang dikomandani Shih-pi, Using dan Ike Mese. Mereka mendarat di Tuban untuk selanjutnya menyerbu melalui rute Kali Sedayu maupun Kalimas. Sebelum tentara Mongolia menuntaskan dendamnya, Kertanegara gugur saat menghadapi pengkhianatan sepupu, ipar sekaligus besannya, Jayakatwang.

Kelak, barisan tentara Mongolia itu dilumat habis oleh pasukan berani mati pimpinan Raden Wijaya. Pada tahun 1293, Raden Wijaya menyiram jelaga hitam penghinaan kedua ke wajah mereka setelah Kertanegara melakukannya 13 tahun sebelumnya.

Kekaisaran raksasa yang menciptakan fase paling traumatis yang menghantui sejarah Rusia sampai sekarang itu menerima kekalahan paling memalukan sepanjang sejarah mereka. Serangan Mongolia 724 tahun yang lalu itu membuktikan, bahwa bangsa Indonesia tidak bisa didikte oleh kekuasaan asing.

Sejarah menulis dengan jelas, Nusantara yang dikonstruksi oleh Kertanegara melalui Ekspedisi Pamalayu dan Ekspedisi Pabali dirongrong ke arah disintegrasi oleh para pendatang dimaksud pada paragraf pertama tulisan ini. Bahkan, di dalam buku tafsir sejarah Negara Kertagama karya Slamet Mulyana disebutkan, bahwa warga pendatang dilarang keras melakukan aktivitas di sepanjang Sungai Panjalu karena berperilaku culas.

Situasi akhir abad ke-12 itu ternyata berulang kembali di abad ke-21. Tanpa disadari, angin puting-beliung yang dikirim oleh rezim Xi Jinping mulai memporak-porandakan pranata sosial bangsa. Asymmetric warfare yang dilancarkan RRC merusak tatanan negeri ini. Hari ini, perilaku para TKA asal RRC tak ubahnya perilaku para pendatang yang dulu mengikis pranata sosial yang berlaku di wilayah konfederasi Singosari. Tidak tahu diri. Tidak tahu tata-krama dan sopan-santun, bahkan cenderung kurang ajar. Kalau dibiarkan terus, mereka akan besar kepala.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com