Revolusi Mesir : Sebuah Akumulasi Keputusasaan Rakyat

Bagikan artikel ini

Triono Akhmad Munib

“Saya sudah muak dengan negeri ini, semuanya rusak, pengangguran, kemisikinan makin tak ada jawabannya. Pemerintah tidak peka, malah enak berpesta ria”

Kutipan di atas, merupakan sebuah ungkapan seorang demonstran yang ikut bedemonstrasi selama berhari-hari di Alun-alun Tahrir pusat Kota Kairo, Mesir. Kejadian ini bisa dikatakan menjadi sebuah peringatan kepada negara-negara yang selama ini kurang bisa memberikan ruang kepada kedaulatan rakyat. Pertanyaannya di sini, adalah mengapa revolusi di Mesir itu bisa terjadi?. Untuk menjawab pertanyaan di atas, alangkah baiknya kita sedikit mengenal negara Mesir itu sendiri dan kejadian-kejadian yang menyangkut pemerintahannya.

Republik Arab Mesir, lebih dikenal sebagai Mesir adalah sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika bagian timur laut. Dengan luas wilayah sekitar 997.739 km² Mesir mencakup Semenanjung Sinai, sedangkan sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur. Mesir terkenal dengan peradaban kuno dan beberapa monumen kuno termegah di dunia, misalnya Piramid Giza, Kuil Karnak dan Lembah Raja serta Kuil Ramses. Di Luxor, sebuah kota di wilayah selatan, terdapat kira-kira artefak kuno yang mencakup sekitar 65% artefak kuno di seluruh dunia. Kini, Mesir diakui secara luas sebagai pusat budaya dan politikal utama di wilayah Arab dan Timur Tengah.

Mesir berbentuk republik sejak 18 Juni 1953. Mesir adalah negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. Mohamed Hosni Mubarak telah menjabat sebagai Presiden Mesir selama lima periode, sejak 14 Oktober 1981 setelah pembunuhan Presiden Mohammed Anwar el-Sadat. Selain itu, ia juga pemimpin Partai Demokrat Nasional. Perdana Menteri Mesir, Dr. Ahmed Nazif dilantik pada 9 Juli 2004 untuk menggantikan Dr. Atef Ebeid.

Kekuasaan di Mesir diatur dengan sistem semipresidensial multipartai. Secara teoritis, kekuasaan eksekutif dibagi antara presiden dan perdana menteri namun dalam prakteknya kekuasaan terpusat pada presiden, yang selama ini dipilih dalam pemilu dengan kandidat tunggal. Mesir juga mengadakan pemilu parlemen multipartai. Pada akhir Februari 2005, Presiden Mubarak mengumumkan perubahan aturan pemilihan presiden menuju ke pemilu multikandidat. Untuk pertama kalinya sejak 1952, rakyat Mesir mendapat kesempatan untuk memilih pemimpin dari daftar berbagai kandidat. Namun, aturan yang baru juga menerapkan berbagai batasan sehingga berbagai tokoh, seperti Ayman Nour, tidak bisa bersaing dalam pemilihan dan Mubarak pun kembali menang dalam pemilu.

Dalam sejarah pemerintahannya Mesir sebelum terjadi revolusi saat ini juga pernah mengalami revolusi di tahun 1952. Revolusi ini pada mulanya bertujuan untuk menggulingkan Raja Farouk I. Bagaimanapun, pergerakan ini beralih kepada memansuhkan sistem raja berperlembagaan dan mewujudkan sebuah republik. Kejayaan revolusi itu memberi inspirasi kepada banyak negara Arab dan Afrika untuk menjatuhkan ‘rejim rasuah’.

Revolusi ini terjadi karena masyarakat menilai telah banyaknya sogokan, kerusakan, korupsi dan ketidakstabilan di dalam kerajaan. Kesemua ini adalah faktor-faktor itu mempengaruhi pihak revolusi tersebit. Pelaku revolusi ini adalah para pembelot di berbagai kalangan pegawai tertinggi tentara. Puncak keberhasilan dari revoulsi ini adalah perombakan sistem pemerintahan. Di tahun 1954 pasca revolusi tokoh Mesir saat itu Gamal Abdul Nasser mengumunkan Perlembagaan Mesir Baru pada 16 Januari. Perombakan perlembagaan itu diantaranya, Presiden mempunyai wewenang untuk melantik dan memecat menteri-menteri. Wanita dipernolehkan memberikan suaranya pertama kali dalam sejarah Mesir. Nasser dipilih sebagai Presiden Republik Mesir pada 23 Juni. Pada 1957, Nasser mengumumkan pembentukan National Union (Al-Ittihad Al-Qawmi), membuka jalan untuk pemilihan umum (pemilu) raya semenjak 1952.

Menurut penulis, revolusi di tahun 1952 tersebut setidaknya membuktikan bahwa adanya transisi Mesir ke arah yang lebih baik. Namun, mengapa revolusi dengan faktor yang sama bisa terulang kembali di tahun ini?

Revolusi 2011

Revolusi yang terjadi saat ini, hemat penulis merupakan sebuah akumulasi keputuasaan rakyat Mesir. Rakyat Mesir masih menahan rasa kekecawaan selam 32 tahun kepada Husni Mubarak. Ketika sebuah mangkok terisi sebagian, maka tidak akan tumpah. Namun ketika mangkok itu terisi penuh atau malah lebih, maka isinya akan tumpah. Inilah analogi yang mungkin tepat. Ketika kekecewaan seseorang belum bisa didengar oleh pemerintah. Namun ketiak kekecewaan tiap individu itu bertemu dan menjadi sebuah akumulasi. Maka inilah yang terjadi di Mesir. Dan di tahun ini lah mereka menemukan sebuah momen yang tepat untuk mengekspresikan rasa kekecewaan itu. Menyusul keberhasilan Tunisia menggulingkan Presiden Ben Ali yang menjadikan titik kebangkitan kedaulatan rakyat. Masyarakat Mesir menilai kinerja pemerintahan di bawah Mubarak buruk. Pengangguran tak kunjung menurun, kemisikinan meningkat, ketidakadilan, kasus korupsi, dan lain sebagainya. Mereka merasa kesal. Di saat masyarakat kedinginan, kelaparan, kehausan, kolega-kolega Mubarak malah asyik bermanuver sendiri. Menikmati kemewahan dan berpesta ria dengan uang rakyat. Selain itu rezim Mubarak di nilai represif terhadap hal-hal yang berbau anti-pemerintah. Mubarak menurut penulis, kurang bisa belajar dari sejarah Revolusi 1952 yang di mana isunya adalah sama. Seharunsya Mubarak bisa mengambil hikmahnya dan sebisa mungkin tidak mengulanginya kembali di masa pemerintahannya. Tiga puluh dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun, disela waktu yang lama itu justru menimbulkan keputusasaan masyarakat kepada pemeirntah

Menurut berita yang dilansir Kompas edisi 10 Pebruari 2011, bos perusahaan Google Mesir, Wael Ghonim mengatakan bahwa revolusi di negeri yang dikenal dengan peradaban tertua di dunia ini bukanlah semata-mata begitu saja terjadi. Jauh sebelumnya masyarakat telah membentuk dan mencari dukungan lewat saluran jejaring sosial. Ghonim sempat menganalogikan revolusi ini dengan revolusi Facebook.  Ini adalah klimaks kedaulatan rakyat. Dan peringatan kepada negara-negara lain jika tidak ingin terjadi seperti di Mesir. Segera benahi struktur pemerintahan dan mencoba mencari jalan keluar bagi segala tuntutan masyarakat.

Sumber :Triono Akhmad Munib

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com