Skema TPP dan TiSA AS dan Uni Eropa Hancurkan Sektor Farmasi dan Pertanian di Indonesia

Bagikan artikel ini
Trans Pacific Partnership (TPP) atau Kemitraan Lintas Pasifik yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Jepang pada perkembangannya merupakan aksi subversi ekonomi bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya. Khususnya di sektor kesehatan dan pertanian. Yang dimainkan AS melalui penerapan standar perlindungan paten dalam aturan Hak Kekayaan Intelektual.
Begitulah bocoran yang dirilis Wikileaks melalui twitter-nya pada 9 Oktober 2015.
Bagi para “Pemangku Kepentingan” sektor kesehatan di Indonesia kiranya cukup beralasan untuk khawatir. Sebab jika skema HKI diterapkan di Indonesia di sektor kesehatan maka akan menghilangkan akses masyarakat untuk membeli obat-obatan dengan murah dan terjangkau. Karena melalui penerapan HKI, TPP berhak menghapus ketentuan fleksibilitas The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPS) dalam World Trade Organization (WTO). Karena malalui skema TRIPS inilah, banyak negara-negara berkembang dimungkinkan untuk membuat obat generik dari obat-obatan yang dipatenkan oleh Perusahaan Farmasi Amerika demi kepentingan publik.
Maka dengan penghapusan ketentuan fleksibilitas TRIPS dalam TPP bisa berakibat terciptanya monopoli obat-obatan yang dilakukan oleh korporasi asing dengan harga yang cukup mahal. Apalagi melalui skema TRIPS, TPP akan memberikan jaminan perlindungan paten lebih dari 20 tahun. Apalagi TPP juga akan menerapkan ekslusivitas data yang telah dipatenkan.
Tak bisa dibantah bahwa melalui skema TRIPS di TPP ini, hanya akan menguntungkan korporasi-korporasi berskala global yang bermain di bidang kesehatan.
Lantas, bagaimana halnya di sektor pertanian khususnya di sektor pangan? Ternyata juga sama mengkhawatirkannya seperti juga di sektor farmasi dan obat-obatan.   Selama ini, perusahaan benih dan pestisida asing, seperti Bayer, Monsanto, maupun DuPont, telah memonopoli benih-benih ciptaannya. Karenanya, tidak memungkinkan petani kecil membudidayakan. Dengan jaminan perlindungan paten yang tinggi dalam TPP, korban-korban kasus kriminalisasi benih akan meningkat akibat diberlakukannya TPP.
Apalagi tanpa skema HKI di TPP inipun, fakta membuktikan bahwa sektor pertanian Indonesia sudah dikuasai monopoli kartel asing. Yang itu berarti, kartel internasional dan nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, dan bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.
Beberapa waktu lalu Komite Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.
Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.
Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Cina, dan bawang merah dari Filipina.
Dengan begitu, yang memperoleh keuntungan di sektor pertanian Indonesia bukanlah petani atau para pemangku kepentingan pertanian pada umumnya, melainkan terpusat hanya di tangan segelintir para pebisnis yang menciptakan monopoli tersebut.
Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan dan pertanian khususnya membangun oligopoli, Lantas siapa target sasaran bisnisnya yang kemudian jadi korban?  Yang jadi korban adalah para Petani kecil yang pada dasarnya masuk golongan ekonomi lemah dan kecil.
Sekadar untuk diketahui, TPP—sebelumnya bernama Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSE) jelas-jelas merupakan skema liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang komprehensif, terjadwal, dan mengikat. Bahkan, TPP disebut-sebut lebih berbahaya karena mencakup isu-isu World Trade Organization (WTO)-Plus.
Jika ini terjadi, dipastikan Indonesia akan diikat dengan kewajiban mereduksi tarifnya hingga mencapai 0 persen pada semua pos tarif di semua sektor, termasuk sektor sensitif seperti kesehatan, asuransi, dan jasa keuangan.
Dalam lingkup yang lebih luas, Indonesia juga wajib menerapkan kebijakan pengurangan biaya transaksi perdagangan, kebijakan kompetisi, government procurement, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan kebijakan investasi.
Bukan itu saja. TPP bakal jadi jalan masuk ke akses pasar yang lebih luas seperti Indonesia yang menjanjikan keuntungan yang besar di tengah terpuruknya ekonomi AS dan Eropa. Apalagi sekarang Indonesia tetap jadi sasaran pasif untuk dijadikan pasar penjualan produk-produk asing maupun investasi. Mengingat hingga kini ekonomi kita belum berbasis industri.
TPP juga tidak senafas dengan prinsip “Sentralisasi ASEAN” yang selama ini jadi pijakan politik luar negeri Indonesia untuk menjadikan ASEAN sebagai  basis kelembagaan dari semua bentuk kerjasama regional.
Selain itu,  terbukanya pintu secara lebar-lebar bagi masuknya gempuran asing di tengah-tengah melemahnya daya saing ekonomi nasional secara umum dan banyaknya kelemahan-kelemahan dalam ekonomi dalam negeri, menurut saya jauh lebih penting untuk ditangani ketimbang mengutamakan gabung ke TPP.
Bocoran Wikileaks Tentang TPP dan TISA
TPP pada hakekatnya merupakan kesepakatan rahasia beberapa negara untuk menguasai perdagangan global di kawasan Asia Pasifik. Amerika Serikat dan Uni Eropa melalui skema TPP ini bermaksud menjadikan dirinya sebagai Kutub Tunggal.
Pada 2 Juli 2015 lalu, Wikileaks kembali mengungkap beberapa fakta penting mengenai beberapa draft kesepakatan rahasia antarnegara dalam skema Trade in Services Agreement (TiSA) yang dimotori oleh AS dan Uni Eropa. Menurut data yang dirilis oleh Wikileaks, hingga kini ada 23 negara sudah melakukan negosiasi yaitu Australia, Kanada, Chile, Taiwan, Kolombia, Kostarika, Hongkong, Iceland, Israel, Jepang, Liechtenstein, Meksiko Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Pakistan, Panama, Uruguay, Paraguay, Peru, Korea Selatan, Turki, Amerika Serikat dan Uni Eropa (mewakili 28 negara, termasuk Inggris).
Dari 17 draf dokumen penting skema TISA yang saat ini masih dalam negosiasi yang sifatnya rahasia dan tertutup, dokumen tersebut menyiratkan beberapa kesepakatan penting untuk menghiangkan hambatan-hambatan perdagangan jasa antarnegara.
Wikileaks menulis:
“While the proposed Trans Pacific Partnerhship (TPP) and the Transatlantic Trade and Investment Pact (TTIP) have become well known in recent months, the TISA is the largest component of the United States strategic neoliberal trade treaty triumvirate. Together, the three treaties form not only a new legal order shaped for transnational corporations, but a new economic grand enclosure, which excludes China and all other BRICS countries.”
Tak pelak lagi TiSA merupakan komponen strategis untuk memainkan skema ekonomi neoliberal AS terhadap berbagai negara. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika TiSA dan TPP merupakan sebuah kesepakatan yang tingkatan daya rusaknya melebihi WTO dan NAFTA.
Dalam sebuah laporannya yang berjudul TiSA versus Public ServicesPublic Services International, sebuah organisasi federasi lembaga persatuan pekerja publik internasional yang beranggotakan sekitar 20 juta pekerja publik yang tersebar di 154 negara, antara lain menulis sebagai berikiut:
“Current treaties have developed into constitutional-style documents that tie governments’ heads in many areas only loosely related to trade. These include patent protections for drugs, local government purchasing, foreign investor rights, public services and public interest regulation, which can have consequences in areas such as labour, the environment and Internet Freedom.”
Selain itu, dengan merujuk pada artikel dari Emma Woolacott, kontributor forbes.com, ada dugaan kuat bahwa dalam sebuah klausulnya, setiap negara yang ikut meratifikasi TiSA diwajibkan untuk mengizinkan data base kependudukannya untuk diakses oleh negara, lembaga, perusahaan atau individu negara lain.
Namun, apa agenda tersembunyi dari TiSA kiranya yang jauh lebih penting untuk diungkap. Berdasarkan diskusi terbatas antar beberapa peneliti senior Global Future Institute, tujuan TiSA nampaknya bukan sekadar untuk meliberalisasi perdagangan jasa antarnegara anggota TiSA. Lebih dalam dari itu, sepertinya TiSA bertujuan untuk memaksa negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), maupun negara-negara yang tergabung dalam ASEAN serta beberapa negara berkembang lainnya, agar tunduk dan patuh terhadap aturan yang ditetapkan oleh TiSA.
Hal ini membuktikan bahwa AS dan Uni Eropa memandang dirinya sebagai kutub tunggal dan menafikan keberadaan kekuatan-kekuatan alternatif di luar orbit mereka sebagai kutub tersendiri yang patut diperhitungkan. Sehingga kekuatan-kekuatan baru seperti BRICS dan ASEAN sudah sewajarnya untuk terintegrasi dalam skema TiSA dan TPP.
Hal ini membuktikan bahwa AS dan Uni Eropa memandang dirinya sebagai kutub tunggal dan menafikan keberadaan kekuatan-kekuatan alternatif di luar orbit mereka sebagai kutub tersendiri yang patut diperhitungkan. Sehingga kekuatan-kekuatan baru seperti BRICS dan ASEAN sudah sewajarnya untuk terintegrasi dalam skema TiSA dan TPP.
Apalagi dalam perhitungan negara-negara yang tergabung TiSA, jika total perdagangan jasa antarnegara yang tergabung dalam TiSA digabung menjadi satu, maka diperkirakan TiSA akan menguasai dua pertiga GDP global.
AS dan Uni Eropa Mulai Khawatir terhadap BRICS dan Kebangkitan Asia?
Beberapa waktu lalu memang beredar informasi bahwa Cina sedang dirangkul oleh Uni Eropa untuk bersama-sama menguasai perekonomian ASEAN melalui apa yang dinamakan “Europe’s Smart Asian Pivot”. Menurut beberapa data yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, Asia sudah menjadi trading partner penting yang mengusai sepertiga perdagangan internasional Uni Eropa. Berarti ini sudah berhasil menyalip tingkat perdagangannnya dengan Amerika Utara. Bahkan perdagangannya dengan Cina saja, sudah mencapai lebih dari 1 juta Euro per hari. Jelaslah ini merupakan catatan yang maha penting.
Sementara itu, negara-negara yang tergabung dalam BRICS menolak menjadi anggota TiSA. Penolakan negara-negara yang tergabung dalam skema BRICS untuk bergabung dengan TiSA bisa dibaca sebagai sebagai bukti bahwa BRICS sudah menjadi kekuatan keseimbangan baru di medan perekonomian global di luar lingkup pengaruh dan orbit dari TiSA dan TPP yang dimotori AS dan Uni Eropa.
Dalam konteks tren global terbaru inilah, pertemuan tingkat tinggi tiga negara (Korea Selatan, Cina dan Jepang) Minggu 1 November lalu, bisa dibaca sebagai suatu langkah strategis membangun kekuatan keseimbangan baru antar negara-negara Asia, untuk mengimbangi manuver Amerika Serikat dan Uni Eropa melalui TPP dan TiSA.
Bagi Indonesia, menyikapi skema TPP yang dimotori oleh AS tersebut, hendaknya mewaspadai kata indah di balik frase “Free Trade” dan “More Transparancy” dalam skema TPP. Sebab, “Deal is not about trade, it is about corporate control.”
Nampaknya memang begitulah adanya. Pertarungan Kepentingan antar Korporasi-Korporasi Global. Maka itu, Indonesia harus punya kontra skema untuk bisa ikut bemain secara aktif di tengah pusaran pertarungan antar korporasi global tersebut.
Karen itu, Indonesia sudah saatnya untuk menyerap inspirasi dari Skema Kerjasama BRICS untuk membangun kekuatan-kekuatan baru sekaligus kekuatan penyeimbang dalam pertarungan global saat ini.
Sebagai pemimpin bangsa yang besar, sudah semestinya Presiden Jokowi berperan sebagai pelopor usaha dan kerja sama regional, dan bukan sebagai pengikut atau obyek pasif dari berbagai kepentingan global negara-negara adikuasa baik Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, maupun Cina.
Selain itu, Indonesia harus memelopori usaha untuk  mengarahkan negara-negara anggota ASEAN dan Asia Timur untuk lebih fokus mengupayakan kerjasama ekonomi dalam kerangka kerjasama ASEAN, yang secara jelas dan terang-benderang tercantum dalam Piagam ASEAN dan menjadi bagian dari politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Terkait dengan gagasan tersebut, pertemuan tingkat tinggi tiga negara (Jepang, Korea Selatan dan Cina) Minggu 1 November lalu, kiranya bisa kita jadikan momentum untuk memprakarsai lingkup kerjasama strategis bersifat multilateral yang lebih luas di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Tidak ada salahnya jika kita merujuk pada konsepsi Presiden Pertama RI Sukarno ketika melontarkan gagasan PAN ASIANISME atau PAN ASIA RAYA, sebagai landasan untuk membangun kerjasama antar negara Asia atas dasar semangat The New Emerging Forces (NEFOS) yang dikembangkan Bung Karno pada 1964.
Sayangnya, gagasan Bung Karno untuk menggulirkan persekutuan strategis antar negara-negara yang baru merdeka dan berkembang yang rencananya akan diresmikan pada Conefo Agustus 1966, gagal terlaksana akibat meletusnya Gerakan 30 September 1965, yang berakibat lumpuhnya pemerintahan Sukarno sejak 1966.

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com