Mengkritisi Kebijakan Impor Pangan Pemerintahan Jokowi-JK (Sebuah Catatan Akhir Tahun)

Bagikan artikel ini

Pernyataan Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang mengatakan Indonesia masih akan mengandalkan impor pangan pada tahun 2016 mendatang menjadi catatan serius yang perlu dikritisi. Apapun alasannya, pemerintah sejatinya mencari solusi agar tidak melulu mengandalkan impor dibidang pangan. Pasalnya, dianalisis dari segala aspek, Indonesia sebenarnya berpotensi untuk bisa mengerem kebijakan impor pangan ini.

Pernyataan Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang mengatakan Indonesia masih akan mengandalkan impor pangan pada tahun 2016 mendatang menjadi catatan serius yang perlu dikritisi. Apapun alasannya, pemerintah sejatinya mencari solusi agar tidak melulu mengandalkan impor dibidang pangan. Pasalnya, dianalisis dari segala aspek, Indonesia sebenarnya berpotensi untuk bisa mengerem kebijakan impor pangan ini.

Kebijakan impor atas pangan menurut Mendag dilakukan guna mengantisipasi kelangkaan pangan yang akan berakibat pada bergejolaknya harga. Lebih lanjut Thomas mengatakan, pemerintah masih mempunyai peluang untuk melakukan impor pangan karena mendapatkan surplus 7-9 miliar Dolar Amerika Serikat selama tahun 2015. “Karena surplus, masih banyak peluang impor pangan untuk meredam harga pangan. Lain kalau kita defisit,” kata Thomas di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada Minggu (27/12/2015).

Masih penjelasan Thomas, satu diantara yang akan diimpor adalah daging sapi dengan kuota tahunan sebesar 700.000 sampai 800.000 ekor per tahun. Gula mentah juga akan didatangkan dengan jumlah di atas 3 juta ton. Selain itu katanya, pemerintah juga akan mengimpor beras sebagai antisipasi elnino kedua yang diperkirakan akan terjadi pada Februari 2016.

Tidak sampai disitu saja. Thomas juga mengatakan, pada September lalu, pemerintah telah menyepakati kebutuhan impor di atas 1,5 juta ton. Namun katanya, hingga akhir Desember 2015 ini, pemerintah baru menggunakan jatah impor sekitar 700 ton. Oleh karena itu, sisanya bisa digunakan pada tahun 2016. “Saya yakin ada kebutuhan impor lagi, di atas 1,5 juta ton yang sudah disepakati September itu,” katanya.

Namun menurut Thomas, kebijakan impor ini akan dilakukan sampai Indonesia bisa mencapai swasembada pangan, yang ditargetkan akan terlaksana pada 2-3 tahun mendatang.

Sambil mengandalkan impor, kata Thomas, pemerintah membangun infrastruktur yang memungkinkan swasembada pangan, misalnya pembangunan waduk, sistem irigasi, sistem logistik dan sebagainya. “Presiden dan wapres sendiri kan sudah menyatakan swasembada pangan itu jangka menengah. Kita bangun infrastruktur, dua sampai tiga tahun dari sekarang baru mulai terasa,” kata dia.

Apa yang disampaikan Thomas ini selayaknya menjadi perhatian yang serius bagi pemerintahan Jokowi-JK. Seharusnya, pemerintahan Jokowi-JK melihat dan menelaah apa yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya. Dimana Menteri Pertanian (Mentan) Suswono di era pemerintahan SBY, Indonesia telah meluncurkan program ketahanan pangan atau swasembada pada lima komoditas, yakni beras, kedelai, jagung, gula dan daging.

Kelima komoditas tersebut dinilai strategis bagi sektor ekonomi, sosial dan politik di mana produksinya melibatkan petani skala besar maupun kecil dan pengusaha mikro atau kecil dan yang secara langsung atau tidak langsung sebagian adalah rakyat Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah ini disadari oleh pemerintahan Jokowi-JK dalam kebijakan terkait ketahanan pangan?

Swasembada Pangan Masih Sekedar Slogan

Berdasarkan catatan The Global Review, mantan Mentan Suswono pada 2013 lalu sudah mengingatkan bahwa swasembada pangan bagi Indonesia merupakan pilihan yang logis. Karena di samping penduduknya yang sangat besar, yaitu keempat di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat, pasar pangan internasional masih tidak bisa dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan kejadian gejolak harga yang tidak terkendali beberapa waktu lalu.

Selain itu, negara-negara APEC di Asia memiliki petani dengan ciri atau karakteristik yang berbeda dengan negara-negara APEC lainnya, itu sempitnya penguasaan lahan dan jumlah petani kecilnya sangat besar. Petani skala kecil ini tidak boleh ditinggalkan dalam menyusun ketahanan pangan global.

“Dan tidak ada negara yang dengan sengaja membiarkan mereka tertinggal dalam proses pembangunan. Oleh karena itu upaya untuk mencapai ketahanan pangan tidak boleh meninggalkan aktor utama ini, yakni para petani,” ujar Suswono.

Sementara Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan harga komoditas akan naik dan mengalami volatilitas sampai 2020. Kondisi ini akan menyebabkan kesulitan pasokan pangan bagi dunia di masa depan, di mana terjadi bencana alam karena kondisi pemasanan global dan cuaca. Kondisi ini akan diikuti masalah kemiskinan.

Masalah pangan akan menjadi lebih kompleks ketika pasar internasional yang menjadi sumber keamanan pangan tidak kondusif. Dengan kondisi ini, pilihan pemenuhan pangan secara mandiri menjadi pilihan rasional banyak negara, termasuk Indonesia sendiri. Pasalnya, tidak ada lagi negara yang bisa menjamin kestabilan pasar internasional.

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Global Future Institute (GFI), Indonesia merupakan negara agraris dan menjadi lumbung hortikultura (sayur, buah-buahan dan bunga), namun anehnya malah mengalami kelangkaan. Masalah kelangkaan dan tingginya harga produk-produk hortikultura sesungguhnya tidak perlu terjadi di Indonesia. (Baca: Indonesia Harus Perjuangkan Kedaulatan Pangan dan Kebijakan Pertanian Pro Rakyat di KTT APEC Bali 2013)

Indonesia sebagai negara yang memiliki dua musim sebenarnya potensi Indonesia sebagai penghasil produk-produk unggulan hortikultura hampir saja tidak memiliki pesaing. Artinya potensi Indonesia sungguh besar, yaitu memiliki kekayaan sumberdaya komoditas pertanian yang tinggi serta ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas. Variasi topografi dan model demografi untuk menghasilkan produk yang bervariasi juga terbuka luas.

Bukan itu saja. Dengan luas lahan perkebunan dan pertanian yang ada di Indonesia, bila dioptimalkan dengan sungguh-sungguh, maka Indonesia tidak akan lagi menjadi pengimpor beras dan kedelai. Indonesia masih memiliki lahan 60 juta hektar lahan yang belum termanfaatkan. Apabila lahan itu dikelola dengan baik untuk membangun perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, tentu mampu menarik sekitar 50 juta lebih tenaga kerja. Dengan begitu, tidak akan ada lagi orang-orang Indonesia yang menjadi TKI di negeri orang. Dan bahkan tidak ada lagi orang Indonesia yang menganggur.

Dalam catatan yang pernah dipublis peneliti Global Future Institute menyebutkan, alokasi APBN untuk sektor pertanian masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan alokasi anggaran dari sektor lain. Dari total anggaran APBN 2015 untuk pertanian hanya Rp 16,9 triliun. Sehingga tidak mengherankan bila porsi APBN sebesar itu menjadi satu diantara penyebab terus menurunnya jumlah petani di Indonesia. Kondisi ini tentu sangat menyedihkan.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah petani Indonesia terus turun tajam dari tahun ke tahun. Menurut catatan BPS, jumlah petani dua bulan pertama tahun 2014, yakni Januari dan Februari 2014 menyusut 280 ribu jiwa. Menyedihkannya lagi, jumlah penduduk yang bekerja di sektor-sektor lain di luar pertanian justru mengalami peningkatan yang cukup besar. Agaknya, penurunan jumlah petani di Indonesia akan terus terjadi ditahun-tahun mendatang.

Masih berdasarkan survei pertanian yang dilakukan BPS, diketahui jumlah rumah tangga usaha tani di Indonesia pada 2003 masih 31,17 juta. Tapi, sepuluh tahun kemudian (2013), jumlahnya menyusut jadi 26,13 juta. Turun sekitar 5 juta selama sepuluh tahun. Atau kalau dirata-rata 1,75 persen per tahun.

Ada beberapa faktor penyebab yang bisa menjelaskan mengapa terjadi penurunan jumlah petani di tanah air. Antara lain, karena ketersediaan lahan pertanian yang hanya di bawah 2 hektar tersebut (petani gurem) ternyata banyak yang dijual dan disewakan. Faktor lain adalah kian banyak petani yang beralih ke pekerjaan ke sektor lain. Sehingga bisa disimpulkan program swasemada pangan hanya sekedar slogan. Sungguh sebuah ironi dan semestinya menjadi perhatian pemerintahan Jokowi-JK.

Indonesia Harus Mengacu pada 3G

Dirgo D Purbo, Pakar GeoEnergi, dalam sebuah kajian bertemakan ketahanan pangan dan energi yang digelar oleh Global Future Institute pernah mengungkapkan, bila bicara energi dan pangan, Indonesia harus mengacu pada 3G, yaitu Geopolitik, Geostrategis dan Geoekonomi. “Ketiga aspek ini yang selalu menjadi alat pertimbangan suatu negara, siapapun yang memerintah. 3G ini dijadikan sebagai tools untuk menetapkan kebijakan ekonomi dalam negeri, serta untuk menetapkan kebijakan pertahanan keamanan dalam negeri dan luar negeri,” tegas Dirgo.

Menurut Dirgo, sejak menghadapi reformasi, Indonesia mulai menghadapi apa yang disebut KETERGANTUNGAN. Menurutnya, kondisi alam di Indonesia sekarang sudah tidak memiliki autarki (kedaulatan mutlak). “Kita tidak bisa berdikari. Kita sudah menghadapi ketergantungan,” jelas Dirgo.

Terkait dengan impor pangan yang masih terus terjadi, Dirgo menegaskan seharusnya Indonesia tidak impor semua bahan pangan. “Dari data statistik disebutkan, bahwa tidak hanya garam saja yang diimpor, tetapi ikan asin pun diimpor. Celakannya, setiap tahun angka impornya terus naik,” imbuh Dirgo.

Menurut Dirgo, hingga saat ini Indonesia menghadapi dua agenda besar ketergantungan, yaitu food and energy. Dikatakannya, negara maju mempunyai kendala yang sama, yakni ketergantungan. “Tetapi mereka berupaya meningkatkan sektor food. Makanya mereka bisa ekspor ke Indonesia. Dan Indonesia menjadi target untuk pemasaran mereka,” ujar Dirgo.

Sedangkan menurut data yang di publis oleh Global Future Institite di tahun 2013 Indonesia menyebutkan, Indonesia masih mengimpor 29 komoditas pangan.Ke-29 komoditas pangan itu adalah beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sejenis lembu, jenis lembu, daging ayam, garam, mentega, minyak goring, susu, bawang merah, bawang putih, kelapa, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakao, cabai (segar), cabai (kering-tumbuk), cabai (awet sementara), tembakau, ubi kayu dan kentang.

Masih Besarnya Monopoli Kartel Asing di bidang Pertanian

Merujuk pandangan Sabiq Carebesth, salah seorang pemerhati masalah Ekonomi Politik Pangan mengatakan, dalam sebuah sistem, kegiatan kerja bertani tidak lagi semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan bisnis.

Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi, patgulipat, kongkalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yang berhak memproduksi, mengedarkan, dan siapa yang masuk dalam “perencanaan” sebagai sasaran pengguna sekaligus disebut korban. Pengedarnya adalah pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga dan modal untuk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.

Keuntungan itu lalu diakumulasi. Akumulasi keuntungan itu lalu terkonsentrasi hanya di tangan segelintir para pebisnis yang menciptakan sistem monopoli. Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan dan pertanian khususnya membangun oligopoli, Lantas siapa target sasaran bisnisnya yang kemudian jadi korban? Yang jadi korban adalah para petani kecil, yang pada dasarnya masuk golongan ekonomi lemah dan kecil.

Merekalah “target” dari eksploitasi sistematis pemiskinan yang akan berlangsung pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yang paling parah adalah sistem bercocok tanamnya, lalu corak bermasyarakatnya.

Inilah salah satu faktor yang kiranya bisa menjelaskan makna di balik data BPS ihwal menurunnya jumlah petani kita mencapai 280 ribu jiwa. Akibat dari berkuasanya sistem kartel, sektor pertanian dan perkebunan kemudian kehilangan daya tariknya.

Maka, monopoli tak terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA) yang beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama mengincar pasar benih dan pangan di Indonesia.

Kartel Pangan Masih menjadi Penyebab Tingginya Impor

Masih merujuk pada kerangka pemikiran dan pandangan pakar ekonomi politik pangan Sabiq Carebesth, kartel internasional dan nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, dan bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.

Negara sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnya harus berhadap-hadapan dengan organisasi perdagangan yang memang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Tak pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan dan pangan.

Menurut Komite Ekonomi Nasional (KEN), di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.

Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.

Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.

Belum lagi apa yang disampaikan oleh pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, dimana sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.

Sementara informasi yang disampaian Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, mengatakan produksi dan distribusi sayuran seperti tomat, cabai, seledri dan bawang di kawasan Garut dan Lembang juga telah dikuasai oleh Indofood Frito Lay, Heinz ABC, dan Del Monte. Sedangkan produksi dan distribusi kacang-kacangan, jagung, dan serelia di kawasan Bandung Timur, Subang, dan Purwakarta dikuasai oleh Cargill dan Charoen Pokphand.

Bidang saprotan, juga tidak lepas dari dominasi perusahaan asing dengan beroperasinya Ciba Geigy dari Jepang, BASF dan Bayer dari Jerman, serta Novartis dari Amerika Serikat yang menguasai jalur distribusi pestisida.Hal serupa juga terjadi di bidang pembenihan dengan kehadiran Monsanto yang mengembangkan bibit jagung dan kedelai, serta beberapa perusahaan Jepang untuk bibit sayuran.

Hal tersebut kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi dan hilangnya kedaulatan petani dalam mengelola sumber pangan nasional, target swasembada pangan berkala pada 2014 akan jadi isapan jempol belaka. Tak pelak, Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan dan manufaktur impor.

Bisa dibayangkan, berapa devisa kita yang terbuang. Maka sudah seharusnya pemerintahan Jokowi-JK semestinya sadar bahwa Indonesia sekarang dalam kondisi darurat pangan. Sejatinya diperlukan sebuah solusi cepat dan tepat dalam jangka pendek yang mampu membalikkan keaadaan dari impor menjadi ekspor. Sehingga Indonesia berdaulat dibidang pangan.

Rusman, Peneliti Ekonomi dan Lingkungan Hidup Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com