Hipokritas Para Presiden AS

Bagikan artikel ini

Penulis: Dina Y Sulaeman, mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of Global Future Institute (GFI)

Coba perhatikan foto ini (karya White House photographer Pete Souza, foto-foto lain bisa lihat di sini).

George W. Bush satu pesawat dengan Obama menuju Afsel untuk menghadiri pemakaman Mandela

Di ruang makan pesawat Air Force One yang mewah itu, Bush berbincang akrab dengan Hillary Clinton & Michelle Obama (istri Bush juga ada di foto ini, paling depan-kanan)

Orang yang mudah terkagum-kagum, sangat mungkin berkomentar “Subhanallah ya… Di AS itu meskipun saling berseteru dalam politik tapi mereka tetap rukun…”

Tapi hakikatnya sebenarnya tidak demikian. Foto-foto ini menunjukkan bukti bahwa para presiden AS itu, baik dari Republik atau Demokrat, sebenarnya dari ‘jenis’ yang sama. Perseteruan mereka saat kampanye hanya demi kursi saja. Setelah dapat kursi jabatan, model pemerintahannya sama saja, hanya gaya yang berbeda.

Perhatikan saja apa yang mereka lakukan saat berkampanye:

1. Menggelontorkan jutaan dollar untuk pencitraan lewat media massa (dan sumbernya, darimana lagi kalau bukan dari para pengusaha Zionis)

2. Datang ke komunitas-komunitas Yahudi untuk menyatakan dukungan kepada Israel dengana argumen, “AS dan Israel memiliki kepentingan yang sama”

3. Saat menjabat selalu melancarkan perang. Bahkan Obama yang saat kampanye pada periode pertama kepresidenannya mengkritik habis-habisan kebijakan perang Bush (dan Partai Republik) di Irak dan Afghanistan, hanya beberapa hari setelah dilantik langsung mengumumkan akan memperpanjang perang.

Berikut ini sepak terjang beberapa presiden AS yang menunjukkan dukungan mereka pada Israel (dikutip dari buku Obama Revealed):

Presiden AS ke-28, Wodrow Wilson, pada tahun 1919 menyatakan dukungannya pada Deklarasi Balfour, “Aliansi Bangsa-Bangsa dengan dukungan penuh dari pemerintah dan rakyat kami menyetujui bahwa Palestina harus menjadi tempat berdirinya Persemakmuran (commonwealth) Yahudi.”

Presiden ke-32, Franklin D Roosevelt berjasa meraih persetujuan Raja Saud terhadap proses imigrasi besar-besaran  orang Yahudi ke Palestina.

Presiden ke-33, Harry S. Truman, pada tanggal 15 Mei 1948, mengambil keputusan yang sangat krusial bagi Israel: mengakui negara Israel. Hanya sebelas menit setelah Ben Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel, Presiden AS ke-33, Harry Truman membacakan deklarasi berikut ini, “Pemerintahan ini telah menerima informasi bahwa sebuah negara Yahudi telah diproklamasikan di Palestina dan pemerintahan sementara telah meminta pengakuan [atas pendirian negara itu]. Amerika Serikat mengakui pemerintahan sementara itu sebagai otoritas de facto dari Negara Israel.”

Presiden AS ke-35, John F Kennedy, pernah menyatakan, “Bangsa ini, sejak era Presiden Woodrow Wilson, telah menciptakan dan melanjutkan sebuah tradisi persahabatan dengan Israel karena kami berkomitmen pada semua komunitas bebas yang mencari jalur perdamaian dan penghormatan pada hak individu…”

Tapi, tahun ketiga masa jabatannya, Kennedy dibunuh. Ada penulis (M. Piper) yang menyebut bahwa Kennedy dibunuh Mossad karena dia menentang proyek nuklir Israel.

Presiden AS ke-36 adalah Lyndon B. Johnson. Sebelumnya dia adalah wakil presiden Kennedy. Karena Kennedy meninggal sebelum masa jabatannya habis, Johnson secara otomatis diangkat sebagai presiden. Segera setelah disumpah sebagai presiden, Johnson mengatakan kepada seorang diplomat Israel, “Anda telah kehilangan seorang teman yang sangat luar biasa [Kennedy], namun sekarang Anda menemukan yang lebih baik.”

Salah satu kejadian besar pada era Johnson adalah pengeboman kapal perang USS Liberty oleh Israel pada tahun 1967, yang menewaskan 34 pasukan AS dan melukai 200 lainnya. Anehnya, Presiden Johnson tidak memberikan reaksi yang semestinya dilakukan seorang presiden bilamana ada kapal perangnya yang tak bersalah (tak melakukan provokasi apapun), dihancurkan oleh kekuatan militer negara lain.

Prof (em) James Petras dalam bukunya, The Power of Israel in USA, mengomentari kejadian ini, “Johnson dalam sebuah gerakan bersejarah yang tidak pernah terjadi sebelumnya, menolak untuk membalas. Pemerintahan Johnson juga membungkam mereka yang selamat dari serangan tanpa provokasi tersebut [AS tidak memprovokasi] dengan ancaman ’persidangan militer’. Pemerintahan berikutnya tidak ada yang pernah mengangkat isu tersebut, apalagi melakukan penyelidikan resmi di Kongres. Bahkan mereka meningkatkan bantuan untuk Israel. Mereka juga menyiapkan penggunaan senjata nuklir ketika negara itu tampaknya akan kalah dalam Perang Yom Kippur 1972.

Presiden AS ke-38, Richard Nixon, menunjukkan dukungannya kepada Israel dalam banyak hal, di antaranya dalam proyek nuklir Israel. Sejak era Kennedy, AS mengizinkan Israel membangun reaktor nuklir dengan syarat reaktor itu tidak bertujuan militer. Namun, ternyata Israel secara diam-diam berhasil membuat bom atom. Nixon mengetahui fakta ini tapi diam saja. Nixon juga tidak melakukan tindakan apapun ketika Israel memutuskan tidak akan menandatangani NPT (Perjanjian Non-proliferasi Nuklir—perjanjian larangan membuat senjata nuklir).

Tahun 1986, fakta bahwa Israel memiliki 200 hulu ledak nuklir diungkapkan kepada dunia internasional oleh koran London Sunday Times, berdasarkan pengakuan (lengkap dengan foto-foto) yang diberikan Mordechai Vanunu, mantan karyawan di proyek nuklir Dimona. Vanunu kemudian diciduk oleh Mossad, dipulangkan ke Israel, dan dijatuhi hukuman penjara 18 tahun .

Presiden AS ke-39, Jimmy Carter,  akhir-akhir ini, sekitar seperempat abad setelah lengser dari jabatannya, dikenal sebagai ‘pejuang’ perdamaian  Israel-Palestina. Namun sayangnya, sikap tegas Carter di hadapan Israel tidak tampak saat dia menjabat sebagai Presiden AS. Pada era kepresidenannya, Carter menjadi mediator antara Israel-Mesir di Camp David yang disebut-sebut sebagai tonggak pertama dalam upaya mewujudkan perdamaian di Timur Tengah. Berkat Camp David Accord, Carter mendapat hadiah Nobel Perdamaian. Padahal, dalam perjanjian Camp David yang ditandatangani Anwar Sadat (Presiden Mesir) dan Menachem Begin (PM Israel) itu, suara bangsa Palestina tidak terakomodasi. Dan bahkan, Perjanjian Camp David membuka ruang bagi Israel untuk berkonsentrasi penuh menghadapi Palestina, karena melalui perjanjian ini, Mesir mengakui eksistensi Israel dan sebagai imbalannya, Gurun Sinai yang direbut Israel saat Perang 6 Hari tahun 1967 dikembalikan kepada Mesir.

Presiden AS ke-41, George Bush Sr (ayah dari George W. Bush) dan Presiden ke-42, Bill Clinton, berasal dari partai yang berbeda. Bush Sr (berkuasa 1989-1993) dari Partai Republik; Clinton (1993-2001) dari Partai Demokrat. Namun keduanya bersatu menjadi tim pelaksana operasi penaklukan Irak, demi Israel.

Pada 2 Agustus 1990, Irak menyerang Kuwait setelah sekian lama sakit hati atas berbagai ulah negara tetangganya itu (antara lain perebutan ladang minyak). Untuk ‘membela Kuwait’ dan ‘mencegah Irak meneruskan aneksasinya ke Arab Saudi’, Bush Sr. mengambil langkah cepat, mengirimkan jet tempur dan kapal-kapal perangnya ke Arab Saudi serta menggalang koalisi internasional untuk menyerang Irak. Hanya dalam 6 bulan, Bush Sr. berhasil menggiring hampir satu juta tentara koalisi ke Teluk (70%-nya adalah tentara AS) dan meletuslah Perang Teluk pada tanggal 16 Januari 1991.

Selama Perang Teluk berlangsung (16 Januari-6 April 1991) tentara koalisi menghujani Irak dengan 88.000 ton bom cluster, napalm, dan fragmentation bomb, dan membunuh 1,2 juta warga Irak. Pembunuhan massal di Irak dilanjutkan dengan sanksi ekonomi terhadap Irak, yang terus berlanjut hingga era Presiden Clinton. Akibat sanksi itu, perekonomian Irak lumpuh dan 4500 anak-anak Irak mati setiap bulan akibat kelaparan atau sakit tanpa ada obat.

Presiden AS ke-43, George W Bush, bertugas menjadi panglima perang untuk penaklukan total Irak. Setelah Irak dihajar beramai-ramai oleh pasukan koalisi internasional, lalu 13 tahun dibiarkan kelaparan dalam embargo, pada tahun 2003, George W. Bush Jr mengirim pasukan perangnya ke Irak dengan dalih: melucuti senjata pemusnah massal yang disembunyikan Saddam.

Hanya dalam sebulan, Saddam tumbang dan tentara AS bercokol di Irak hingga hari ini. Pemerintahan Bush sudah mengakui bahwa senjata massal Irak ternyata fiktif, namun pendudukan Irak terus dilanjutkan. Setelah Saddam terguling, minyak dari Irak dengan bebas mengalir ke Israel.

Lalu bagaimana dengan Obama? Selain terus mempertahankan pasukanya di Afghan dan Irak, Obama juga rajin mengirim drone (pesawat tanpa awak) ke Pakistan dan Yaman. Selain itu, Obama melancarkan perang proxy (menggunakan pihak ketiga/kaki tangan) untuk menggulingkan Qaddafi dan Assad. Siapa pihak ketiga itu? Sayangnya, mereka adalah kaum muslim yang merasa sedang berjihad dan menyebut diri mujahidin. Artikel-artikel di blog ini tentang Suriah dan Libya bisa memberi penjelasan lebih lanjut mengenai  hal ini dan selengkapnya bisa dibaca di buku Prahara Suriah.

Sekedar intermezzo… bagaimana dengan foto yang sedang dihebohkan ini?

Benarkah Michelle cemburu? Benarkah Obama berlaku tidak sopan karena tertawa-tawa saat acara pemakaman? Ternyata tidak demikian ceritanya. Bisa dibaca penuturan sang photografer di sini.

Ini sekedar untuk menunjukkan bahwa meski anti pada seseorang, tetap saja kita perlu check dan re-chek dalam menggunakan data. Jangan meniru situs-situs berlabel “Islam” yang sering sekali menggunakan foto-foto palsu untuk ‘membuktikan’ kekejaman Assad.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com