Kehadiran Militer AS Memperparah Ketegangan di Semenanjung Korea.

Bagikan artikel ini

Teguh Santosa, Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea (PPIK)

Perdamaian dan stabilitas keamanan di Semenanjung Korea kembali tercederai menyusul provokasi Korut kawasan itu sehingga menempatkan pemerintahan Kim Jong Un tersebut sebagai ancaman keamanan yang berpotensi menciptakan konflik, terutama di Semenanjung Korea. Padahal ketegangan di kawasan itu mestinya dilihat dari perspektif yang lebih luas, tidak sekadar oleh uji coba persenjataan Korut atau dipicu oleh latihan militer bersama Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Dalam kunjungannya berkali-kali ke Korea Utara dan Korea Selatan, pihaknya memang berkepentingan untuk mendapatkan pemahaman yang memadai mengenai konflik yang berlangsung sejak akhir Perang Dunia Kedua dan sempat mengalami kulminasi berupa Perang Korea antara 1950-1953.

Harus diakui, pada era Perang Dingin, konflik di Semenanjung Korea adalah ekspresi dari containment politics antara dua kubu yang sedang bertarung memperebutkan dan mempertahankan hegemoni, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sekarang, konflik di kawasan itu sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konflik baru antara Amerika Serikat yang ingin mempertahankan hegemoni di kawasan dengan Republik Rakyat China yang dalam satu dekade belakangan ini berhasil mengukuhkan dirinya sebagai kompetitor baru.

Dijelaskannya, berbagai uji coba persenjataan yang dilakukan Korea Utara, termasuk uji coba bom hidrogen di awal September lalu, adalah upaya untuk menjaga balance of power. Bagaimanapun juga, Korea Utara merasa harus mengimbangi kekuatan yang menurut mereka selama ini mengancam keamanan di kawasan.

Bagimanapun, latihan militer gabungan antara Korea Selatan dan Amerika Serikat di perbatasan adalan ancaman yang nyata bagi Korea Utara, sehingga langkah Korut melancarkan beberapat uji coba nuklir sepertinnya menandai kesiapan Korut dan menghadapi pelbagai kemungkinan yang terjadi di Semenanjung Korea, termasuk pertempurannya dengan AS dan sekutunya.

Namun demikian, dari kunjungannya yang berkali-kali ke Korut dan Korsel, didapatinya bahwa Korea Utara memang berusaha untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan pemimpin kedua Korea di masa lalu.

Hal yang tak kalah menarik adalah potensi di mungkinkannya Reunifikasi Korea yang memang sedari dulu memang dikehendaki oleh kedua pemimpin negara sejak satu dasawarsa silam.
Tepat pada 4 Oktober 2007, Presiden Korea Selatan Roh Moo Hyun berkunjung ke Pyongyang untuk bertemu dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Il. Keduanya membicarakan mengenai tindak lanjut dari pertemuan antara Presiden Kim Dae-jung dengan Kim Jong Il pada 15 Juni 2000 tentang semangat reunifikasi Korea.

Dari pertemuan Roh Moo Hyun dan Kim Jong Il, tercetus sebuah “Deklarasi untuk Pembangunan Hubungan Utara-Selatan, Perdamaian dan Kemakmuran”. Deklarasi ini merupakan acuan tujuan dan tugas masing-masing dalam rangka menegakkan dan menerapkan secara positif semangat Deklarasi Bersama 15 Juni. Tujuannya, agar hubungan antar Korea mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu perdamaian dan kemakmuran bersama.

Adapun dalam butir pertama Deklarasi untuk Pembangunan Hubungan Utara-Selatan, Perdamaian dan Kemakmuran disebutkan bahwa Korut dan Korel sepakat untuk menyelesaikan reunifikasi secara independen, tanpa campur tangan pihak lain. Semangat yang penyatuan ini adalah “demi bangsa kita sendiri”.

Namun demikian, keterlibatan Amerika Serikat di Korea Selatan terlalu sangat mengganggu Korea Utara. Keduanya bahkan sering melakukan serangan gabungan yang berpotensi menganggu wilayah Korea Utara.

Ketegangan memuncak saat ujicoba rudal yang dilakukan Korea Utara sebagai respon atas latihan gabungan itu menuai kecaman dari AS beberapa pekan terakhir. Presiden AS Donald Trump bahkan menyebut akan menghancurkan Korea Utara.

Dengan kata lain, kehadiran AS justru memperparah ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea. Padahal di satu sisi, dua Korea telah bersepakat untuk berdamai dan bertekad untuk melakukan reunifikasi.

Maka, negara seperti AS harusnya memiliki i’tikad baik atas keinginan kedua negara untuk sampai pada Reunifikasi Korea yang memang pernah disepakati melalui pertemuan kedua pemimpin negara tersebut.

Terkait dengan ketegangan di Semenanjung Korea maka pemerintah Indonesia harus cerdas dalam membangun jembatan yang memperantarai dan memediasi antara Korut dan AS yang sudah tentu juga melibatkan negara-negara lain di kawasan. Indonesia bisa menjadi garda depan di ASEAN yang diharapkan bisa memainkan perannya dalam mengatasi ketegangan tersebut.

Berpijak dari Konferensi Asia Afrika dan KTT Non-Blok, Indonesia sudah berhasil menginisiasi sekaligus menciptakan atmosfir pergaluan internasional dengan mengedepankan kersasama yang saling menguntunggkan, alih-alih mengajak negara-negara anggota untuk condong kepada blok tententu, seperti yang tergambar pada saat Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet pada.

Maka melihat kemampuan Indonesia dalam merancang kebijakan luar negeri, Indonesia bersama negara-negara yang tergabung di ASEANpunya potensi untuk menjadi aktor yang sangat menentukan dalam mengatasi konfik di Semenanjung Korea.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com