Menyorot AS dan Blok Barat Mainkan ISU HAM di Crimea

Bagikan artikel ini

Pentingnya Ukraina Bagi Amerika Serikat dan Uni Eropa

Pada 1 April 2014 lalu, saya menulis mengenai reunifikasi Crimea dengan Rusia  menyusul hasil referendum yang diluncurkan pada 17 Maret 2014 menegaskan bahwa 96,8 persen rakyat Crimea mendukung penggabungan kembali wilayah tersebut dengan Rusia. Sehingga pada 21 Maret 2014 Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani dokumen resmi menjadi sebuah undang-undang, sehingga sejak saat itu Crimea resmi menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Rusia.

Masalah Crimea, memang tak mungkin dilepaskan dari soal Ukraina, sejak lepas dari Rusia, praktis telah bersekutu dengan Amerika Serikat dan blok NATO. Sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet, Ukraina merupakan Poros Geopolitik yang cukup penting dan strategis di kawasan Eurasia, dan harus berada dalam lingkup pengaruh Amerika dan Uni Eropa. Sehingga para pemimpin kunci di pemerintahan Ukraina harus yang sehaluan dengan garis politik Washington dan blok Uni Eropa.

Maka ketika Presiden Yanukovich dipandang oleh blok Barat punya kecenderungan pro Rusia, maka kemudian diluncurkanlah Skenario Revolusi Warna, sebagai bagian integral dari Perang Asimetris AS untuk menaklukkan Ukraina. Dan Membendung Pengaruh Rusia.

Menguasai Ukraina pasca Perang Dingin di akhir decade 1980-an, nampaknya memang sudah dipersiapkan secara matang oleh Washington. Sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet, Ukraina sebenarnya sudah dipetakan oleh Amerika Serikat sejak 1997.

Zbigniew Kazimierz Brzezinski, mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) di era pemerintahan Jimmy Carter pada periode 1977-1981, menerbitkan sebuah buku yang cukup menarik bertajuk The Grand Chessboard pada 1997.  Dalam buku yang cukup menarik tersebut, Brzezinski menulis, “Ukraina, ruang baru dan penting pada papan catur Eurasia, merupakan poros geopolitik karena sangat penting keberadaannya sebagai negara merdeka, untuk membantu mengubah Rusia.

Tanpa Ukraina, lanjut, Brzezinski, tidak akan mungkin lagi menjadi sebuah imperium di kawasan Eurasia. Dan jika satu saat Moskow mendapatkan kembali kontrol atas Ukraina, maka dengan 52 juta orang berikut sumberdaya utama serta akses ke Laut Hitam, Rusia otomatis bakal mendapatkan kembali kedigdayaannya untuk menjadi negara kekaisaran (imperium) yang kuat, mencakup kawasan Eropa dan Asia. Maka itu, dalam bukunya The Grand Chessboard, Brzezinski secara tajam dan rinci menguraikan makna dan hakekat dari Poros Geopolitik.

Menurut mantan penasehat keamanan nasional Jimmy Carter yang saat ini juga merupakan arsitek kebijakan politik luar negeri Presiden Barrack Obama, yang dimaksudkan sebagai Poros Geopolitik adalah negara-negara yang nilai pentingnya bukan berasal dari kekuasaan atau motivasinya, melainkan dari lokasi geografisnya yang cukup sensitif.

Sehingga dalam beberapa kasus, negara-negara yang masuk kategori Poros Geopolitik tersebut, memainkan peran khusus, yang barang tentu secara geopolitik punya nilai yang cukup strategis. Baik untuk memberikan akses ke wilayah-wilayah penting terhadap suatu negara tertentu, atau sebaliknya, menolak untuk dijadikan negara satelit sebuah negara adidaya (seperti Rusia).

Bukan sebuah kebetulan bahwa Ukraina dan Azerbaijan yang dulunya merupakan bagian dari Uni Soviet, saat ini sudah negara merdeka lepas dari kedaulatan Rusia. Krisis politik yang terjadi di Ukraina pada Februari 2014 dan berakhir dengan tumbangnya Presiden Yanukovich, nampaknya harus dipahami dalam perspektif geopolitik Brzezinski.

Bahwa Ukraina, yang merupakan salah satu Poros Geopolitik di kawasan Eurasia, harus berada dalam orbit pengaruh Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Uni Eropa dan NATO.

Seperti yang ditegaskan oleh Brzezinski dalam The Grand Chessboard, “Eurasia merupakan papan catur di mana perjuangan bagi keunggulan global harus tetap dimainkan Amerika.”

Inilah aspek penting yang amat berguna untuk menjelaskan mengapa Amerika dan Uni Eropa begitu intensif membantu kelompok-kelompok oposisi baik di parlemen maupun luar parlemen Ukraina ,untuk mendukung elit-elit kepemimpinan Ukraina yang pro Amerika dan Uni Eropa.

AS dan Blok Barat Mainkan Isu HAM di Crimea

Hasil referendum  17 Maret 2014 yang mana 96.8 persen Rakyat Crimea mendukung penggabungan wilayah tersebut dengan Rusia, bisa dipastikan telah mengundang kekhawatiran AS dan  blok Barat. Global Future Institute pada April 2014 lalu berpendapat bahwa ergabungnya kembali Crimea kepada Rusia, akan menciptakan keseimbangan kekuatan antara Washington dan Moskow. Sekaligus akan kembali memperluas lingkup pengaruh Moskow di Ukraina. Seraya pada saat yang sama, berpisahnya Crimea dari Ukraina, akan membatasi ekspansi Amerika dan NATO ke “wilayah halaman belakang” Rusia.

Maka dari itu sejak bergabungnya Crimea dengan Rusia, AS dan blok Barat melancarkan beberapa aksi destabilisasi di Crimea dengan menggunakan isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Misalnya saja, AS dan blok Barat melancarkan propaganda  terhadap kalangan komunitas Islam seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) bahwa aparat militer Rusia telah melakukan penindasan terhadap bangsa Tatar yang mayoritas penduduknya bergama Islam. Padahal kalau merujuk pada beberapa kajian terkait kehidupan warga Muslim Tatar di Crimea, justru kehidupannya lebih baik dalam naungan pemerintah Rusia,

Kalau menelisik sejarahnya, bangsa Tatar merupakan  kelompok etnik Turk yang terbentuk di Crimea sekitar abad ke-13 hingga abad ke-17. Bangsa Tatar-Crimea lebih memandang dirinya sebagai orang Crimea, sehingga memandang warga Rusia sebagai saudara dan memiliki kesamaan sejarah.

Maka itu, propaganda yang dilancarkan oleh AS dan blok Barat bahwa Rusia telah menindas bangsa Tatar yang beragama Islam dan dipandang telah melakukan pelanggaran HAM berat, bisa dikatakan terlalu mengada-ada, dan merupakan sebuah Fabrikasi pemberitaan.

Pada April 2016 lalu, seorang anggota Dewan Eropa, Gerard Stoud, membuat sebuah laporan berdasarkan hasil kunjungan ke Crimea, terkait tugasnya untuk memantau adanya pelanggaran HAM di Crimea. Dari hasil laporannya, ternyata tidak ada pelanggaran HAM, dan tidak ada penindasan terhadap warga Muslim di Crimea.

Bahkan justru sebaliknya, pemerintah Rusia sangat mendukung semua kegiatan dan kehidupan warga Muslim di Crimea. Kehidupan warga Muslim dan warga Crimea yang punya kedekatan dengan Rusia, berjalan dan berlangsung secara harmonis.

Laporan Gerard Stoud diperkuat oleh Terry  Mazianym Ketua Delegasi Parlemen Perancis yang berkunjung ke Crimea, dan laporannya pada 29 Juli 2016 juga menegaskan tidak adanya pelanggaran HAM di Crimea.
Dengan demikian, manuver diplomatik AS dan blok Barat untuk menggalang dukungan negara-negara berpenduduk Muslim yang tergabung dalam OKI, sudah barang tentu sangat tidak beralasan, dan sarat dengan motivasi politis.

Nampaknya, seperti yang pernah ditulis oleh Dina Y Sulaeman, pakar Timur Tengah dan Research Associate Global Future Institute (GFI), Ukraina sedang dibuat sedemikian rupa persis seperti Suriah. Yaitu diadu-domba. “Ya, Ukraina memang tengah diadu-domba dengan menggunakan isu Uni Eropa. Sebagian rakyat setuju bergabung dengan Uni Eropa, sebagian lainnya menolak,” begitu tulis Dina Sulaeman dalam artikelnya bertajuk “L’Ukraine Est Une Autre Syrie.”

Peran Polandia dalam Kisruh Rusia-Ukraina

Satu segi lain lagi yang menarik sebagaimana pandangan Dina Y Sulaeman, yaitu menganalogikan peran Turki di Suriah dan Polandia di Ukraina. Dina menulis: “Bila di Suriah ada Turki yang menikam dari belakang, di Ukraina ada Polandia. Tentu bukan kebetulan kalau Polandia dan Turki sama-sama anggota NATO, dan bahkan sama-sama negara yang menyediakan wilayahnya untuk pangkalan militer AS.”

Memang faktanya, lanjut Dina,  Turki telah membuka perbatasannya untuk suplai dana, senjata dan pasukan jihadis dari berbagai penjuru dunia menuju Suriah, serta merawat para pemberontak yang terluka. Sementara itu Perdana Menteri Polandia, menyatakan negaranya telah merawat para pemberontak bersenjata dair Kiev, dan bahkan telah memerintahkan pihak militer dan kementerian dalam negeri untuk mempersiapkan rumah sakit agar bisa menolong lebih banyak lagi.

Merujuk pada analogi peran Polandia dalam krisis Ukraina dan Crimea yang persis seperti peran Turki di Suriah, sebagaimana yang disampaikan Dina Y Sulaeman tadi, nampaknya manuver-manuver Polandia baik melalui sarana-sarana diplomatik maupun dalam kerangka kerjasama militer dengan NATO, perlu dicermati secara lebih intensif  Termasuk di Indonesia, yang di era pemerintahan Jokowi-JK saat ini, ada beberapa kelompok pelobi pro AS dan blok Barat yang juga sedang berusaha untuk menarik Indonesia ke orbit pengaruh AS dan blok Barat Dan pada tataran ini, menurut beberapa informasi, Duta Besar Polandia di Indonesia, memainkan peran yang cukup penting di garis depan kelompok pelobi pro AS dan blok Barat tersebut.

Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com