Membaca Kapitalis Negara Ala Trump

Bagikan artikel ini

“Prinsip dasar kapitalisme negara modern adalah biaya dan resiko dibebankan kepada umum (disosialkan) seluas mungkin, sementara keuntungan dibagikan kepada pribadi (diswastakan),” kata Noam Chomsky.

Ya. Ada asumsi berkembang di era Donald Trump, bahwa kapitalis liberal yang telah menegara hampir sekian dekade di Amerika (AS), kini bergeser menjadi “kapitalis negara”. Ini fenomena unik di era Revolusi Industri 4.0 yang berciri VUCA. Dan bukti perubahan dimaksud ialah pergeseran ideologi (kapitalis) sebagaimana disinggung sekilas di atas. Artinya, kapitalis liberal telah terdistorsi.

Bila asumsi itu mendekati A1, maka mekanisme pasar tidak lagi berproses alami sebagaimana kodrat selama ini. Supplay and demand akan dinafikan pelaku pasar, dan pasar pun berproses sesuai kehendak negara cq rezim penguasa. Entah ia rezim global, regional maupun rezim lokal.

Selanjutnya bila kapitalis itu dianalogikan sebuah botol, maka kapitalisme negara ala Trump bukan cuma berganti pola, tetapi juga ganti isi, merek, bahkan berganti total menjadi “komunisme” (dalam tanda kutip).

Mengapa kapitalis liberal setelah bergeser ke kapitalis negara seakan berubah haluan ke komunisme?

Sesungguhnya kapitalisme dan komunisme itu serupa tetapi tak sama. Berganti-ganti rupa tetaplah sama. Serupa dalam hal modus, contohnya, selain mencari bahan baku semurah-semurahnya dan mencipta pasar seluas-luasnya, ciri kedua ideologi ini juga tidak berbeda, yakni “monopoli”. Inilah kejahatan tertua di muka bumi yang merupakan embrio kolonialisme.

Jika geliat kapitalisme menarget modal/kapital untuk dimonopoli. Alhasil, kesaktian kapitalisme pada akumulasi modal; sedang sasaran komunisme itu monopoli massa atau memonopoli (kekuatan) rakyat.

Nah, narasi singkat di atas merupakan bentuk kesamaan kedua ideologi di tataran operasional. Lantas, dimana perbedaan kedua ideologi?

Perbedaan ada di level (manajemen) strategis. Apabila kapitalisme dikontrol oleh segelintar elit swasta, maka komunisme diremot oleh sekelompok elit negara atau istilah vulgarnya: “kapitalisme plat merah”.

Bila dibandingkan dengan Pancasila, secara ideologi — komunisme itu hebat namun tak ada unsur ketuhanan sebagaimana sila ke-1 Pancasila. Selain sama rasa sama rata, juga terselip tidak berkeadilan sosial pada prinsipnya. Dan praktik kapitalisme pun sebenarnya juga dahsyat, namun ia tidak punya keadilan sosial sebagaimana sila ke-5 dalam Pancasila.

Jadi, secara konsepsi — Pancasila itu lebih unggul ketimbang kapitalis maupun komunis. Artinya, jika Pancasila dilihat dari perspektif idelogi, ia telah final. Selesai dan unggul. Tinggal bagaimana penguatan pada praktik operasional agar membumi.

Kembali ke Trump dan kapitalisme negara. Agaknya, gagasan Make America Great Again, contohnya, atau kebijakan American First, Perang Dagang dan lain-lain merupakan bukti adanya intervensi negara terhadap pasar. Ini tak boleh dielak.

Dan kebijakan Trump selama ia berkuasa, membuat gerah kaum kapitalisme liberal yang selama ini menikmati konstelasi geopolitik (dan geoekonomi) global melalui berbagai korporasi mereka yang sudah menegara.

Pengertian menegara bagi korporasi, artinya selain kiprahnya mampu dan bisa mempengaruhi kebijakan negara karena kedudukannya telah sejajar bahkan di atas negara (above the state).

Yang fenomenal adalah — ketika kebijakan itu blunder dan menyebabkan krisis ekonomi di satu sisi, tetapi para korporasi malah untung di sisi lain. Luar biasa. Negara dan rakyat boleh bangkrut, namun segelintir elit partikelir berkelimpahan kekayaan justru akibat krisis itu sendiri.

Mana buktinya?

Skenario War on Terrorsm (WoT) yang digelar oleh Barat di Timur Tengah merupakan bukti nyata. Tatkala koalisi militer pimpinan AS memerangi Taliban di Afghanistan (2001-2011), apa boleh buat, WoT telah menimbulkan krisis global pada 2008-an yang konon katanya bersumber dari subprime mortgage —kredit macet perumahan— di AS. Namun subprime mortgage sendiri sebenarnya cuma kambing hitam belaka. Mengapa? Oleh karena krisis 2008-an, selain disebabkan oleh harga minyak mencapai US$ 140 per/barel, juga akibat modal perang tidak kembali karena 10-an tahun berperang dan tidak kunjung usai.

Di Afghanistan, muncul perlawanan super dahsyat oleh Taliban. Kalah? Tak ada klaim. Memang. Edit dan counter berita hampir memenuhi media mainstraim “menipu” publik gobal.

Tetapi, kenapa justru krisis ekonomi menerpa 41-an negara koalisi —NATO dan ISAF— yang terlibat sharing saham dalam WoT di Afghanistan; sekali lagi, bagaimana biang krisis yang sesungguhnya?

Ya. Selain tempo peperangan yang relatif lama, juga pola invasi Barat cq AS terutama pasca Cold War cenderung menggunakan tentara bayaran daripada militer reguler.

Paman Sam kerap menggunakan jasa Private Military Company (PMC) —perusahan tentara bayaran— yang dimiliki oleh segelintir elit partikelir.

Mundur sejenak. Ceritanya pasca Cold War — Paman Sam merasionalisasi (mengurangi) jumlah tentaranya hampir separuh. Nah, para “pecatan tentara” itu kemudian ditampung oleh para PMC. Ada Black Water, misalnya, yang kemudian ia berganti nama menjadi Xe-Service akibat kasus di Fallujah, Irak; atau DinCorp yang menjadi konsultan militer di Arab Saudi dan seterusnya.

Dan di lapangan, perbandingan gaji dan fasilitas antara tentara reguler dengan militer bayaran ini sangat mencolok — berkisar 10 kali lipat. Jika tentara reguler mendapat gaji 100-an US Dollar/per hari, misalnya, maka militer bayaran bergaji 1000-an US Dollar/per hari. Belum lagi soal peralatan dan mesin perang, supervisi atau pergantian peralatan antar waktu dan lain-lain yang berbiaya sangat tinggi.

Diprakirakan, itulah penyebab hancurnya pundi-pundi AS dan sekutu dalam tempo 10 tahun di satu sisi, namun segelintir elit pemilik PMC justru bertabur kekayaan di sisi lain.

Sudah barang tentu, kebijakan Trump yang mengarah ke kapitalis negara ditentang oleh para elit politik terutama non-state actors yang selama ini menikmati pola invasi ala AS di luar teritorinya.

Lantas, seperti apakah pola invasi AS yang justru menguntungkan non-state actors?

Model invasi AS lazimnya adalah: “Selain ia suka berperang di luar teritori, invasinya berpola militer di depan membuka kavling-kavling (ladang emas, sumur minyak dan gas), namun di belakang didukung oleh para pemodal atau pengusaha (non-state actors)”. Adapun pola Cina justru kebalikan dari model invasi AS. “Pemodal di depan membuka kavling-kavling, tetapi di belakang didukung oleh negara dan/atau militer”.

Pola invasi kedua adidaya terlihat seperti berbeda tetapi hakikinya sama, yakni kentalnya oligarki dalam setiap “invasi” di satu sisi, sementara oligarki itu sendiri merupakan persekutuan antara pengusaha (kekayaan) dan penguasa (kekuasaan) pada sisi lain.

Dari perspektif oligarki — entah invasi ala AS atau pola invasi ala Cina, hakikatnya tidak berbeda. Berganti-ganti rupa tetaplah sama.

Selanjutnya makna “kavling” pada pola serta model invasi di atas —dari perspektif geopolitik— basisnya adalah teori ruang atau living space alias lebensrum. Ruang dalam arti fisik ialah pendudukan wilayah, atau eksploitasi kawasan secara langsung. Pada model ini pelibatan militer merupakan keniscayaan; sedangkan ruang dalam arti non-fisik ialah penguasaan dan/atau pengendalian hegemoni, misalnya, atau sphere of influeance dan seterusnya. Nah, model ini sering menggunakan asymmetric warfare atau peperangan nirmiliter (asimetris) dengan berbagai variannya seperti proxy war, misalnya, atau currency war, cyber war dan seterusnya.

Pada kondisi di atas, ruang atau lebensraum maknanya bergeser menjadi “monopoli sesuatu atas segala sesuatu”, entah monopoli terhadap ruang di daratan maupun di dunia maya.

Itulah poin-poin diskusi geopolitik di Forum Sanyata Coffee. Memang belum merupakan kebenaran, apalagi bermaksud untuk pembenaran. Tidak ada niatan itu, dan tak ada maksud menggurui siapapun, terutama para pihak yang berkompeten, hanya sharing ide dan berbagi kristalisasi diskusi. Sangat terbuka untuk kritik dan saran agar catatan ini semakin mendekati kebenaran.

Terima kasih

**) Pointers obrolan di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10: We Create the Future Leaders

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com