Kebijakan Satu Cina AS Bayangi Pertemuan Trump-Jinping di Beijing

Bagikan artikel ini

Kori Soenarko, Tim Riset Global Future Institute (GFI)

Minggu lalu sempat terbetik kabar bahwa Kementerian luar Negeri Cina sangat gusar dengan rencana Presiden TaiwanTsai Ing-wen untuk singgah di beberapa negara Pasifik seperti  uvalu, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshall.

Sebagai sebuah kepulauan yang dulu dikenal dengan nama Pulau Formosa, Taiwan merupakan tempat basis dari Jenderal Chiang Kai Shek ketika semakin tergusur oleh serangan-serangakan militer yang dilancarkan Mao Zedong dan Chou en Lai. Sehingga pada 1949 kekuatan komunis yang dimotori Mao berhasil mendirikan Republik Rakyat Cina yang berhaluan komunis. Sedangkan Jenderal Chiang Kai Shek yang semula berjaya, kemudian tersingkir ke Pulau Formosa yang sekarang kita kenal sebagai Taiwan.

Meski hanya sebuah negeri kecil, namun pemerintah Cina tetap memandang Taiwan sebagai sebuah ancaman nasional. Pihak Cina semakin khawatir ketika dalam rencana tersebut Presiden Tsai akan akan singgah di Honolulu dan Guam. Dua wilayah yang sepenuhnya merupakan ikon pengaruh Amerika Serikat di Pasifik.

Bagi Cina hal ini semakin mencemaskan mengingat Presiden Donald J Trump kurang dari dua minggu lagi, akan mengadakan lawatan ke Cina. Sehingga Kementerian Luar Negeri Cina, melalui jurubicaraya Geng Shuang mengatakan pihaknya “menegaskan sikapnya” kepada Amerika Serikat mengenai persoalan tersebut. Beijing mendesak Washington menghormati kebijakan “satu Cina”.

Begitulah. Kebijakan Satu Cina atau One China Policy, nampaknya merupakan masalah krusial antara AS-Cina sejak Trump menduduki Gedung Putih awal tahun lalu.

Apalagi dengan keberhasilan gerakan Catalonia memisahkan diri dari Spanyol melalui referendum, pemerintah Cina sepertinya khawatir dengan niatan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen bermaksud memerdekakan diri di luar kekuasaan Cina. Padahal pemerintah Cina hingga kini masih memandang Taiwan sebagai salah satu provinsinya.

Bisa dimengerti jika rencana Presiden Taiwan Tsai mengunjungi beberapa negara Pasifik dipandang Cina sebagai upaya untuk memandang dirinya sebagai negara berdaulat.

Bagi Cina, pastinya hal ini dipandang sebagai provokasi. Namun mengingat manuver Presiden Taiwan itu dilakukan hanya selang dua minggu jelang kunjungan Trump ke Beijing, maka bukan tidak mungkin manuver Presiden Tsai hanya untuk meningkatkan bargaining position alias posisi tawar Trump ketika bertemu Presiden Xi Jinping.

Namun, permainan ini bisa berkobar di luar rencana  para pihak yang berkepentingan. Memanasnya eskalasi konflik di Semenanjung Korea menyusul uji coba rudal anti balisitik Korut dan sikap agresif pemerintahan Trump, maka isu Cina-Taiwan malah bisa menjadi faktor pemantik meluasnya eskalasi konflik tidak saja di Semenanjung Korea, melainkan Asia Pasifik pada umumnya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com