60 Juta Orang Butuh Akses Informasi Yang Akurat dan Mendalam

Bagikan artikel ini
Pendahuluan
Tema pagelaran diskusi kita kali ini sangat menarik. Terutama mengenai prospek media di tanah air pada 2015 mendatang. Menarik karena media massa telah menjadi alat perang asimetris kekuatan asing yang ingin memaksakan agenda politiknya guna melemahkan kekuatan NKRI.
Kalau kita cermati, lalu kita framing maka akan terlihat sebuah agenda setting dalam dunia pers Indonesia sejak era 1980-an. Pertama, isu mengenai terbelahnya TNI menjadi Tentara Merah Putih dan Tentara Hijau. Yang konon sebagai akibat perseteruan “bawah tanah“ antara Beni Moerdani dan Prabowo Subianto yang kala itu sedang naik daun. Kedua, menculnya gerakan Kebangkitan Nasional Indonesia Ke II dan isu “reformasi“ di awal 1990-an. Dan terakhir adalah wacana “people power“ dan “wong cilik“ yang menjadi diskursus politik para aktivis tanah air.
Ketiga agenda politik itu telah menjadi wacana utama media nasional kita waktu itu hingga kini. Yang menarik adalah kalangan pers kita seakan-akan telah menjadi satu komando. Mengapa demikian? Nah untuk itu mari kita urai satu persatu dan kemudian kita tarik benang merahnya. Oh ya biar lebih menarik analisanya, sebagai bahan renungan coba baca “Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia Melalui Isu: Indosat, WTO dan Laut China Selatan“ di Global Review.
Pelemahan TNI
10 tahun lebih Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto ternyata telah membuat banyak kalangan gelisah dan kecewa. Apalagi melihat kondisi Presiden Soeharto yang semakin kuat dan populis. Terutama kelompok-kelompok kepentingan yang ingin berkuasa di Indonesia, termasuk kekuatan asing yang ingin menguasai Indonesia. Menariknya, meskipun berbeda-beda kepentingan, bahkan saling bermusuhan namun mereka menjadi satu untuk menghadapi Presiden Soeharto.
Kelompok-kelompok kepentingan itu menyadari bahwa tulang punggung Presiden Soeharto adalah TNI, khususnya TNI AD. Oleh karena itu, untuk melemahkan Soeharto, maka TNI harus dilemahkan. Maka mulailah dilancarkan perang asimetris berupa isu “HAM“ dan “profesionalisme“ untuk melemahkan posisi TNI. Bahkan Australia atas pesanan AS secara khusus meminta kepada Presiden Soeharto untuk membubarkan Kopasus. Tapi tidak digubris. Akibatnya AS dan Inggris kemudian terpaksa terang-terangan mengembargo alutsista TNI hingga lumpuh. Selama 10 tahun TNI diserang terus-menerus melalui berbagai isu HAM hingga kembali ke barak ternyata cukup efektif. TNI melemah, terbelah, dan terjebak masuk perangkap. Pembusukan TNI berhasil. Intelijen pun lumpuh.
Kebangkitan Nasional Indonesia Ke-II dan Reformasi.
Memasuki awal 1990, dimulailah gerakan Kebangkitan Nasional Indonesia Ke II dan Reformasi Indonesia dimatangkan. Hampir seluruh tokoh dan elemen kebangsaan terlibat dan setuju bahwa memang perlu dilakukan reformasi di Indonesia. Bahasa gaulnya, runtuhkan kekuasaan  Presiden Soeharto secara gotong royong. Tinggal siapa tokohnya yang tepat yang bisa menjadi simbol perjuangan “wong cilik“, serta apa kendaraan politiknya.
Megawati Simbol Wong Cilik
Menjelang medio 1990-an, Megawati Soekarno Putri dalam waktu singkat. Bahkan instan, tampil sebagai tokoh dan simbol perjuangan wong cilik di tanah air. Seluruh media nasional dan internasional sibuk memberitakan fenomena tersebut. Karena memang ajaib bisa terjadi. Kisah paling menarik bagi saya adalah peristiwa KLB PDI Surabaya, dimana media nasional dengan tegas menggambarkan sosok Megawati sebagai simbol “wong cilik“. Tapi anehnya, gerakan “wong cilik“ kok dikawal banyak Jenderal aktif, seperti Hendropriyono, Agum Gumelar, Imam Utomo, Hari Sabarno, dan masih banyak lagi.
Lalu siapa lawan Megawati waktu KLB PDI itu sehingga perlu demikian banyak bintang turun kelapangan. Dialah Budi Hardjono. Seorang tokoh PDI yang sederhana dan bersahaja. Nah, inilah menariknya, kalangan media langsung memberitakan bahwa Budi Hardjono adalah orang titipan pemerintah. Bisa dicek, atau baca arsip kliping berita media nasional waktu itu. Bahkan media asing pun cukup banyak pemberitaannya, terutama CNN dan Reuter. Coba bayangkan Budi Hardjono, yang jelas-jelas merupakan funsionaris dan arus bawah partai PDI kok diberitakan titipan pemerintah. Sedangkan Megawati yang datang dengan bertaburan bintang kok dianggap simbol “wong cilik“. Bukan terbalik namanya!
Media massa nasional, termasuk Poskota Mas Joko, meliput peristiwa itu, Megawati “wong cilik“, semua berita seragam bahwa Budi Harjono adalah titipan Soeharto, titipan pemerintah.
Jadi era 80-an, pertengah 90-an media sudah matang menjadi satu mainstream, sudah satu komando. Megawati adalah simbol perjuangan “wong cilik“, sampai hari ini agenda tersebut masih berjalan on the track. Dan kemenangan Jokowi adalah puncak keberhasilan dari mainstream media massa nasional yang secara sistematis dikelola oleh satu komando itu. Wah, penen raya nih.
Agenda Asing
Tampaknya ada sebuah agenda setting yang dijalankan guna membentuk mindset rakyat Indonesia agar sesuai dengan keinginan pihak yang membuat agenda. Tentu saja agenda tersebut bisa berjalan karena mendapat dukungan kuat dari dalam negeri. Agenda asing tidak mungkin berjalan jika tidak mendapat dukungan dari dalam negeri sendiri.
Tanpa disadari agenda tersebut sudah ditanamkan jauh-jauh hari untuk mengatur masa depan Indonesia melalui media massa. Kalo masyarakat umum ya jelas tidak mengerti apa-apa, tahunya cuma isu, atau dengar gosip aja, tidak memiliki kemampan untuk konfirmasi.
Sekarang, misalkan hal yang paling sederhana saja dari keberhasilan kemasan media bagi “wong cilik“ adalah citra Jokowi yang begitu sempurna sebagai representasi arus bawah.
Secara terbuka dan transparan keberpihakan media massa pada pemilu 2014 sangat jelas, bahkan telanjang. Kemenangan Jokowi dan Ahok adalah tanda-tanda zaman berakhirnya kedaulatan NKRI.
Keberhasilan media massa membangun opini yang begitu dahsyat telah menjungkirbalikkan tatanan kearifan lokal kita. Indonesia dewasa ini seakan-akan baik-baik saja. Bahkan seakan tidak ada masalah. Nanti kita bahas dalam diskusi.
Kini Indonesia sudah tidak punya apa-apa lagi. Tidak ada yang tersisa. Semua sudah terjual atau tergadaikan. Bumi, air dan kekayaan alam Indonesia sudah dikuasai asing.
Nah, pasca pilpres 2014, psikologi atmosfir media massa Indonesia terasa hambar. Setting media yang begitu sistematis telah membodohi masyarakat luas secara masif. Lalu bagaimana prospek media massa kita ke depan?
Menurut saya media massa ke depan cukup cerah. Khususnya bagi media massa yang ideologis. Sebuah media alternatif yang mencerahkan bagi 60 juta lebih rakyat pemilih yang kecewa karena dicurangi. Sekali lagi ada 60 juta rakyat Indonesia yang harus diayomi dan dijaga spirit revolusionernya untuk merdeka dari penjajahan asing dan penindasan oleh bangsa sendiri. Mereka semua haus dan lapar informasi yang membakar semangat jiwa raga.
Jadi menurut saya kalau kita berbicara prospek, ada prospek, ada harapan. Sekarang tinggal kita mampu tidak menjaga harapan orang yang mendukung Prabowo Subianto untuk tetap setia dan membina mereka menjadi sebuah kekuatan baru, sebuah kekuatan yang memiliki ideologi. Inilah sebenarnya tugas kita dalam diskusi hari ini.
Para aktivis harus mampu menjadi penyambung lidah rakyat. Seperti sekarang kita diskusi, tentang prospek media, lalu bagaimana pesan kita ini sampai ketengah 60 juta rakyat itu. Ya, mereka harus tahu informasi terakhir agar mereka tidak termakan isu yang kontra produktif.
Misalkan sekarang media sedang ramai memberitakan ISIS. Kita harus mampu memberikan pandangan yang berbeda bagi masyarakat luas agar jangan hanya termakan isu sepihak. Demikian pula isu Al Qaeda, apakah rakyat tahu  apa itu Al Qaeda? Siapa Osama bin Laden? Banyak rakyat tidak tahu bahwa Osama itu adalah ahli minyak top Amerika Serikat (AS) yang tahu betul urat nadi dunia perminyakan AS. Bahwa Keluarga Bin Laden adalah rekanan bisnis minyak AS di Saudi Arabia. Osama ingin merubah Saudi Arabia menjadi Republik dengan dukungan AS dan Keluarga Bush. Tapi ditolak oleh AS. Bagi AS bisnis adalah bisnis, yang penting untung. Tidak ada hubungan dengan demokrasi. Biasa standar ganda. Dan seterusnya.
Kembali ke media kita yang sejak era 80-90 mainstream nya sudah dikuasai oleh kekuatan asing. Nah, sekarang ini mereka sudah konsolidasi total, mereka sudah siap untuk pukulan terakhir yang mematikan. Kita sudah tidak bisa melawan mereka. Berita sudah diputar balik semua. Dunia sudah jadi panggung sandiwara.
Bagi saya media massa kita ke depan hanya akan sekedar menjadi hiburan rakyat belaka ketika AS dan China secara serentak membuldozer NKRI. Ya, program finishing menghapus NKRI dari muka bumi dimulai. Jalur Sutera mulai menampakkan wujudnya di bumi Ibu Pertiwi.
Tampaknya nasib NKRI sampai 2020 sudah tidak ada apa-apanya lagi. Lalu bagaimana kita menghadapi kondisi yang sudah tidak punya apa-apa lagi, tidak punya power, dan muncul ISIS. Lalu bagaimana nasib 60 juta orang yang masih memiliki harapan.***
*Agus Setiawan, Peneliti Global Future Institute (GFI). Disampaikan pada seminar terbatas Global Future Institute (GFI) bertajuk Prospek Media Massa Nasional 2015: Peluang dan Hambatan, Kamis (28/08/2014).
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com