Mengenal Geopolitik

Bagikan artikel ini

Diolah oleh Tim Riset Global Future Institute (GFI) dari berbagai sumber

Dalam mengamati perkembangan politik internasional sering kali kita jumpai kata “Geopolitik”. Dengan tidak bersusah payah lantas kita menjurus terminologi geopolitik dengan posisi geografi negara-negara dan harga tawar masing-masing dalam percaturan politik internasional.

Di negara-negara anglosaxon perkembangan geopolitik perjalanannya tersendat-sendat dan merupakan sub bahkan sub dari subnya ilmu hubungan internasional. Sedangkan di eropa daratan tradisi para peneliti hubungan internasional telah mengembangkan geopolitik menjadi ilmu terapan baru yang merupakan pengembangan dari cabang ilmu hubungan internasional, menariknya walau pun lapangan penelitian dan objek penelitiannya adalah situasi politik internasional, geopolitik ditampung dan dikembangkan oleh para ahli ilmu geografi.

Bukan murni dari cabang ilmu hubungan internasional. Situasi ini tampaknya dapat dijelaskan dengan melihat  sejarah perjalanan ilmu hubungan internasional ketika munculnya para behavioralis yang percaya bahwa mengamati fenomena internasional tidak cukup bergantung pada pisau analisa yang disediakan ilmu hubungan internasional, hingga perlu adanya perkawinan masal antara ilmu hubungan internasional dengan ilmu-ilmu lainnya, gelombang percampuran keilmuan ini dilakukan pada pertengahan tahun 60 an dan puncaknya awal tahun 70 an.

Geopolitik yang mempunyai empat konsepsi dasarnya yaitu, konsepsi ruang, konsepsi frontier, konsepsi kekuatan politik dan konsepsi keamanan bangsa, mengalami sejarah panjang dalam perkembangannya, sudah dimatikan berkali-kali sebagai ilmu tapi dia selalu hidup kembali. Akhirnya, geopolitik menjadi term yang hanya digunakan dalam dunia jurnalistik untuk menghantar reportase kondisi percaturan dan persaingan politik internasional.

Geografi Politik

Di awali dengan konsepsi Geografi politik yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli geografi lulusan sekolah farmasi, Friedrich Ratzel pada pertengahan abad ke 19. Sebagai peneliti dalam bidang farmasi, dirinya terinspirasi oleh karya-karya yang menjelaskan hubungan antara alam dengan makhluk hidup, terutama Darwin dan Alexandre Von Humboldt. Dalam pendekatannya dia sangat mempertimbangkan hubungan dan pengaruh antara milieu atas negara sebagai satu kesatuan yang hidup. Ide ini dikemukakannya dalam jurnal Anthropo-geographie, dua kali di tahun 1882 dan 1891. Lalu pada tahun 1897 dia makin memantapkan ide-idenya dengan menuliskannya dalam sebuah buku yang berjudul Politische Geographie.

Buku yang akhirnya dianggap sebagai pondasi dari disiplin ilmu geografi politik (Michel Korinman,1990) ini diperuntukkan bagi para pengambil keputusan politik, pemerintah dan terutama bagi para pemimpin Jerman dan bagi dirinya seorang nasionalis anggota dari Liga Pangermaniste. Ratzel menegaskan dalam bereaksi atas keputusan-keputusan yang akan dibuat harus menggunakan intelektualitas yang dibutuhkan secara efektif dan selalu melihatnya atas ruang-ruang (space). Akhirnya dengan formulasi dan typologi yang diraciknya maka Geografi Politik Ratzelian menjadi studi tersendiri dari ilmu geografi dengan negara sebagai objeknya. Terutama teori-teorinya yang normatif  menjadi fondament dari studi spasial dan politik (Raffestin, 1995 dan Rossier, 2003).

Geopolitik

Dalam perkembangannya geografi politik terus mendapatkan anti tesis dan kritiknya, sehingga muncullah term geopolitik. Ditandai dengan pemikiran seorang neo-logisme geopolitik dari universitas Swedia, Rudolf Kjellen, dalam artikelnya yang muncul dalam jurnal Ymer terbitan 1916, Staten som Lifsform (Negara sebagai Sesuatu yang Hidup), berbicara tentang frontier negaranya dengan mengilustrasikan pengaruh antara ide-ide Darwin dan Ratzel.

Konsepsi awal geopolitik Robert Kjellen (1844-1904) sebagai seorang ahli biologi, mengatakan bahwa dunia ini seperti organisme yang hidup, dengan konsekuensi apa yang terjadi di salah satu ujung dunia pasti akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung di ujung dunia lainnya, dan bahkan di seluruh lipatan dunia. Geo berarti “la terre-notre planet” (bumi kita) dengan ruang dan waktu, sementara Politik mewakili “le vivre ensemble” (hidup bersama) dengan interaksi sebagai aksi dari dan reaksi pada aktifitas dalam ruang hidup.

Jadi geopolitik adalah interaksi antara manusia dengan ruang, ruang hidupnya.

Bahwa dunia itu adalah satu kesatuan sebagai organisme yang saling berinteraksi berdasarkan ruang dan waktu berdasarkan kepentingan. Singkatnya geopolitik mempunyai tiga kata kunci, yaitu ruang, manusia dan interaksi. Dan dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Karl Haushofer yang menformulasikan metode geopolitiknya.

Dengan latar belakang keturunan aristokrat bavaria yang hidup dalam tradisi kalangan konservatif, dan mantan tentara yang bertugas sebagai atase militer dalam kedutaan besar Jerman di Tokyo, Haushofer dikenal sebagai diplomat sekaligus ahli geopolitik dan strategi (Claval, 1994).

Setelah perang dunia pertama, dengan pangkat kolonel, Haushofer meninggalkan dunia militer, dan pada tahun 1923, dia menerbitkan Zeitschrift für Geopolitik (Jurnal Geopolitik), berbeda dengan Ratzel yang sangat dikritiknya walau sama-sama nasionalis yang mencita-citakan bangsa Jerman bersatu, dia lebih menekankan pada studi tentang distribusi kekuasaan negara atas kontinen dengan seluruh keadaannya (tanah, daratan, cuaca dan sumber daya) dimana kekuasaan memainkan peran di dalamnya, dan di sisi lain geopolitik memberikan objek aktifitas politik di dalamnya.

Singkatnya geopolitik menarik perhatian Nazi dan kemudian mengembangkan konsep-konsep Geopolitik Haushofer yang lebih dikenal dengan Geopolitik saja. Haushofer pun harus kehilangan Zeitschrift nya -yang kemudian menjadi semacam pusat pengembangan analisa geopolitik Nazi- karena istrinya seorang yahudi yang bersama anaknya menentang Hitler. Walau kemudian Haushofer bunuh diri pada tahun 1946, Geopolitik tetap menjadi pegangan IIIrd Reich  untuk mencapai tujuan-tujuan dari mimpi idiologinya.

Setelah perang dunia kedua, karena kejelasan hubungan antara Nazisme dan Geopolitik sekaligus geopolitik dikenal sebagai alat analisa yang kuat dalam menjelaskan konsep-konsep kenegaraan dan kewilayahan. Geopolitik disalahkan sebagai ilmu yang membantu Nazi dalam menginvasi negara-negara sekitarnya. Sehingga term Geopolitik dicap membawa nilai-nilai negatif, dan sejurus perkembangannya ilmu ini hanya sekadar dikenal dalam sub-ilmu hubungan internasional (Forest L. Grieves, 1977). Lebih ektrem lagi, pertanyaan tentang teritorial menjadi sangat rahasia, hanya menjadi diskursus dalam sekolah-sekolah militer atau bahkan hanya dibicarakan di lingkaran elit kekuasaan. Mempelajari Geopolitik sama saja mempelajari moral dan filsafat ilmu ini yang sangat agresif.

Namun pada akhir tahun 1970, term Geopolitik diperkenalkan secara resmi kembali oleh Sekretaris Negaranya Presiden Nixon, Henry Kissinger, dalam konferensi pers di depan Dewan Pers Nasional, bulan Januari 1977, beberapa waktu setelah perjalanan ke Brasil dan hasil diskusi dengan Jendral Golbery de Couto e Silva (Foucher, 1991).

Karena Jendral de Couto e Siva sebenarnya telah membangun pusat studi geopolitik Brasil sejak tahun 1967. Hingga dalam jumpa pers Kissinger merasa khawatir dengan pusat studi yang dibangun oleh koleganya tersebut.

Dan di awal tahun 1960an (disaat bersamaan) para pemikir dari Sorbonne mengembangkan kembali ilmu ini.

Walau awalnya Kissinger menggunakan term Geopolitik untuk menggarisbawahi dimensi negatif, tetapi pada kenyataannya dia telah kembali memperkenalkan konsep ini sebagai alat untuk memediasi situasi pada saat itu. Munculnya term Geopolitik membuat perdebatan dikalangan ilmuwan selama bertahun-tahun yang akhirnya membuat Geopolitik menjadi berkembang, salah satu usaha untuk memperbaiki nama Geopolitik dilakukan oleh Yves Lacoste pada tahun 1975 dengan membuat Jurnal Geopolitik, Herodote, yang terus terbit sampai saat ini untuk membawa ilmu ini ke dalam kampus.

Perkembangan Geopolitik Maritim

Yang dikenal sebagai seorang ahli geopolitik maritim pertama adalah Alfred Thayer Mahan (1840-1941), perwira naval Amerika dengan teorinya sea power. Awal proses penulisan karyanya yang menjadi rujukan penguasaan teritorial melalui laut ini, didasarkan atas keingintahuan Mahan atas perbedaan besar antara Inggris dan Prancis, kedua negara besar yang menguasai masing-masing hampir separuh dunia dan berperang antara keduanya. Inggris selalu mendapatkan keuntungan dalam peperangan yang digelarnya, sementara Prancis mengalami kebangkrutan (1789). Pendekatan Inggris sebagai negara kolonial, disimpulkan oleh Mahan sebagai negara yang mahir melakukan pendekatan ekonomi (baca: perdagangan) dan menciptakan konflik financial. Hingga dia menyimpulkan untuk menguasai dunia maka dia harus menguasai perdagangan dunia, dan perdagangan dunia selalu melalui laut, maka kuasai laut untuk menguasai perdagangan dunia, singkatnya siapa yang ingin mengontrol dunia maka harus dapat mengontrol laut (Mahan, 1879).

Pemikiran ini dikritik oleh Sir Harold J. Mackinder (1861-1947) yang mengatakan bahwa untuk mewujudkan teori Mahan membutuhkan tekhnologi tingkat tinggi, dia menerangkan lebih mungkin mengusai dunia  jika dapat menguasai  heartland nya (Mackinder, 1904), walaupun akhirnya dia merevisi teorinya tersebut (Mackinder, 1943 dan 1962). Inti dari pemikiran Mac Kinder dalam tafsiran saya adalah menempatkan kemampuan membaca fenomena politik internasional dengan melihat posisi “pivot” dunia sebagai poros dari ruang hidup yang diuraikannya dalam karyanya yang fenomenal The Geographical Pivot of History (1904).

Karena kemampuan meletakkan dimana pivot itu berada akan membawa  pengaruh besar bagi kebijakan politik luar negri dari negara-negara yang akan memperjuangkan national interest-nya dan tentu saja akan berdampak pada eskalasi tinggi saling ketergantungan dalam jejaring sistem internasional.

Selain mereka sebenarnya Sir Julian S.Corbett (1854-1922) yang benar-benar dapat dikatakan sebagai promotor pengembangan konsep sejarah maritim, sejarah perang, hubungan manusia dengan laut, pengembangan evolusi strategi, konsep taktik dan tekhnik (Coutau-Bégarie, 1993). Karyanya yang menjadi buku wajib bagi para prajurit angkatan laut seperti Fighting Instructions (1905), Signal Instruction (1908) dan Some Principles of Strategy Maritime (1911), dimulainya dengan menulis novel-novel yang selalu berhubungan dengan sejarah dan laut (Schurman, 1981).

Sebagai penulis yang menguasai sejarah kelautan, dirinya selalu diundang untuk mengisi seminar tentang strategi maritim oleh War Course College, yang kemudian merekrut Corbett menjadi anggota Navy Records Society dan dari sanalah dimulai karirnya sebagai intelektual.

Dalam perkembangannya banyak ilmuwan yang membanding-bandingkan antara Mahan dan Corbett, yang menariknya jika Mahan mengatakan command the sea  justru Corbett membantahnya, menurutnya menguasai atau mengontrol laut itu tidak mungkin dapat dilakukan, yang paling penting dilakukan adalah menguasai atau mengontrol komunikasi maritim (Gough, 1988). Jika Mahan dianggap lebih dalam menganalisa sejarah dan perang-perang yang terjadi, Corbett disamping itu juga mengembangkan stratégie théorique menjadi stratégie pratique (Rosinski, 1953). Bahkan dalam karya-karyanya khususnya teori perang yang dikemukakan, banyak mengkritik teori perang Clausewitz.

Akhirnya, perkembangan geopolitik dewasa ini terlihat menuju ke arah yang sangat menggairahkan, karya-karya kontemporer yang mengulas  peristiwa dalam sistem internasional yang anarkis (Waltz, 1976) secara perlahan menggunakan metode dan analisis geopolitik. Tradisi eropa daratan yang mengkaji geopolitik sebagai ilmu pun sudah mulai dikembangkan secara masif, alergi akan masa kelam geopolitik akibat penyalahgunaan oleh Nazi justru menjadi alasan agar perang dapat dicegah dan diantisipasi.

Geopolitik dan Indonesia

Sebagai negara besar yang berbentuk kepulauan dengan seluruh potensi baik dan buruknya, dan perkembangan dunia dengan situasi keadaan negara-negara tetangganya. Sudah seharusnya membicarakan ke-Indonesia-an dengan konsep Geopolitik. Karena studi-studi saat ini yang berkembang di Indonesia dan dipergunakan sebagai alat analisa dalam mencermati bahkan mengambil keputusan-keputusan negara, tidak lagi mencukupi kebutuhan akan itu.

Dengan bentuk kepulauannya dan penyebaran demografi bahkan bencana alamnya, secara jelas menunjukkan kelengkapan variabel-variabel dalam Geopolitik, dimana  distribusi kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan tidak lepas dari manajemen kewilayahan dalam negeri, hubungan luar negara dan garis-garis batas negara sebagai bentuk pertahanan dan keamanan negara. Pada tahun 1973, Yves lacoste dalam La géographie, ça sert d’abord à faire la guerre, mengingatkan bahwa Geopolitik dalam hubungannya dengan kekuasaan adalah sebuah pelaksanaan.

Meminjam cara bertanya Aymeric Chauprade (2004) seorang ahli geopolitik Prancis, bisakah ilmu sosiologi saja dapat menjelaskan keadaan rakyat Indonesia saat ini? bisakah ilmu ekonomi saja bisa menjelaskan tingkat hidup rakyat Indonesia? bisakah teori-teori yang dibuat dan berdasarkan pengalaman negara-negara lain yang jelas-jelas berbeda budayanya dengan Indonesia dapat diterapkan?

Maka Geopolitik sebagai instrumen yang menghubungkan antara negara dan ruang dengan menyediakan metodologinya dapat menjadi alternatif lain untuk melihat dan membuat keputusan-keputusan politik, karena ilmu ini membantu kita melihat hubungan antara negara dengan ruang-ruang yang ada di dalam dan sekitarnya. Mengajak kita melihat negara sebagai satu kesatuan yang hidup dengan kehidupannya sendiri. Sehingga jawaban atas pertanyaan di atas, jelas kita membutuhkannya. Padahal konsep geopolitik Indonesia sudah sangat baik dirumuskan dalam konsepsi yang kita kenal sebagai “Wawasan Nusantara”. Sayangnya, seperti sudah menjadi kutukan bagi bangsa ini, secara sadar dan terang-terangan kita melupakannya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com