Menggali Urgensi Selat Sunda dalam Pertikaian Global dari Perspektif Geopolitik (Bag-1)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institue (GFI)

Kenapa Selat Malaka di berbagai literatur dianggap salah satu pintu strategis Indonesia, sebab selain peranan yang vital bagi negara-negara sekeliling, juga tidak sedikit negara lain sangat tergantung atas letak geografisnya di jalur perairan tersibuk (di dunia) setelah Selat Hormuz di Teluk Persia. Keberadaan tersebut membuat Selat Malaka dijuluki chokepoints of shipping in the world  baik untuk ekspor-impor, sosial politik, keamanan, lingkungan maupun militer dan lain-lainnya.

Data Kementerian Pertahanan menyebut, sejak tahun 1999-2008 kapal-kapal yang melewati Selat Malaka meningkat 74%  dan era 2020-an nanti prakiraan hilir mudik pelayaran mencapai 114.000 kapal. Menurut Goldman Sachs, kelompok negara yang bakal menguasai perekonomian tahun 2050 kelak adalah Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC), terutama sekali Cina dan India yang paling aktif melintasi baik Selat Malaka, Selat Sunda maupun Selat Lombok.

Bagi Indonesia sendiri, selain Selat Malaka atau selat-selat lainnya, tampaknya Selat Sunda tergolong sebagai lintasan utama dalam konteks pelayaran dunia, terutama di lingkungan Asia Tenggara, ASEAN dan kawasan Asia Pasifik. Lebih utama lagi —kevitalan Selat Sunda terlihat— adalah pelayaran dari Laut China Selatan menuju Lautan Hindia.

Ketika menengok ke belakang sejenak perihal Selat Sunda, ternyata ada coretan pertempuran laut pada tahun 1942-an dulu. Yaitu ketika Sekutu pimpinan Amerika (AS) hendak menghalang-halangi pendaratan bala-tentara Jepang di Pulau Jawa. Luar biasa! Kapal USS Houston dan HMS Perth milik AS pun ditenggelamkan oleh Laksamana Muda Kenzaburo Hara di selat yang menghubungkan antara Jawa dan Sumatera tersebut.

Ya, dinamika pelayaran dimanapun dan sampai kapanpun, baik itu swasta, sipil maupun militer niscaya tergantung atas kelancaran dan keamanan beberapa selat-selat vital dunia. Itu tak boleh dipungkiri. Menjadi keniscayaan ketika terjadi accident di perairan lalu menghambat choke-points, niscaya akan mengacaukan moda transportasi laut baik bidang sosial ekonomi, perdagangan, pariwisata, dan lain-lain termasuk pergerakan militer daripada negara – negara pengguna jalur. Contoh aktual ialah Selat Hormuz, baru sebatas rencana penutupan (oleh Iran) saja telah menimbulkan kehebohan global sebab sempat menaikkan harga minyak.

Bisa dibayangkan jika meletus peperangan di Teluk Persia, maka distribusi 40% minyak dunia ke berbagai belahan bumi dari Teluk akan macet, dan sebagai dampak langsung ialah naiknya harga-harga barang dan jasa akibat melambungnya harga energi karena kelangkaan. Inilah hikmah yang dapat dipetik, betapa tinggi urgensi sebuah selat bagi geostrategi negara-negara pemilik yang secara geopolitik adalah takdir.

Tulisan tak ilmiah ini mencoba mengurai urgensi Selat Sunda, atau jika memungkinkan juga selat-selat lain di Indonesia dalam konteks peralihan geopolitik yang kini tengah bergerak secara perlahan dari Timur Tengah ke Asia Pasifik. Inilah uraian sederhananya.

Sekilas Teori dan Implementasi Geopolitik

Terkait perspektif pada tulisan ini, sepintas akan diperkenalkan esensi geopolitik. Ya, cukup banyak teori pakar dari berbagai negara tentang geopolitik dan geostrategi, misalnya “Teori Ruang”-nya Friederich Ratzel (1844 – 1904), atau “Teori Kekuatan”-nya Rudolf Kjellen (1864 – 1922),  “Teori Pan Region”-nya Karl Haushofer (1869 – 1946), atau teori Sir Halford Mackinder (1861 – 1947) tentang Heartland (Jantung Dunia) yang masih relevan sampai sekarang: “siapa menguasai Heartland maka akan menguasai World Island”.  Heartland adalah sebutan bagi kawasan Asia Tengah, sedang World Island ialah Timur Tengah. Keduanya merupakan kawasan kaya minyak dan gas bumi. Siapa menguasai kawasan tersebut, maka akan menjadi “Global Imperium”. Juga tidak ketinggalan “Teori Kekuatan Maritim”-nya Sir Walter Raleigh (1554 – 1618) dan Alfred T. Mahan (1840 – 1914). Terutama teori Mahan yang masih disakralkan hingga kini oleh angkatan laut Uncle Sam, bahkan dianggap doktrin: “Barangsiapa menguasai Lautan Hindia maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”.

Dan tampaknya kajian dan teori geopolitik beberapa pakar di atas, memiliki benang merah esensi. Intinya:

“It must be regarded as a science bordering on geography, history, political science and international relations. The politican, the military planner and the diplomat can use geopolitic s as a method to analyze how geographical factors can be of importants when planning, geopolitics as the destiny” (Dirgo D. Purbo, 2010).

Menurut Purbo S. Suwondo, geopolitik ialah sebuah kombinasi dari faktor politik dan geografis yang memberikan ciri terhadap suatu negara atau wilayah tertentu. Geopolitik ialah takdir (Teori Strategi, PKN UI, 30 Juni 2011). Dalam perspektif ini, Purbo menekankan perlunya cermatan secara tajam dan mendalam atas “ciri khas” berkenaan dengan geografis serta dinamika politik.

Sedangkan implementasi geopolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebenarnya sederhana. Menurut Panglima Besar Soedirman yakni “pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947). Bung Karno mengingatkan bahwa “ketahanan nasional dapat maksimal jika berdasarkan geopolitik” (1965); atau Pak Harto dulu sering mengatakan “… kesatuan daratan, kesatuan lautan dan kesatuan udara ini dipandang sebagai satu keseluruhan yang bulat. Itulah wawasan nusantara (1967); dan menurut Dirgo D. Purbo pakar geopolitik dan geostrategi sekaligus dosen pasca sarjana Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia (UI) menyebut: “bahwa wawasan nusantara merupakan agenda kepentingan nasional Republik Indonesia” (2003). Itulah beberapa aplikasi geopolitik dan geostrategi dengan berbagai sisi dan kemasan.

Ya, dimanapun hakiki geo (tanah, bumi dll), tidak hanya sekedar mengantarkan orang, kelompok, bangsa dan negara pada gerbang kemerdekaan saja, tetapi lebih jauh lagi untuk membentuk bangsa yang hidup di atasnya terhormat, memiliki martabat dan sejahtera di muka bumi, sesuai pidato Bung Karno tahun 1956-an:

“Dulu Jepang nge-bom Pearl Harbour itu tujuannya adalah Tarakan untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politik, tetapi soal bagaimana menjadikan manusia di dalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya”.

Pertanyaannya adalah: Sudahkan para elit dan segenap bangsa ini mengelola realitas politik (geopolitik) yang melekat sebagai takdir di republik tercinta ini?

(Bersambung Bag-2)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com