Dunia Tergantung Indonesia

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Judul di atas niscaya memunculkan beberapa perdebatan baik ringan, sedang, hingga debat berat berklasifikasi filsafat maupun geopolitik. Tentunya, “Itu fiktif atau fakta; mitos atau sekedar mimpi; fiksi atau realitas; itu opini atau cuma “onani” (menyenangkan diri sendiri)?”

Maka entah mitos, fiktif, opini ataupun fiksi, penulis teringat nasehat leluhur dulu: “Dunia tergantung Indonesia, Indonesia tergantung Jawa, Jawa tergantung Jawa Timur.” Titik. Pertanyaan dari penulis, “Jawa Timur tergantung mana, dan mana tergantung siapa?” Mari kita diskusi sejenak sembari ngopi sebatas Dunia Tergantung Indonesia saja, tak sampai ke Jawa, Jawa Timur, apalagi mana dan siapa.

Tak dapat dipungkiri siapapun, bahwa takdir geopolitik Indonesia —ditinjau dari perspektif global— sungguh menggiurkan lagi sangat strategis. Apa saja elemen dan/atau faktornya?

Pertama, geoposisi silang di antara dua samudera (Lautan Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Australia dan Asia) mengandung konsekuensi bahwa hampir 80% perdagangan dunia bersinggungan di Indonesia, bahkan 50% tanker minyak dunia melintasi perairan/selat-selat Indonesia. Ya. Perairan kita dilintasi Sealane of Communication (SLOC), yaitu jalur pelayaran global untuk barang dan jasa tak kunjung sepi;

Kedua, sumber raw material berbagai industri. Perbandingannya, apabila Irak, atau Arab Saudi, dan lain-lain cuma punya minyak dan gas, kita memiliki semuanya terkait pangan dan energi termasuk industri pariwisata dan lain-lain;

Ketiga, pasar nan potensial karena merupakan negara berpenduduk terbesar ke-4 plus muslim terbesar di dunia;

Keempat, tempat memutar kembali kapital (investasi) atas modal yang telah terakumulasi;

Kelima, negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, beriklim tropis (dua musim), serta curah hujannya tinggi.

Ke-5 aspek di atas, bukanlah fiksi bukan pula opini, namun itulah garis besar atas realitas geopolitik Indonesia. Beberapa pertanyaan out of the box pun muncul:

(1) seandainya kita menutup diri dari dunia luar sebagaimana Cina tempo doeloe, apakah bangsa Indonesia bisa terus langgeng?

(2) seandainya Indonesia diserang secara militer seperti Suriah dibombardir oleh Amerika, Perancis dan Inggris, siapa yang bakal dirugikan?

Ya, ya! Tempat putar kapital niscaya lari entah kemana, lintasan SLOC akan terhenti, distribusi supplay and demand akan berhenti, suplai raw material bakal macet, buntu, dan lain-lain. Inilah sekilas fiksi bahwa dunia sejatinya tergantung Indonesia. Tinggal bagaimana bangsa ini memberdayakan takdir geopolitik dimaksud. Misalnya, bila dikeluarkan TAP MPR atau minimal UU untuk mengutip fee dalam bentuk rupiah bagi setiap kapal yang melintas di perairan kita, niscaya devisa bakal gendut dan rupiah tak bakal melemah karena dicari banyak negara. Kenapa kita sekarang justru merengek-rengek kepada dunia?

Dahulu, Inggris (pernah) kita linggis, Amerika kita setrika! Kini, ngopi dulu..

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com