Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia

Bagikan artikel ini
Dapatkah buku menumbangkan kekuasaan? Nampaknya belum ada penelitian yang menyasar subjek ini, setidaknya kita belum pernah membaca ada buku yang khusus menelaah perkara yang barangkali tidak masuk akal itu. Tapi pertengahan tahun 1980-an Indonesia pernah geger hanya gara-gara sebuah buku. Buku, dalam beberapa kasus, rupanya senjata paling ampuh menggertak kekuasaan.
Waktu MILITER DAN POLITIK DI INDONESIA terbit rezim orba merasa ditusuk tepat dititik jantung yang mematikan. Buku karangan Harold Crouch, profesor ilmu politik Australian National University, itu aslinya berjudul Army and Politics in Indonesia. PT. Sinar Harapan, penerbit dengan nyali besar, lalu mengontak Th. Sumartana, orang yang dianggap cocok sebagai penerjemah. Hasil terjemahan memang sangat bagus. Menurut Sumartana buku itu sudah selesai diterjemahkan beberapa tahun sebelum diterbitkan, bahkan ia sempat melakukan lebih dua kali penyuntingan ulang.
Buku yang dipilah dalam 13 bab itu membelejeti peran militer, tentu saja yang dimaksud angkatan darat, dalam politik sejak kemerdekaan lengkap dengan koneksi bisnisnya. Kala itu adalah hal terlarang membicarakan militer dalam gurita bisnis di Indonesia. Bila nekat bisa kena pasal subversif. Kalau cuma sekadar bahan gerundelan di warung kopi atau di teras kampus bolehlah, masih bisa ditolerir asal dalam batas “kewajaran”.
Seperti dapat dinujum buku itu segera jadi mainan politik. Orang Golkar di dewan rame-rame mengambil muka, menuding buku itu “mendiskreditkan presiden dan angkatan darat”. Entah mereka sudah membaca atau barangkali cuma mendengar hasil bisik-bisik orang lain. Walhasil pihak keamanan pun mengetuk pintu penerbit dan memaksa buku itu ditarik dari peredaran. Karena eyel-eyelan dengan aparat rada merepotkan koran Sinar Harapan lalu memasang pengumuman agar “penyalur menghentikan penjualan dan mengembalikan buku kepada penerbit” meski larangan resmi dari kejaksaan agung belum keluar.
Saya termasuk pembeli awal buku itu. Baru beberapa bab membaca sejumlah kawan aktivis mahasiswa sudah antre minjam. Setelah beredar ke banyak tangan saya melihat buku itu telah sekarat. Cover sudah bulukan, halaman banyak yang lepas, beberapa malah hilang. Saya mungkin agak beruntung sebelum membaca buku Crouch diawal tahun 1980-an saya sudah membaca INDONESIA DIBAWAH SEPATU LARS, pembelaan aktivis mahasiswa ITB, Sukmadji Indro Tjahjono, di pengadilan mahasiswa tahun 1979.
Materi pembelaan Sukmadji mirip isi buku Crouch. Keduanya, dengan data-data akurat, mengungkap keterlibatan militer dalam bisnis. Bedanya hanya dalam bahasa. Bahasa Sukmadji nampak garang dan apa adanya. Ketika pembelaan ini disampaikan “rahasia” bisnis militer hanya diketahui oleh ahli asing dan beberapa gelintir pengamat lokal. Dikalangan mahasiwa hanya terdengar pembicaraan samar-samar tanpa menunjukkan data. Buku Sukmadji, diterbitkan Dewan Mahasiswa ITB, tampil sebagai buku pertama di ranah publik dengan menyertakan data.
Darwati Utieh, Wartawan Senior 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com