Taiwan, Tumbal Kesepakatan Strategis Amerika Serikat-Cina?

Bagikan artikel ini

Sepertinya ada sebuah agenda tersembunyi di balik konflik yang seakan semakin memanas antara Amerika Serikat (AS) dan Cina. Dan Taiwan, sebuah pulau yang menjadi basis kekuatan anti komunis pimpinan Chang Kai Shek sejak 1949, nampaknya secara sadar dijadikan alat oleh AS untuk meningkatkan posisi tawar terhadap Republik Rakyat Cina.  Isu yang mengemukan belakangan ini adalah  mengenai penjualan senjata kepada Taiwan. Demikianlah informasi yang diungkapkan oleh Philip De Leon dari Trade Connections International.

“Salah satu isu terbesar yang tidak kami pikirkan adalah, AS telah berusaha untuk membuat Cina memberikan dukungan untuk melawan Iran. AS menganggap hal tersebut sebagai sebuah hal yang penting untuk keamanannya, sementara Cina selalu bersikap menghindar dan tidak mau menyentuh permasalahan tersebut,” kata De Leon kepada RT.

“Sekarang AS berpikir: Hal itu penting bagi kami, kalau kalian tidak melakukan apapun. Kami akan menjual kepada Taiwan, dan kami tidak terlalu ambil pusing mengenai apa yang kalian pikirkan mengenai hal ini,” tambahnya.

Washington telah mendesak Beijing agar tidak menjatuhkan sanksi kepada perusahaan-perusahaan AS yang terlibat perdagangan senjata dengan Taiwan. Pemerintah Obama mempertahankan kucuran dana $6,4 miliar dalam perjanjian yang disepakati pekan lalu.

Bisa dimengerti.Karena sejak tergusurnya Chang Kai Shek ke Pulau Formosa(Taiwan) menyusul kemenangan Cina komunis pimpinan Mao Zedong dan Cho en Lai, praktis Amerika telah menjadikan Taiwan sebagai sekutu strategisnya dalam perang dingin antara AS versus Uni Soviet-RRC. Meski belakangan AS merapat kepada RRC setelah hubungan Cina-Soviet memburuk di awal 1970-an.

Menurut AS, kesepakatan penjualan senjata kepada Taiwan tersebut akan memungkinkan terciptanya keseimbangan militer di kawasan tersebut. Beijing selalu menentang keras transaksi AS dengan Taiwan dalam bentuk apapun. China menganggap Taiwan sebagai bagian dari teritorinya yang menyempal dari Cina daratan. Dengan kata lain, di mata RRC Taiwan merupakan kelompok separatis.

Namun, fakta inilah yang kemudian dijadikan alat untuk meningkatkan posisi tawar AS kepada RRC. AS tahu, RRC pasti gusar jika persenjataan Taiwan semakin diperkuat.

Benar saja. Bulan lalu, China bergerak cepat untuk menunda pertukaran militer dengan AS, setelah Washington mengumumkan penjualan senjata kepada Taiwan, sebuah manuver yang tentu saja semakin mengobarkan permusuhan  AS-Cina.

Kementerian Pertahanan China, dalam sebuah pernyataan keras yang dikutip oleh kantor berita Xinhua, mengecam rencana penjualan senjata AS kepada Taiwan, yang dianggap oleh China sebagai provinsi pemberontak yang tidak sah.

“Karena efek buruk dan menjijikkan dari penjualan senjata AS kepada Taiwan, China telah memutuskan untuk menunda kunjungan militer,” kata kementerian sebagaimana dikutip oleh Xinhua.

Qian Lihua, direktur Kantor Urusan Luar Negeri Kementerian Pertahanan China, juga memanggil atase pertahanan AS untuk menyampaikan protes mengenai penjualan tersebut, tambah Xinhua.

Sebelumnya, pemerintahan Obama mengatakan kepada Kongres mengenai rencana penjualan senjata kepada Taiwan. Penjualan tersebut berpotensi mencapai angka $6,4 miliar, termasuk helikopter Black Hawk, sistem pertahanan peluru kendali Patriot, dan dua kapal pemburu ranjau baru Osprey.

Menteri Luar Negeri China, He Yafei, mengatakan kepada duta besar AS untuk China, Jon Huntsman, bahwa kesepakatan penjualan senjata tersebut dapat merusak hubungan China dengan Washington, yang ingin mendapatkan bantuan China dalam mengatasi krisis keuangan, masalah Iran dan Korea Utara, serta memerangi perubahan iklim.

Penjualan senjata AS kepada Taiwan tersebut semakin menambah panjang masalah dengan China, mulai dari ketidakseimbangan perdagangan, perselisihan mata uang, hak asasi manusia, internet, dan Tibet.

Washington dan Beijing baru-baru ini juga saling melontarkan kemarahan mengenai kebijakan internet, setelah raksasa mesin pencari internet, Google Inc, pada awal bulan ini mengancam untuk menutup portal Google.cn dan menarik diri dari Cina karena masalah sensor dan hacker.

Dalam beberapa bulan ke depan, Presiden Obama mungkin akan bertemu dengan Dalai Lama, pemimpin spiritual terasing Tibet yang disebut oleh China sebagai seorang tokoh separatis berbahaya, semakin menambah kemarahan China terhadap AS.
Rentetan manuver pemerintahan Obama yang semakin konfrontatif dan memancing kemarahan Cina, tentu saja menjadi tanda tanya besar. Jangan-jangan, in memang skenario rancangan Zbigniew Brzezinski, arsitek politik luar negeri Obama sejak masa Kampanye presiden 2010 lalu.

Sasaran strategis Brzezinski sebenarnya ada dua. Pertama, melumpuhkan Rusia, dan kedua menghancurkan Cina. Langkah pertama yang harus dilakukan menurut skema Brzezinski, mematahkan persekutuan strategis Rusia-Cina di bawah payung Shanghai Cooperation Organization.

Dalam kaitan dengan Iran, nampaknya skenario Brzezinski menemu kegagalan. Dalam skenario yang disusunnya, AS akan memberi ruang gerak yang bebas kepada Cina untuk berbisnis dan berinvestasi di Iran. Dan AS, akan bersikap lunak kepada Iran. Sebagai konsesinya, Cina harus kembali merapatkan persekutuan strategisnya dengan AS.

Namun Cina, sebagaimana informasi dari Philipe de Lion dari Trade Connection, tidak menggubris tawaran menarik AS tersebut. Maka Taiwan, kemudian kembali dimainkan AS sebagai isu untuk menekan Cina agar mengikuti skema Obama tersebut.

Diolah oleh GFI dari  www.suaramedia.com dan Webster Tarpley, Obama the Post Modern Coup.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com