Memanfaatkan “Uang Panas” Dari Paman Sam

Bagikan artikel ini

Rachmat Adhani

Melanjutkan tren yang berlangsung sejak Desember 2008, Federal Reserve (The Fed) mempertahankan suku bunga acuan dalam level 0-0,25 persen. Suku bunga tersebut dinilai masih relevan untuk mendukung proses pemulihan ekonomi di AS. Sampai saat ini, AS memang masih membutuhkan dorongan dalam bentuk kelonggaran suku bunga.

Dalam pertemuan G20 di Pittsburgh pada September 2009 lalu, disepakati bahwa negara-negara anggota harus sudah mulai memikirkan tentang pencabutan kebijakan yang dilakukan pada masa krisis, atau sering disebut exit strategy. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pada saat krisis antara lain adalah stimulus fiskal, penurunan suku bunga, pelonggaran kebijakan moneter, dan sebagainya.

Hasilnya adalah defisit anggaran dan utang yang membengkak, suku bunga acuan dipangkas habis-habisan (bahkan di beberapa negara mendekati nol persen), pembelian aset bermasalah, penyelamatan berbagai lembaga keuangan dari kebangkrutan, dan sebagainya. Jika exit strategy sudah dilaksanakan, maka kebijakan-kebijakan tersebut tidak akan ada lagi.

Dengan langkah The Fed yang mempertahankan suku bunga acuan, sepertinya AS masih belum berpikir mengenai exit strategy. Kebijakan The Fed melengkapi langkah pemerintahan Barack Obama yang masih mempertahankan belanja negara yang ekspansif, seperti pengajuan program percepatan penciptaan lapangan kerja senilai 17,5 miliar dollar AS atau program reformasi layanan kesehatan.

Saat ini, aktivitas ekonomi di AS perlahan memang membaik, meskipun dalam level yang moderat. Konsumsi rumah tangga mulai pulih setelah mengalami guncangan akibat dampak krisis keuangan global. Selama dua bulan pertama 2010,  penjualan rital dan makanan tercatat sebesar 638,47 miliar dollar AS, atau meningkat 3,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Konsumsi Masyarakat AS dalam Dua Bulan Pertama 2010
<!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:Calibri; mso-font-alt:Arial; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:6.0pt; margin-left:0in; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:Calibri; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>

Akan tetapi, AS masih dibayangi oleh masalah pengangguran yang terlanjur tinggi akibat krisis keuangan global. Pada Februari, angka pengangguran tercatat sebesar 9,7 persen atau 14,9 juta jiwa, hampir tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Terjadi pengurangan tenaga kerja di sektor konstruksi dan informasi, sementara pekerja di sektor jasa temporer bertambah.

Di sektor konstruksi, pekerja berkurang sebanyak 64 ribu jiwa sejak krisis terjadi pada Desember 2007, sektor ini mengurangi 1,9 juta pekerja. Sedangkan di sektor informasi , pekerja berkurang sebanyak 18 ribu jiwa. Sejak Desember 2007, sektor informasi telah mengurangi pekerja sebanyak 297 ribu jiwa.

Untuk industri manfaktur, jumlah pekerja cenderung tetap karena pengurangan pegawai di sektor kendaraan bermotor dan kimia terkompensasi oleh penambahan di industri suku cadang. Begitu juga untuk sektor ritel, dimana pengurangan pegawai di usaha makanan-minuman tertutup oleh penambahan di usaha bahan bangunan dan pertokoan.

Selain itu, AS juga masih diliputi oleh keketatan kredit. Pada Februari, penyaluran kredit terkontraksi 16 persen (y-y). Sejak krisis dimulai pada Desember 2007, kredit yang tidak tersalurkan mencapai 740 miliar dollar AS.

Oleh karena itu, proses pemulihan ekonomi AS masih membutuhkan dukungan agar bisa lebih stabil sehingga wacana exit strategy belum digulirkan. Pemerintah telah mencoba dengan melanjutkan kebijakan fiskal yang ekspansif, dan kini giliran otoritas moneter yang bersumbangsih dengan mempertahankan suku bunga di level yang rendah. Dengan begitu, diharapkan penyaluran kredit akan semakin lancar dan mampu menggerakkan perekonomian.

Apalagi, laju inflasi di AS masih cukup terkendali. Pada Februari, inflasi tercatat sebesar 0,2 persen (m-m) dan 2,6 persen (y-y). Harga kebutuhan pokok (di luar pangan dan energi) justru turun 0,1 persen. Oleh karena itu, belum ada kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Dampak dari kebijakan ini adalah pelemahan dollar AS terhadap mata uang utama dunia, karena investor di pasar keuangan lebih memburu instrumen di negara yang menawarkan suku bunga lebih tinggi.

Pemilik Modal “Mundur” Perlahan

Tren pelemahan dollar AS diperkirakan masih akan terjadi dalam waktu dekat. Dengan kebijakan suku bunga rendah yang mungkin tidak akan diubah sampai triwulan III, investor cenderung mencari instrumen yang menawarkan keuntungan lebih tinggi.

Pada Januari saja, terjadi arus modal keluar (capital outflow) dari AS sebesar 33,4 miliar dollar AS. Beberapa investor besar mulai mengurangi kepemilikan mereka di instrumen obligasi pemerintah AS. Kepemilikan oleh China berkurang menjadi 889 miliar dollar AS dari sebelumnya 894,8 miliar dollar AS. Sementara kepemilikan Jepang juga berkurang dari 756,7 miliar dollar AS menjadi 756,4 miliar dollar AS.

Bagi Indonesia, kebijakan suku bunga rendah yang dipertahankan The Fed tentunya membawa dampak. Saat ini, BI Rate masih dipertahankan di level 6,5 persen, sehingga jarak (spread) dengan Fed Fund Rate masih cukup lebar. Ini membuat investor asing meminati instrumen di pasar keuangan Indonesia, karena memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Arus modal yang masuk ke Indonesia diperkirakan akan semakin kencang.

Pada pertengahan Maret 2010 IHSG melesat 63,957 poin (2,39 persen) menjadi 2.733,565. Pencapaian tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari 2008. Melesatnya IHSG disebabkan oleh aliran dana asing yang mencapai 611 miliar rupiah. Dengan kebijakan suku bunga rendah di AS, dalam waktu dekat aliran dana tetap akan masuk ke Indonesia dan menyokong penguatan IHSG.

Selain di lantai bursa, investor asing juga meminati instrumen obligasi pemerintah. Per 12 Maret, nilai kepemilikan asing di obligasi pemerintah mencapai 127,76 trilliun rupiah. Naik 2,16 persen dibandingkan posisi 5 Maret yang sebesar 125,06 triliun rupiah. Sepertinya, minat investor asing terhadap obligasi pemerintah masih akan terus bertambah.

Dengan didukung aliran modal tersebut, maka tidak heran apabila nilai tukar rupiah terus menunjukkan penguatan. Dukungan aliran modal yang masih cukup deras dalam waktu dekat bukan tidak mungkin membuat nilai tukar rupiah semakin menguat, bahkan bisa jadi menembus di bawah 9.000/dollar AS.

Waspadai Pembalikan Tiba-Tiba

Akan tetapi, tersimpan risiko yang cukup besar di balik segala dampak positif tersebut. Saat suku bunga global cenderung naik (diperkirakan mulai triwulan III 2010), maka dana-dana di pasar keuangan akan kembali menuju tempat yang paling aman, yaitu AS.

IHSG bisa anjlok, imbal hasil (yield) obligasi meningkat, dan nilai tukar rupiah tertekan. Hal-hal tersebut akan memberi guncangan yang cukup signifikan terhadap sektor keuangan , dan bisa menjalar ke seluruh aktivitas ekonomi.

Otoritas fiskal dan otoritas moneter harus mewaspadai risiko ini dan segera mencari upaya pencegahan dan penanganan.  Brasil telah mewaspadai risiko ini dan melakukan tindakan pencegahan. Pemerintah Brasil menaikkan pajak atas keuntungan saham dan obligasi sebesar dua persen.

Hal tersebut dilakukan untuk meredam pembelian portofolio yang terlalu eksesif sehingga berisiko tinggi terhadap keseluruhan perekonomian. Langkah pencegahan juga dilakukan oleh Taiwan, yang bahkan lebih tegas dengan melarang pihak asing menyimpan dana di depsito.

Untuk Indonsia, ada baiknya pemerintah dan DPR segera menyelsaikan pembahasan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) dan RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dua RUU ini sangat krusial untuk mencegah terjadinya krisis akibat gejolak di pasar keuangan, dan menyediakan mekanisme penanganan jika krisis terlanjur terjadi.

Dengan adanya dua RUU tersebut, maka upaya pencegahan dan penanganan krisis diharapkan tidak berujung pada kriminalisasi, seperti kasus Bank Century. Namun pasca sidang paripurna kasus Bank Century, hubungan pemerintah dengan DPR sedikit dingin. Mungkin penantian lahirnya UU JPSK dan UU OJK akan sedikit memakan waktu yang lebih lama.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com