Sisi Lain Konflik Rusia – Ukraina (3)

Bagikan artikel ini
Antara Geopolitik, (Semi) Proxy War, dan Geoekonomi
Geopolitik (modern) mengajarkan, bahwa tidak ada peperangan terjadi melainkan karena faktor geoekonomi. Tatkala ada peperangan agama, misalnya, atau muncul konflik ideologi, ataupun pertikaian antarmazhab dalam agama, konflik antar-etnis dan seterusnya maka itu hanya agenda belaka. Dalih, atau istilah kerennya: “geostrategi”. The best way to reach the goal.
Contohnya, seperti apa?
Konflik-konflik yang telah/sedang terjadi baik di Asia Tengah (Heartland) maupun Timur Tengah (World Island) —meminjam istilah Mackinder— semata-mata karena faktor minyak (oil) dan gas bumi. Tidak lain. Itulah ujud serta bentuk geoekonomi abad ke-21. Meski di abad ke-20 dulu, geoekonomi identik rempah-rempah. Entah geoekonomi pada abad ke-22, ke-23 nanti. Mungkin bisa uranium misalnya; atau boleh jadi rare earth alias logam tanah jarang; atau, jangan-jangan balik lagi ke zaman rempah-rempah? Ah, entahlah.
Dan peperangan yang kini tengah berlangsung di Suriah, atau konflik di Afghanistan, di Irak, Libya dan lain-lain semua karena oil, gas, dan faktor tambang lain seperti emas mungkin, atau nikel, berlian dan lain-lain. What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan.
Retorika untuk menguaknya mudah, “Seandainya Suriah cuma produsen sandal jepit, apakah mungkin konflik berlarut hingga kini; atau, bila Irak hanya penghasil kurma, apakah mungkin NATO mengeroyok Irak?”
Sila retorikanya dilanjut pada wilayah konflik lain sebagaimana deret negara di atas.
Bila merujuk geopolitik, pertanyaan di seputar peperangan ialah, “Apakah geoekonomi yang diperebutkan di Ukraina; dan siapa sesungguhnya yang bertikai?”
Jujur kudu diurai, bahwa perang Rusia versus Ukraina ialah semi proxy war alias ‘separuh’ perang perwalian. Atau, boleh juga disebut hybrid war. “Campur.” Karena ada currency war, terdapat perang nirmiliter (asymmetric war), perang agitasi, saling sanksi dan seterusnya. Lucu, namun juga memprihatinkan.
Kenapa?
Bahwa yang bertempur di Ukraina seyogianya dan seharusnya adalah militer Rusia melawan tentara AS dan/atau NATO, karena mereka yang punya motivasi serta kepentingan atas geopolitik (dan geoekonomi) Ukraina, medan tempur.
Singkat cerita, Ukraina terkena prank —“terjebak”— oleh AS/NATO sehingga akhirnya ia bertempur sendirian melawan militer Rusia yang didukung tentara Chechnya.
Alasan utama kenapa AS/NATO tidak ikut secara langsung dalam peperangan, konon bila mereka turut campur bisa memicu peperangan lebih luas lagi membesar, yakni perang dunia. Itu yang dikhawatirkan. Maka pertempuran pun dilokalisir pada satu tempat —Ukraina— saja, meski perang-perang lain dalam ujud sanksi ekonomi berlangsung di mana-mana.
Dukungan AS/NATO kepada Ukraina sekadar support senjata, ataupun sanksi ekonomi terhadap Rusia, membantu perang narasi/agitasi, pembekuan aset kaum oligarki Rusia, larangan terbang di langit Eropa dan lain-lain. Rusia pun membalasnya dengan embargo, saling memberi sanksi. Hybrid war.
Muncul fenomena menarik lagi unik, bahwa di tengah konflik yang kian memanas, Eropa tetap bergantung pada gas Rusia bahkan volume impornya justru semakin meningkat saat konflik berlangsung. Unik.
Ya. Seandainya Rusia memainkan gas weapon (senjata gas) dengan mengurangi pasokan gas terhadap negara-negara yang memberinya sanksi ekonomi; atau, kran gas dimatikan sekalian — apa yang bakal terjadi di Eropa?
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com