Pentingnya Identifikasi Musuh: Refleksi dari Konferensi Women and Islamic Awakening, Tehran 2012*

Bagikan artikel ini

Dina Y. SulaemanMagister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran dan Research Associate Global Future Institute

“..kenali musuh Anda, kenali diri Anda sendiri, dan kemenangan Anda tidak akan terancam.”  (Sun Tzu, The Art of War)

Pengantar

Pada tanggal 10-11 Juli 2012, Republik Islam Iran menyelenggarakan Konferensi Internasional bertajuk ‘Women and Islamic Awakening’. Konferensi ini termasuk dalam rangkaian konferensi Islamic Awakening yang telah diselenggarakan di Iran sejak bulan September 2011.

Pada bulan September 2011, diselenggarakan Konferensi Islamic Awakening yang dihadiri lebih dari 700 pemikir dan tokoh-tokoh muslim dari 80 negara.

Lalu, sebagai tindak lanjut dari konferensi tersebut, dibentuklah World Assembly of Islamic Awakening, dengan markas tetap di Tehran. Anggota Dewan ini terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai negara muslim dan yang ditunjuk sebagai Sekjen adalah Ali Akbar Velayati (mantan Menlu Iran).  Pada 10-11 November 2011, para anggota World Assembly of Islamic Awakening itu mengadakan sidang di Tehran. Dalam sidang yang dihadiri oleh 25 tokoh terkemuka dari  17 negara muslim itu, didiskusikan perkembangan terakhir terkait kebangkitan negara-negara muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Selanjutnya, pada bulan Januari  2012, diadakan Konferensi Pemuda dan Kebangkitan Islam, yang diikuti oleh lebih dari 1000 pemuda/pemudi dari 73 negara.

Yang menarik, konferensi ke-3 diselenggarakan dengan mengundang para penyair dari negara-negara muslim, sehingga tema konferensi adalah, “Islamic Awakening Poetry Congress”. Menurut Velayati, peran puisi dan penyair dalam sepanjang sejarah kebangkitan Islam sangatlah signifikan. Melalui syair-syair revolusioner, para penyair mampu membangkitkan semangat rakyat untuk maju bergerak melawan tiran.

Terakhir, pada bulan Juli 2012, sekitar 1500 muslimah dari 85 negara berkumpul di Teheran untuk mengikuti Konferensi Perempuan dan Kebangkitan Islam. Penulis bersama 17 anggota delegasi Indonesia lainnya, berkesempatan hadir dalam acara tersebut.

Melalui tulisan ini, penulis  berusaha merefleksikan kembali ide utama yang ingin didiseminasi melalui rangkaian Konferensi tersebut.

Latar Belakang Konferensi Islamic Awakening

Sejak Januari 2011, kebangkitan rakyat tertindas (atau mungkin bisa diistilahkan dengan revolusi) telah menggelegak di Timur Tengah dan Afrika Utara. Diktator-diktator yang puluhan tahun berkuasa pun bertumbangan, mulai dari Ben Ali di Tunisia, Mubarak di Mesir, hingga Qaddafi di Libya. Gelombang kebangkitan itu terus menjalar. Rakyat di negara-negara monarkhi Arab pun sudah mulai berani berdemo, meskipun dihadapi dengan kekerasan, seperti di Bahrain, Arab Saudi, Jordan, atau Qatar. Di Syria, sempat terjadi aksi demo memprotes Bashar Asad, yang kemudian dibalas demo yang jauh lebih besar oleh rakyat pro-Assad. Namun, sayang sekali, karena intervensi asing (termasuk suplai dana, senjata, bahkan pasukan dari  negara-negara Arab), konflik di Syria menjadi konflik bersenjata yang sangat brutal, sehingga mengorbankan nyawa banyak rakyat sipil.

Media Barat menyebut kebangkitan rakyat Arab ini sebagai simbol kehendak rakyat untuk demokrasi. Namun, mereka tidak konsisten, karena istilah ‘demokrasi’ ini hanya berlaku untuk sebagian negara. Untuk kasus-kasus seperti Bahrain, Arab Saudi, mereka sama sekali tidak menganggapnya sebagai perjuangan untuk menegakkan demokrasi; dan Barat tetap mendukung rezim-rezim monarkhi yang jelas-jelas tidak demokratis.

Sementara itu, dari Iran, terdengar suara berbeda. Para pemimpin Iran berkali-kali menyebut kebangkitan rakyat di berbagai negara muslim sebagai kebangkitan Islam. Hal ini awalnya, bagi saya, terasa agak aneh. Karena, kenyataannya, simbol-simbol Islam tidak mengemuka dalam aksi-aksi demo berbagai negara itu. Yang mengemuka adalah ide-ide demokrasi, kesetaraan, atau keadilan.

Namun, melalui Konferensi Perempuan dan Kebangkitan Islam, saya berhasil menangkap bahwa yang dilakukan Iran sebenarnya adalah upaya identifikasi gerakan kebangkitan itu. Dalam pidatonya di konferensi tersebut, Ahmadinejad mengungkapkan bahwa manusia bisa ditindas ketika kemuliaan dan harga dirinya direndahkan. Dan musuh-musuh Islam selama ini berusaha menaklukkan kaum muslimin melalui upaya penyebaran rasa rendah diri, rasa takut, lemah, dan ketidakberdayaan. Padahal, Allah menciptakan manusia bukan untuk direndahkan. Manusia adalah makhluk mulia yang bahkan mendapatkan posisi sebagai wakil Allah di bumi. Dan inilah esensi Islam dan esensi ajaran-ajaran Ilahiah yang dibawa para Nabi: membangkitkan manusia agar mampu meraih posisinya yang mulia itu. Karena itu, meskipun tidak membawa simbol-simbol Islam, kebangkitan bangsa-bangsa yang selama ini tertindas dan direndahkan oleh rezim-rezim diktator, jelas merupakan kebangkitan kemanusiaan yang Islami. Sebagaimana dikatakan oleh Ahmadinejad, “Kebangkitan ini tidak hanya perlu dilakukan oleh kaum muslimin, tapi oleh semua umat manusia karena Tuhan menciptakan manusia semua setara, tidak boleh ada yang menindas, dan tidak boleh ada yang ditindas.”

Upaya identifikasi gerakan kebangkitan ini penting dilakukan untuk memberikan arah pada gerakan itu. Karena, sebagaimana sudah banyak terjadi dalam sepanjang sejarah, banyak gerakan revolusi dan reformasi yang hasilnya hanya kegembiraan sesaat, lalu rakyat kembali pada nasibnya yang lama.

Pentingnya Identifikasi Musuh

Kesadaran untuk merumuskan tujuan yang hendak dicapai dalam sebuah perjuangan dalam hal yang sangat penting; termasuk juga kesadaran untuk mengidentifikasi musuh. Indonesia adalah saksi sejarah, betapa kegagalan untuk mengindentifikasi musuh telah berakibat fatal. Pada tahun 1998, rakyat Indonesia berhasil bangkit menumbangkan rezim despotik Suharto yang telah berkuasa 33 tahun. Namun, sayang sekali, agen-agen musuh justru mengambil alih kepemimpinan pasca reformasi sehingga akhirnya Indonesia tetap bergelimang di lumpur kesengsaraan yang sama, dan bahkan lebih pekat. Agaknya, kita perlu mempelajari lagi ajaran Sun Tzu dalam buku klasik legendarisnya The Art of War, “..kenali musuh Anda, kenali diri Anda sendiri, dan kemenangan Anda tidak akan terancam.”

Bila kita runut lagi, siapakah musuh Indonesia sebenarnya? Suharto-kah, atau kekuatan di balik rezim Suharto? Meskipun tahun 1945 kita merdeka, namun kekuatan Barat tetap saja ingin menjajah Indonesia melalui penjajahan ekonomi. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1967 terjadi penjajahan ekonomi yang lebih sistematis. Pada tahun itu, diadakan konferensi Investasi Indonesia di Jenewa, Swiss. Sedemikian ironisnya kejadian dalam konferensi itu, sampai-sampai  pengamat Indonesia, Jeffrey Winters, dalam film dokumenter John Pilger,  berkata,

“Situasi semacam ini belum pernah saya dengar sebelumnya di manapun. Situasi  ketika pengusaha  elit dunia bertemu dengan pejabat sebuah negara. Merekalah (para pengusaha itu) yang menentukan pra-syarat untuk berinvestasi ke negara itu. Konferensi berlangsung 3 hari.  Hari pertama wakil Indonesia tampil memberikan uraiannya. Pada hari kedua, mereka membaginya menjadi lima pertemuan sektoral,: pertambangan, jasa makanan, industri ringan, perbankan, dan keuangan. Kemudian mereka menyusun kebijakan yang menguntungkan investor itu. Mereka berkata kepada para pejabat Indonesia  itu, “Inilah yg perlu kami lakukan, ini, ini, ini..”  Kemudian mereka meyusun infrastruktur hukum untuk kepentingan investasi mereka di Indonesia.”

Entahlah, apa kata-kata yang tepat untuk menilai kualitas para pejabat Indonesia yang bernegosiasi menjual kekayaan bangsa ini kepada perusahaan-perusahaan asing itu.Yang jelas, perampokan itu terus berlanjut hingga hari ini, dengan nama yang terdengar  bagus:  investasi asing. Masih dalam skema penguasaan sumber daya alam Indonesia, Indonesia pun dijerat dengan hutang dan perekonomian Indonesia diseret ke arah liberalisasi. Sesaat,  Indonesia sempat mengalami kemajuan ekonomi pesat sehingga dipuji-puji sebagai calon “Macan Asia”. Banyak orang terlena, silau oleh kemegahan bangunan-bangunan dan proek-proyek yang dibangun dengan hutang. Pondasi ekonomi liberal yang dibangun Indonesia atas petunjuk IMF ternyata sangat rapuh sehingga langsung roboh saat krisis moneter 1997. Lagi-lagi, IMF pula yang datang mengulurkan dana. Kisahnya persis bak pasien sekarat yang sudah tahu bahwa dokternyalah yang selama ini memberi racun, namun tetap datang ke dokter yang sama.

Kita pun tahu situasi selanjutnya. Ekonomi kolaps, rakyat semakin miskin, mahasiswa marah, dan kita pun beramai-ramai bangkit menggulingkan rezim Soeharto melalui berbagai aksi demonstrasi tahun 1998.

Sayang, hingga kini, kita masih berkubang di lumpur yang sama. Antek-antek rezim lama masih terus bercokol dan hanya mengganti slogan. Jumlah penduduk miskin terus meningkat, hampir semua bank dan BUMN dikuasai asing, kontrak-kontrak pertambangan yang tidak adil tetap dilanjutkan (lihat kasus Freeport dan ExxonMobil). Privatisasi semakin merajalela, bahkan merambah ke bidang-bidang yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara: pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik. Hutang semakin menumpuk dan selalu ditambah (karena, ternyata ada fee resmi/legal untuk para pejabat yang menyetujui hutang itu). Para pemimpin pasca reformasi, ramai-ramai membungkuk kepada Barat dan manut saja saat disuruh untuk meliberalkan ekonomi Indonesia.

Inilah contoh nyata: tidak mampu mengenali musuh. Situasi Indonesia hari ini persis seperti salah satu penggalan lirik lagu band The Who, “meet the new boss, same as the old boss.” Rakyat berjuang menggulingkan rezim lama, tapi rezim baru ternyata setali tiga uang meski bertopeng demokrasi dan reformasi. Rakyat tidak mampu mengenali mana yang seharusnya dilawan, dan tertipu oleh pencitraan tokoh-tokoh yang berkedok demokratis dan pejuang reformasi.

Kebangkitan Islam di negara-negara Arab, baik yang sudah berhasil menumbangkan rezim lama, seperti Tunisia, Mesir, Libya,  ataupun yang sekarang sedang dalam proses perjuangan, seperti di Bahrain, Yaman, atau Arab Saudi, agaknya perlu  belajar dari pengalaman Indonesia agar tak terjatuh dalam lubang yang sama. Mereka tak boleh membiarkan tokoh-tokoh rezim lama atau tokoh baru namun inferior terhadap musuh, menguasai pemerintahan. Reformasi ternyata tidak berhenti pada penggulingan sebuah rezim, namun bagaimana membangun rezim baru yang kokoh, yang tidak mau lagi dikibuli Barat.

Contoh Kasus: Revolusi Mesir

Revolusi Mesir, harus diakui, sangat menginspirasi dunia Islam kontemporer. Berbeda dengan proses revolusi Iran yang cenderung ditutupi media (apalagi, zaman itu teknologi telekomunikasi belum secanggih sekarang), revolusi Mesir disaksikan secara live oleh manusia di berbagai penjuru dunia. Romantisme perjuangan di Tahrir Square Kairo, mendebarkan jantung banyak orang; dan mendorong banyak orang untuk ikut berdoa demi kemenangan rakyat Mesir. Sebuah cerita menarik yang sangat berkesan buat saya, dituturkan oleh teman Mesir saya, di Tahrir Square, sempat terjadi warga Mesir non-muslim membuat barikade untuk melindungi warga Mesir muslim yang akan menunaikan sholat, agar tidak diganggu oleh militer. Betapa indahnya.

Tapi, perjalanan revolusi selanjutnya seolah-olah kehilangan arah karena tidak adanya satu figur utama yang mendominasi. Berbeda dengan revolusi Iran, yang didominasi suara Islam, di Mesir, suara yang terdengar keras adalah ‘demokratisasi’. Ini sepertinya menunjukkan keberhasilan political leveraging yang dilakukan AS selama ini. Sebagaimana dianalisis oleh Prof. Chossudovsky, selama ini AS bermain di dua kaki di Mesir. Istilahnya, “political leveraging” (politik pemanfaatan). AS mendukung diktator, tapi pada saat yang sama juga mendukung kelompok-kelompok oponen (penentang) diktator. Tujuannya, agar kelompok oponen itu bisa dikontrol dan tidak menjadi ‘liar’. Dalam kasus Mesir, biarlah Mubarak ditumbangkan asal kaum oponen tidak menganggu kepentingan AS. Bahkan, dengan “political leveraging” ini, AS bisa mengontrol kaum oponen agar saat memilih pengganti Mubarak, yang dipilih bukanlah tokoh yang membahayakan kepentingan AS (dan Israel).

Melalui dua lembaga, Freedom House dan the National Endowment for Democracy, AS selama ini telah mendukung dan mendanai kelompok-kelompok pro-demokrasi Mesir. Bahkan para blogger pun dilibatkan dalam “political leveraging” ini. Pada 27 Feb-13 Maret 2010, Freedom House ‘mendidik’ sejumlah bloger dari Afrika Utara dan Timur Tengah untuk mempelajari digital security, digital video making, message development dan digital mapping, serta membawa mereka bertemu dengan pejabat-pejabat tinggi di Kongres (parlemen), Kemenlu, dan USAID.

Benar, demonstrasi di Tahrir Square adalah aksi heroik rakyat Mesir yang marah. Kehidupan 30 tahun di bawah sebuah rezim yang korup dan despotik lebih dari cukup untuk jadi pemicu kemarahan rakyat. Namun, proses “political leveraging” AS yang berjalan selama ini ternyata mampu mengaburkan kehadiran Sang Musuh Utama. Musuh yang terlihat oleh rakyat Mesir hanya satu: Mubarak. Padahal, Mubarak hanyalah boneka yang patuh menjalankan instruksi IMF untuk meliberalisasi ekonominya dan patuh menerima instruksi AS untuk terus tegak membela Israel. Dengan kata lain, dalang utama di balik penindasan rakyat Mesir itu sesungguhnya kekuatan Barat dan Israel.

Itulah sebabnya, para demonstran Mesir sepertinya tidak terpikir untuk mendemo Kedubes AS, melainkan ‘hanya’ merusak gedung-gedung pemerintah. Sungguh berbeda dengan aksi-aksi demonstrasi rakyat Iran melawan Reza Pahlevi tahun 1979. Rakyat Iran saat itu tidak hanya menuntut turun Pahlevi, tetapi juga mengusir AS keluar, karena mereka tahu, AS-lah tuannya Pahlevi. Buat apa mengusir Sang Boneka, bila Sang Tuan terus bercokol dan terus menghisap darah rakyat?

Ketidakmampuan mengindentifikasi musuh inilah yang kini ditunjukkan oleh Presiden Mesir, Muhammad Mursi. Seorang teman Mesir saya berkata, “Mari kita beri Mursi sedikit waktu. Dia tidak mungkin membalikkan keadaan dalam sekejap.” Ya, benar. Tetapi langkah-langkah awal Mursi menunjukkan dia sedang mengulangi kesalahan yang sama, yang dilakukan Indonesia para era reformasi. Untuk mengatasi persoalan ekonominya, Mursi telah mengajukan hutang kepada IMF. Padahal, seperti sudah diuraikan di atas, IMF adalah seburuk-buruknya lintah darat, meski  berpakaian necis dan berkantor mewah di Washington DC. Tanpa perlu membawa-bawa pasal riba (tentu, sebagai muslim kita perlu menghindari riba), dari kacamata ekonomi sekuler pun, IMF sudah dianggap sebagai lembaga jahat penghisap darah rakyat negara-negara berkembang (antara lain, baca bukunya Stiglitz, Globalization and Its Discontents).

Sekali sudah bersekutu dengan musuh dalam selimut, langkah-langkah Mursi selanjutnya bisa ditebak. Dia akan sulit untuk independen dan tidak bisa memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Akan selalu ada kekuatan-kekuatan besar yang akan menghalangi langkahnya untuk memperjuangkan kemakmuran rakyat Mesir.

Dari sini, kembali terlihat pentingnya upaya mengenali musuh. Rakyat Mesir sudah menang melawan rezim diktator Mubarak. Tapi, seperti kata Sun Tzu, mereka perlu mengenali siapa musuh sejati agar kemenangan itu tidak terancam; agar mereka tak kembali dalam kubangan lumpur yang sama.

Mengenali Diri Bagi Perempuan

Dalam konferensi Women and Islamic Awakening, saya melihat, aspek kedua Sun Tzu-lah yang didengungkan dengan jelas: kenalilah diri Anda.

Dalam pidatonya di konferensi tersebut, Ahmadinejad menjelaskan panjang lebar pentingnya posisi perempuan. Beberapa peserta konferensi yang berdialog dengan saya sempat mengakui bahwa mereka menitikkan air mata haru saat mendengar pidato Ahmadinejad. Ahmadinejad menjelaskan bahwa kunci utama perubahan nasib manusia yang tertindas adalah kebangkitan si manusia itu sendiri. Tanpa kebangkitan, tidak akan ada perubahan apapun bagi dirinya. Kebangkitan yang dimaksud adalah bangkitnya kesadaran bahwa manusia diciptakan mulia dan seharusnya hidup mulia, tidak ditindas oleh kekuatan manapun. Ahmadinejad mengatakan, dalam proses kebangkitan ini, perempuanlah yang berperan sangat besar, bahkan lebih besar. Ahmadinejad berkata,

“Dalam penciptaan asali,  manusia itu satu, namun dalam perubahan sosial, peran perempuan dan laki-laki berbeda. Saya berkeyakinan bahwa dalam perubahan sosial, peran perempuan itu lebih penting, lebih berpengaruh, dan lebih abadi dibandingkan peran laki-laki. Saya meyakini bahwa Allah menciptakan perempuan dengan keistimewaan yang luar biasa dan karena keistimewaannya inilah perempuan memiliki tanggung jawab dan misi yang sangat berat

Apapun yang ada, semua berasal dari pangkuan dan pelukan perempuan. Lihatlah, setiap laki-laki yang sampai ke puncak kemanusiaan, pastilah berhutang budi kepada ibunya. Sangat mustahil dalam sebuah masyarakat akan terjadi perubahan sosial bila perempuan tidak dilibatkan. Setiap perubahan sosial membutuhkan bantuan perempuan. Ketika seorang perempuan bergerak, suami dan anak-anaknya akan bergerak bersamanya. Kebangkitan Islam hanya bisa diraih jika kaum muslimah sadar dimana posisinya yang tepat dan kembali meraih posisi itu. Posisi utama perempuan adalah sebagai pendidik generasi muda. Ibu yang cerdas, beriman, dan sadar akan tugas utamanya, akan melahirkan generasi-generasi pejuang yang akan memperbaiki kondisi umat Islam. Kami melihat kenyataan ini di Iran dan saat ini kami pun menyaksikannya sedang terjadi di dunia.

Mengapa Allah memberikan tugas/misi utama kepada perempuan? Alasannya adalah karena perempuan adalah manifestasi keindahan, kelembutan, dan cinta Tuhan. Hati perempuan adalah wadah tempat bergolaknya cinta, kasih sayang, dan kemanusiaan. Ketika ingin membuat kerusakan di sebuah masyarakat, langkah pertama yang dilakukan setan adalah menghapuskan peran perempuan; perempuan dijauhkan dari peran utamanya; bahkan peran perempuan itu dihancurkan olehnya. Di Eropa, wujud dan peran utama perempuan telah dihancurkan. Akibatnya yang terjadi adalah kejahatan yang merajalela. Kezaliman yang paling buruk adalah kezaliman terhadap perempuan. Di setiap masyarakat yang perempuannya bangkit, dengan segera masyarakat itu pun akan bangkit.”

Identifikasi Musuh Bagi Perempuan

Perempuan hari ini di berbagai penjuru dunia, sebenarnya sedang menghadapi musuh yang sama, yaitu kekuatan-kekuatan yang ingin menjauhkan perempuan dari peran utama mereka yang sesungguhnya. Musuh itu tidak saja berupa musuh fisik, seperti tentara Zionis yang menindas bangsa Palestina, melainkan juga dalam bentuk ideologi yang menyesatkan. Dorongan untuk mencapai karir setinggi-tingginya (meskipun itu harus ditebus dengan mengabaikan keluarga), dorongan untuk menuntut persamaan (bukan kesetaraan) dengan pria, dorongan untuk tergila-gila pada konsumerisme dan mode, dorongan untuk melepaskan diri dari aturan-aturan agama yang dianggap puritan, mengekang kebebasan, dll, adalah di antara ide-ide yang sebenarnya membuat perempuan terjajah. Inilah yang disebut Shariati (dalam Shahidian, 2002) sebagai ‘bentuk penjajahan budaya’ yang dilakukan oleh Barat. Barat menggunakan perempuan sebagai pasar bagi produk-produk kapitalisme. Mereka memanfaatkan perempuan untuk merusak tatanan sosial yang pada akhirnya menghancurkan diri si perempuan sendiri. Kezaliman terhadap perempuan, mulai dari pengabaian, kekerasan, pemerkosaan, eksploitasi, dll, adalah bentuk-bentuk kehancuran itu.

Sebaliknya, ketika perempuan kembali menemukan siapa dirinya yang sejati dan apa perannya yang sejati di muka bumi, mereka akan bangkit. Shahidian (2002) menyebutnya sebagai ‘heightened self-worth’ (rasa harga diri yang semakin meningkat), yang akan  memberdayakan perempuan dan membebaskan  mereka dari pelbagai hambatan seperti ketakutan, kerapuhan, atau egoisme. Ketika kaum perempuan mampu  mengidentifikasi peran mereka dalam masyarakat, mereka akan memiliki kekuatan untuk  memperluas aktivitas dan tanggung jawab mereka. Mereka tidak  hanya berpikir tentang rumah tangga mereka, tetapi jauh di luar itu.  Mereka inilah yang tadi disebut oleh Ahmadinejad “perempuan mengemban misi yang sangat  berat dan penting”, yaitu membuat perubahan sosial ke arah yang lebih baik, ke arah kemerdekaan umat manusia dari ketertindasan.

Penutup

Sebagai penutup, saya ingin mengulangi apa yang disampaikan Ayatullah Khamenei dalam Konferensi Islamic Awakening. Menurutnya, belajar dari Perang Uhud, rasa aman dan nyaman para pejuang justru membuat mereka lengah dan akhirnya dipukul balik oleh musuh. Karena itu, bangsa-bangsa yang telah berhasil menumbangkan rezim despotik seharusnya tetap waspada karena musuh-musuh akan terus berusaha untuk kembali berkuasa atas mereka. Musuh-musuh itu akan menggunakan elemen-elemen di dalam negeri yang berusaha tetap mempertahankan kebergantungan kepada musuh sejati. Kemampuan mengindetifikasi siapa musuh yang sejati, akan sangat membantu mereka untuk terus mempertahankan kemenangan mereka itu. Bila mereka gagal melakukan hal ini, mereka akan terus terjebak dalam aksi-aksi kekerasan, perang sipil, pertikaian antarmazhab, bahkan perang dengan negara tetangga. Semua itu jelas bukan kondisi yang membawa kebaikan bagi umat.

Berdasarkan pengalaman Iran dalam menghadapi masa-masa berat pasca keberhasilan menumbangkan rezim Shah yang didukung Barat, Ayatullah Khamenei mengatakan bahwa kunci utama keberhasilan Iran adalah bersandar sepenuhnya kepada Allah dan tidak mempercayai sedikit pun bujukan kekuatan-kekuatan imperialis Barat. Karena itu, bangsa-bangsa yang sudah berhasil bangkit perlu menata ulang prinsip dan dasar revolusinya, serta membangun sistem yang benar, dengan tujuan utama membentuk sebuah masyarakat Islam yang bersatu dan membangun peradaban Islam yang unggul. If Allah helps us, none can overcome us.

*) Laporan Dari Konferensi Internasional bertajuk ‘Women and Islamic Awakening’ tanggal 10-11 Juli 2012 di Iran

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com