M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Antara Gulliver dan “Kekaisaran Militer”
Beberapa dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit mengungkap isyarat, bahwa saat ini tengah berlangsung pergeseran situasi global (geopolitical shift) dari kawasan Heartland (Timur Tengah/Asia Tengah) menuju Laut Cina Selatan. Adapun indikator dan garis besar perpindahan geopolitik dapat dicermati dari data-data sebagai berikut:
1) Menurut Bo Yaozhi, peneliti dari Universitas Negeri Singapura, AS ingin mengalihkan titik berat militernya ke kawasan Asia Pasifik, menempatkan kekuatan militer di kawasan tersebut dan menebar jaringan yang lebih besar;
2) Dalam kunjungan Obama ke Australia terkait penempatan marinir di Darwin, ia berkata bahwa prioritas utama pemerintahan AS adalah Asia Pasifik, mengingat kawasan ini menentukan masa depan di abad XXI. Menteri Pertahanan (Menhan), Leon Panetta pun menebalkan dalam pertemuan puncak Keamanan Asia diselenggarakan International Institute of Strategic Studies di Singapura (Sabtu, 2/6), bahwa AS akan menempatkan 60% armada di Asia Pasifik. Hingga tahun 2020 nanti terus menambah armada dari pembagian yang semula 50-50 antara Pasifik dan Atlantik, akan menjadi 60-40 bagi kedua samudera;
3) Munculnya ketidakpastian situasi di Timur Tengah akibat terkendalanya Military Roadmap AS terutama dalam penaklukkan Syria dan Iran. Military Roadmap tersebut pernah dipaparkan oleh Jenderal Wesley Clark, mantan Komandan NATO di Pentagon (Prof Michel Cossudovsky, www.globalresearch.ca). Kendala tadi selain karena Bashar al Assad terus melawan, juga upaya Barat menerbitkan Resolusi PBB bagi Syria bolak-balik gagal. Ini diungkap oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Hillary Clinton sewaktu kunjungan ke Beijing (Selasa,4/8). Clinton menyatakan kecewa atas tindakan Rusia dan Cina memblokir resolusi Dewan Keamanan, tetapi dijawab oleh Menlu Cina, Yang Jiechi, bahwa sejarah akan menilai posisi Cina terkait krisis Suriah adalah (penanganan) tepat. Apa yang kita pikirkan adalah kepentingan rakyat Suriah dan kawasan; dan juga
4) Cina memperingatkan AS agar tidak terlibat jauh dalam sengketa di perairan Cina Selatan karena teritorial yang diperebutkan adalah sengketa regional antara Cina melawan Taiwan, Cina versus beberapa anggota ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Brunei Darussalam;
5) Kuatnya pengaruh Cina di Asia Pasifik dan sekitarnya akibat “Kebijakan Panda” serta melebarnya String of Pearls (pola penguasaan perairan dari Laut Cina Selatan-Selat Malaka-Laut Arab-Teluk Persia dll) merupakan strategi Negeri Paman Mao di perairan via pembangunan pelabuhan-pelabuhan di negara-negara pesisir Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan. Bahkan India-Cina telah mengaktifkan kembali manuver militer bersama setelah terkendala sejak 2008 akibat friksi diplomatik. Tak ketinggalan adalah perambahan hegemoni melalui Kebijakan Panda (investasi/uang) terhadap negara-negara pulau di Lautan Pasifik yang selama ini dalam orbit dan kendali AS;
6) Suksesnya penyelenggaraan KTT GNB ke 16 diikuti lebih 100-an negara di Tehran ialah ujud riil kemenangan diplomasi Iran terhadap AS dan sekutunya karena selama ini Barat berupaya menggiring opini agar dunia memusuhi dan mengucilkan Iran;
7) Kunjungan mendadak Hillary Clinton ke beberapa negara peserta dan anggota APEC yang berujung dalam KTT APEC di Vladivostok, selain mencerminkan “kepanikan AS” —meminjam istilah Hendrajit — secara tersirat menyimpan urgen agenda di Asia Pasifik. Inti kunjungan ke Indonesia, selain berkomitmen mendukung kepemimpinan Indonesia dalam KTT APEC 2013 di Bali, AS juga “menegur” atas intoleransi terhadap minoritas, dan lain-lain.
Agaknya perubahan geopolitik di atas, dicermati secara menarik oleh Toni Cartalucci, peneliti senior di Central for Research Globalization (CRG), Kanada. Ia membuat analogi bahwa Cina ibarat Gulliver yang terdampar di Pulau Liliput. Ketika terbangun ia mendapati dirinya terjerat tali oleh (kaum liliput) orang-orang kecil di sekeliling.
Menafsir analog Cartalucci, sepertinya Paman Sam hendak menggunakan negara-negara (proxy) di sekeliling Cina yang tergabung pada blok supra-nasional (ASEAN) sebagai front untuk “memaksa” (tie down) supaya mengikuti aturan main dan cara yang sama. Dalam buku Perang Cina Kuno strategi itu disebut “membunuh dengan pisau pinjaman”. Atau kata mBah saya, nabok nyeleh tangan!
Dan tampaknya, tafsiran ini terbukti dengan dukungan serta anjuran Panetta kepada Menhan se-ASEAN agar “bertindak seragam” terkait sengketa di Laut Cina Selatan. Secara tersirat, anjuran Panetta bersifat provokatif sebab tie down dan tindakan seragam bisa dimaknai “silahkan keroyok Cina”. Tapi Cartalucci mengingatkan, skenario tersebut tidak akan sukses seperti kisah ‘Perjalanan Gulliver’, bahkan mungkin sebaliknya. Artinya justru Cina yang kelak membebaskan dirinya sendiri dari jeratan temali, lalu bangkit dan menginjak-injak bangsa liliput di sekitarnya!
Masih terkait pergeseran geopolitik, Pengamat Pertahanan dan Militer dari UI Connie Rahakundini juga memprakirakan bahwa 8 tahun ke depan, “peperangan” dalam rangka perebutan sumber daya alam (SDA) dan jalur perdagangan beralih ke kawasan ini. Abad XXI, kata Connie telah melahirkan “kekaisaran militer” AS yang ditetapkan Bush Jr pada 14 Januari 2004.
Lebih dari setengah juta tentara formal plus mata-mata yang terselimuti melalui jejaring lembaga donor, teknisi, guru, serta badan usaha sudah tersebar membentuk koloni di negara-negara lain. Bukan hanya di darat, ia juga mendominasi lautan hingga samudera. Paman Sam membangun kekuatan angkatan laut yang hebat dengan mencantumkan nama-nama pahlawan pada kapal induk, seperti: Kitty Hawk, Constellation, Enterprise, John F. Kennedy, Nimitz, Dwight D. Eisenhower, Carl Vinson, Theodore Roosevelt, Abraham Lincoln, George Washington, John C. Stennis, Harry S. Truman, Ronald Reagan dan lainnya. Pangkalan militer AS telah mencapai 1000-an lebih di dunia. Data resmi dari Departement of Defence dalam laporan struktur tahun fiskal 2003 menyebut, Pentagon memiliki 702 pangkalan di 130 negara. Jumlah itu belum termasuk 6.000 pangkalan di wilayahnya sendiri. Luar biasa!
Dalam perspektif hegemoni AS, setiap negara yang berpotensi menjadi pesaing mutlak harus dibendung dan dilemahkan. Dibendung dari luar dilemahkan dari sisi internal. Tampaknya Cina merupakan kompetitor berat mengingat konsumsi minyaknya sudah separuh di pasar internasional. Persaingan keduanya berlangsung ketat terkait penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai negara. Dokumen Pentagon sendiri, Project for The New American Century and Its Implications 2002(PNAC) meramal bahwa persaingan antara AS – Cina meruncing 2017 dan konfrontasi terbuka mungkin tidak bisa dielakkan. Inilah yang bakal terjadi.
Aspek Yuridis dan Geostrategi
Rezim Hukum Laut Internasional, atau United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang telah diratifikasi dalam UU 17/ 1985 menetapkan skema jalur kapal-kapal di wilayah perairan dalam 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (disingkat: ALKI).
ALKI I terdiri atas Selat Sunda yang bagian utara bercabang menuju Singapura dan Laut China Selatan; ALKI II meliputi Selat Lombok menuju Laut Sulawesi; dan ALKI III sekitar perairan Laut Sawu, Kupang (III A), dan seterusnya hingga sebelah timur Timor Leste (III C) dan perairan Aru (III D). Itulah fenomena “Pintu Gerbang Memanjang” membelah perairan Indonesia.
Berdasarkan UNCLOS 1982, ALKI menjamin hak perlintasan bagi kapal-kapal asing termasuk armada militer beroperasi secara normal. Fenomena tadi bisa menguntungkan di satu sisi, namun sisi buruknya lebih banyak mengingat saat ini tanpa pengawasan dan pengamanan maksimal. Ia bisa menimbulkan ancaman serta gangguan baik kejahatan, pencemaran lingkungan, penyelundupan, pembajakan, terorisme, trafficking in person, atau ancaman militer dari negara-negara yang melintas, baik dengan kedok pelayaran swasta, berdalih penelitian ilmiah, kerjasama dan latihan militer bersama, dan lain-lain.
Dalam UNCLOS memang membolehkan “penutupan sementara” suatu negara apabila terkait kepentingan nasional dan demi keamanan nasional, namun konsekuensi bagi negara yang bersangkutan harus menyediakan jalur alternatif sebagai pengganti. Secara geopolitik, hal-hal semacam ini sangat dikhawatirkan oleh negara-negara lain. Dengan kata lain, bila kelak Indonesia mampu mengontrol sendiri choke points-nya, maka kapal-kapal asing yang lalu-lalang di wilayah ALKI tidak bisa bebas melintas atau bertindak sembarangan.
Beberapa retorika pun muncul: Apakah “pelemahan dan pemandulan” terhadap elemen serta kekuatan-kekuatan laut di Indonesia merupakan by design pihak asing karena ketakutan bila republik ini cerdas mensiasati geopolitik dan geostrategi negaranya; bagaimana seandainya Selat Sunda dan Selat Lombok ditutup sebulan guna latihan gabungan TNI-Polri dalam rangka memberantas illegal fishing, atau memerangi terorisme di perairan?
(Lanjut Bag-3) ..