Jokowi Menggiring Indonesia Masuk Skema Kapitalisme Global WB-IMF

Bagikan artikel ini

Presiden Republik Indonesia yang ke-7, Jokowi kembali unjuk gigi dalam kemahirannya beretorika. Retorikanya berbunyi seperti ini “Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank (WB), IMF (International Monetary Fund) atau oleh ADB (Asian Development Bank) adalah pandangan yang usang, yang perlu dibuang”.

Begitulah pernyataan yang ia sampaikan 3 tahun silam dalam momen peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Kala itu, banyak kalangan yang berharap Indonesia akan keluar dari cengkeraman kapitalisme global tersebut. Namun tepat pada Oktober ini, Indonesia malah justru menjadi tuan rumah bagi perhelatan dua organisasi keuangan terbesar di dunia itu (WB-IMF). Dan ini semakin membuktikan, pidato Jokowi dalam KAA itu hanya sebatas retorika politik atas nama pencitraan kepada dunia internasional, khususnya untuk Cina.

Nusa Dua, Bali dipercaya menjadi tempat berlangsungnya pertemuan dari 189 negara, yang mana kemarin (8 Oktober) sudah masuk pada agenda pembuka pertemuan. Bagi para petinggi republik sekarang ini, dengan Indonesia didapuk sebagai host country, lalu kemudian dilihat sebagai suatu keuntungan. Tak tanggung-tanggung demi seonggok keuntungan itu, Indonesia rela mendandani Bali hingga menelan anggaran negara sebanyak 855,5 Milyar rupiah ditengah duka bencana Palu dan Donggala.

Menurut Luhut Binsar Pandjaitan yang juga sekaligus ketua pelaksana acara tersebut menganggap Indonesia akan mendapat ganjaran yang setimpal bahkan lebih dari apa yang telah digelontorkan. Pasalnya, dengan pertemuan akbar yang dihadiri oleh banyak perwakilan negara ini akan menggenjot pertumbuhan ekonomi sampai 0,5 persen dengan memanfaatkan sektor pariwisata yang tentunya akan berimbas pada peningkatan devisa.

Namun, apakah ini suatu tren positif bagi perekonomian Indonesia dengan menggantungkan harapan kepada dou institusi keuangan Barat itu? Mengingat hubungan kerjasama yang terjalin bersifat antagonistik. Karena pada perjalanannya, keuntungan yang diraup oleh dua produk dari kapitalisme ini jauh lebih banyak dan serakah.

Hal ini dapat disaksikan diantaranya dengan ganjaran hutang berikut dengan bunga yang harus diderita Indonesia dan tentu akan berimbas kepada legitimasi politik, jika Indonesia tidak mampu membayarnya. Melalui logika ekonomi-politik tersebut, nampaknya para pemuka negeri ini bertindak secara keliru (jika tidak ingin dikatakan bodoh) dalam memahami hajat dari WB-IMF yang sebenarnya. Alih – alih ingin mencicipi pertumbuhan ekonomi, justru Indonesia kini semakin jauh masuk perangkap kapitalisme global yang picik.

WB-IMF Sebagai Senjata Kapitalisme dan Jokowi Menggiring Kepadanya

Demonstrasi penolakan IMF-WB oleh aktivis agraria/spi.or.id

Yang menariknya, IMF sendiri dalam artikel pada laman pribadinya yang bertajuk Neoliberalism: Oversold? Sudah mengungkapkan bahwa jati diri institusi keuangannya adalah sebagai skema neolib.

Tulisnya seperti ini “ The neoliberal agenda have two main planks. The first is increased competition – achieved through deregulation and the opening up domestic markets, including financial markets, to foreign competition. The second is a smaller role for the state, achieved through privatization and limits on the ability of governments to run fiscal and accumulate deb”.

Artikel dari laman pribadi IMF tersebut sebetulnya bukan menjadi hal yang menghebohkan. Karena mau tidak mau, segala tindak-tanduk IMF harus berlandaskan pada Konsensus Washington.

Sementara itu yang menjadi inti dari konsensus internasional yang digelar di jantung kota negara AS itu berkutat seputar; liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Terlepas dari pernyataan IMF diatas, sebetulnya skema WB-IMF ini secara historis memang diperuntukkan sebagai langkah Barat dalam melanggengkan kepentingan kapitalisme. Sebagaimana yang dapat disaksikan pada sejarah, perjanjian Bretton Woods 1944 merupakan tonggak dari lahirnya kedua institusi keuangan ini.

Saat itu, WB difungsikan guna memberi pinjaman untuk negara-negara yang baru merdeka atau hancur akibat PD II sebagai modal pembangunan yang bersyarat sesuai skema WB. Sedangkan IMF bertujuan memberi pinjaman bagi negara-negara yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri dengan juga memasukkan disiplin finansial tertentu, diantaranya berupa bunga pinjaman.

Adapun bagi Indonesia sendiri, cikal bakal merangsaknya WB-IMF selain diawali oleh UU. No.2 1968 tentang penanaman modal asing, akan tetapi pintu masuknya pertama kali dimulai saat liberalisasi sektor perbankan 1988.

Dengan adanya liberalisasi ini, banyak bermunculan bank-bank swasta yang mengakibatkan para pengusaha swasta melakuan pinjaman devisa secara besar-besaran dengan gunakan bank swasta sebagai kendaraannya.

Dampaknya rezim Suharto tidak sanggup mengontrol pinjaman luar negeri itu dan berimbas kepada merosotnya nilai tukar rupiah. Hal ini bermuara kepada gejolak moneter di dekade akhir 90-an dan sekaligus menandakan bantuan asing melalui IMF ini masuk hingga merajalela seperti sekarang.

Dengan segala bantuan yang konon katanya benar-benar membantu negara-negara berekembang, namun nampaknya baik WB dan IMF ini adalah agen yang memfasilitasi korporasi kapitalisme global dalam memuluskan ekspansi pasar yang semata-mata untuk kepentingan akumulasi kapital.

Bagi seorang Rosa Luxemburg (pemikir Marxis), akumluasi kapital diartikan sebagai pembentukan pasar komoditi yang digawangi oleh para kapitalis, yang mana bersinggungan langsung dengan dimana surplus nilai produksi berada, yaitu seperti di pabrik. Pada konteks ini, akumulasi merupakan suatu proses kegiatan ekonomi yang menampilkan hubungan yang jomplang antara pihak kapitalis dan buruh karena adanya pertentangan kelas si kuat dan si lemah.

Jika seperti itu, pantas saja aroma kedatangan bantuan WB-IMF ini santer dengan kepentingan privatisasi sektor usaha milik negara (BUMN) atau private sector assesment. Yaitu kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada pihak swasta yang berafiliasi pada WB-IMF akibat relasi kuasa antara kapitalis dan buruh itu (dalam hal ini negara berkembang dan WB-IMF).

Untuk konteks Indonesia, holding BUMN yang dilakukan di era Jokowi ini adalah salah satu contoh yang relevan dari private sector assessment tersebut. Di sini artinya, Indonesia terpaksa melakukan deregulasi dan privatisasi ekonomi serta strategi pembangunan ekonomi yang seharusnya berorientasi industri sebagai pengekspor menjadi strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi high to import.

Sekali lagi, melalui ekspansi kapitalisme WB-IMF ini negara berkembang dan juga Indonesia hampir selalu berada pada posisi yang lemah terhadap negara maju akibat desakan kebutuhan atas bantuan finansial. Negara-negara berkembang dan Indonesia seakan-akan dihadapkan pada posisi yang tidak memiliki posisi tawar sebagai suatu negara yang mempunyai national power.

Lantas, akan jadi seperti apa ending pertemuan WB-IMF di Bali ini? Akankah rakyat dikejutkan dengan progresifitas rezim Jokowi yang membela kepentingan nasional? Atau sebaliknya, justru langkah-langkah pragmatis yang bakal kita dapati?

Rohman Wibowo, Junior Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com