Prita Mulyasari Korban dari Peraturan Yang Belum Sempurna

Bagikan artikel ini

Rusman, Peneliti Global Future Institute (GFI)

Kasus yang dialami Prita Mulyasari menjadi pelajaran yang sangat berharga. Kajian terhadap UU ITE itu perlu dilakukan agar tidak muncul Prita yang lain di kemudian hari.

Kehadiran UU ITE belakangan menuai protes dari sebagian kalangan. Sikap protes ini mencuat ketika kasus antara Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional menjadi perhatian publik.

Menurut calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, UU Informasi dan Transaksi
Elektronik harus direvisi.

“Jika memang pasal-pasal dalam UU itu melekat dengan hak-hak asasi warga, maka UU itu harus direvisi. Tapi jangan juga disalahartikan revisi itu untuk menghilangkan. Revisi bisa saja menambah pasal. Tapi harus berguna untuk kemaslahatan masyarakat,” ujar Mega saat mengunjungi Prita di LP Wanita Tangerang, Rabu (3/6).

Seperti mengamini pendapat Megawati, Panitia Khusus Pembahas UU ITE M Yamin mengakui bahwa peraturan tersebut belum sempurna.

Menurutnya, UU ITE juga baru akan diterapkan mulai 2010 setelah peraturan pendukungnya selesai dibuat. “UU ITE belum sempurna, baru 5 persen yang dikeluarkan. Untuk kesempurnaan UU, kita seharusnya memahami betul UU ITE untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Yamin kepada wartawan, Rabu (3/6).

Namun dirinya tidak setuju bila UU ITE direvisi. Yang diperlukan menurutnya adalah harus diberikan garis agar tepat dan pas. Yamin mendesak pemerintah untuk menyelesaikan peraturan.

Hal senada juga disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), Edmon Makarim. Menurutnya Prita Mulyasari dinilai sebagai korban dari penyalaghunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini.

Kasus ini sangat disayangkan terjadi. Edmon menganggap seharusnya Rumah Sakit Omni Internasional melakukan peningkatan pelayanan, bukan memperkarakan kasus pencemaran nama baik.

Sementara itu menurut Pakar Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya, Henry Subyakto menilai bukan merupakan kesalahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Justeru menurutnya, UU ITE dibuat sebagai upaya untuk melindungi warga negara siapa pun dari fitnah atau pencemaran nama baik.  Walau demikian dia berpendapat perlu dilakukan uji materi (judicial review) terutama Pasal 27 yang digunakan untuk menjerat Prita.

Disebutkan pada UU ITE Pasal 27 ayat (3), “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Menurut Hendry, problemnya ada pada penahanan sebagai penerapan hukum KUHAP. Dia berpendapat bahwa kejaksaan tidak bijak menerapkan hukum. “Seharusnya Prita jangan ditahan dulu karena belum tentu melanggar UU ITE,” katanya.

Menurut KUHAP, Kejaksaan memang berhak menahan seorang tersangka yang melanggar peraturan dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara. Adapun pelanggaran terhadap Pasal 27 UU ITE diancam dengan enam tahun penjara.

Kasus pencemaran nama baik tersebut berawal ketika Prita menuliskan keluhannya dalam e-mail atau surat elektronik tentang pelayanan RS Omni kepada teman-temannya. Namun, isi dari surat elektronik tersebut tersebar hingga ke sejumlah milis sehingga membuat RS Omni mengambil langkah hukum.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com