Persenyawaan Cukong dan Birokrasi, Lumpuhkan Daulat Rakyat

Bagikan artikel ini
Abu Bakkre Bamuzaham, Peminat Kajian Geopolitik dan Pelaku Bisnis, tinggal di Surakarta
Mengintip istilah Cukong dari Kamus Wikipedia, kata Cukong ini menunjuk kepada pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan besar di Indonesia.
Kata ini sendiri berasal dari bahasa Hokkian yang lazim dilafalkan di Indonesia oleh suku Tionghoa-Indonesia. Cukong (Hanzi: 主公, hanyu pinyin: zhugong) dalam bahasa Hokkian atau bahasa Mandarin berarti pemimpin; ketua; pemilik; bos.
Sampai pada tahun 1950-an, kata cukong masih digunakan sebagai kata untuk merujuk bos atau majikan, namun setelah 1960-an, cukong kemudian mulai mendapat konotasi negatif karena sering dirujuk kepada pengusaha-pengusaha dari suku tertentu terutama suku Tionghoa-Indonesia.
Konotasi negatif ini kemudian menjadi-jadi setelah pemerintah Orde Baru menciptakan opini publik bahwa pengusaha Tionghoa mayoritas terlibat dalam praktik kolusi, korupsi dan nepotisme dalam perbisnisan mereka (Wikipedia).
Perlu dipahami bahwa Asing dan Aseng tak akan mampu bertahan hidup tanpa ada dukungan regulasi dari pihak birokrasi. Disinilah titik temu antara Cukong dan Birokrasi.
Karenanya Asing dan Aseng perlu memelihara “para asisten” sebagai “orang dalam” yang mengabdi kepada kepetingan para Cukong sang tangan panjang dari Korporasi Asing atau Aseng.
Berbicara tentang Birokrasi sebuah Negara, maka idealnya Negara harus mampu mengatur dan mengontrol Korporasi. Idealnya, Birokrasi adalah salah satu benteng pertahanan Geopolitik sebuah Negara.
Birokrasi memiliki wewenang mengatur dan bertugas menjalankan tugas-tugas administrasi serta tata kelola kebijakan agar terjadi keadilan. Birokrat sejati dia akan selalu melakukan berbagai terobosan untuk “Melindungi” Rakyatnya dari berbagai jenis pajak yang mencekik.
Dalam tataran ideal, birokrat yang baik akan menekan para Corporat untuk diambil alih menjadi Aset Negara agar digunakan secara maksimal agar mendatangkan hasil untuk kepentingan Negara dan Rakyat. Bukan sebaliknya.
Namun Corporat sebaliknya, Corporate atau korporasi adalah sebuah entitas Perusahaan berbadan hukum yang bertujuan untuk mencari laba keuntungan semata. Bila perlu Corporate memiliki goal setting untuk melegalkan semua “Aset Usaha Milik milik Negara” berubah milik menjadi milik Korporasinya kata lain dari adalah Swastanisasi.
Korporasi punya kecenderungan mangkir Pajak dan selalu berusaha menekan Birokrat untuk memudahkan langkah Usahanya. Dengan melibatkan keterlibatan Korporasi yang mendompleng kebijakan Birokrat maka akan lebih mudah memuluskan langkah-langkah Korporasi Usahanya.
Tarik menarik kepentingan antara Birokrasi  dan Korporasi akan senantiasa  ada. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah ketika Korporasi mampu mengambil alih posisi Birokrasi lantas apa jadinya?
Bila satu orang saja wakil dari Corporat ditempatkan menjadi Birokrat, maka besar kemungkinan bisa terjadi Ketidak Adilan, apalagi bila Korporasi mampu mengendalikan Birokrasi.
Maka yang terjadi adalah seluruh unsur birokrasi hanya akan menjadi papan catur permainan dari Korporasi. Dan unsur dari Birokrasi itu sendiri akan menjelma menjadi para “Asong” (Asisten Cukong) tangan panjang dari Asing atau Aseng.
Meski secara nyata para Asong (Asisten Cukong) itu bekerja dalam wilayah Birokrasi dan mendapatkan fasilitas dari uang rakyat, namun para Asisten Cukong ini sejatinya bukan bekerja sebagai abdi Negara, namun menjadi abdi dalem para Cukong. Sehingga kebijakan yang dibuatnya seringkali justru menguntungkan pihak Asing dan Aseng.
Konspirasi Corporasi yang melibatkan antara Asing Aseng dan Asong yang mampu mengendalikan dan mengatur Birokrasi inilah awal dari hancurnya Birokrasi Sebuah Negara.
Ketika Asing Aseng dan Asong telah berkolaborasi, maka disana ada “silent operation” perang Asimetris dalam kesunyian.
Di era Perang Asimetris ini, tanpa perlu ada “dar der dor” tembakan satu pelurupun tapi cukup menggerakkan satu orang Asisten Cukong (Asong) sebagai “orang dalam” yang ditanam dalam Birokrasi, maka entitas sebuah wilayah atau Negara bisa beralih kepemilikan menjadi milik Asing atau Aseng.
Yang tersisa dari Negara hanyalah Pajak. Karena semua Aset yang bisa mendatangkan Kekayaan bagi Negara telah berubah milik menjadi Hak Milik Konspirasi Korporasi Asing atau Aseng.
Kalau sudah begitu, maka Negara diposisikan hanya sebatas tukang tarik pajak semata, sedangkan sumber- sumber Aset Negara telah berubah milik menjadi bagian dari Corporasinya Asing atau Aseng.
Maka tak salah rasanya bila Syaikh Ibnu Khaldun seorang Ilmuwan Muslim yang menguasai pengetahuan multidisipliner pada abad ke 13 (1332-1406 M) dalam kitabnya berjudul Muqoddimah menyampikan bahwa bila Negara telah berusaha menarik pajak dari segenap sisi, maka bersiaplah karena itu tanda awal kehancuran sebuah Negara.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com