Jokowi dan Jati Diri TNI

Bagikan artikel ini

M Djoko Yuwono, Wartawan Senior dan Budayawan

ADA “pencerahan” dari Presiden Jokowi saat menjadi inspektur upacara pada HUT ke-72 TNI, Kamis (5/10/2017), bahwa TNI harus tetap menjaga jati dirinya. “Saya ingat pesan Jenderal Soedirman tentang jati diri TNI yang saya yakin sangat relevan sampai sekarang,” kata Presiden Jokowi.

“Bahwa politik tentara, politik negara, politik TNI adalah politik negara,” lanjutnya.

Pada bagian lain, Presiden Jokowi menegaskan agar TNI tetap berada pada garda terdepan menghadapi segala ancaman terhadap NKRI dari dalam maupun luar negeri.

Jati diri TNI, inilah poin penting pertama. Poin penting yang kedua, TNI berada di garda terdepan dalam menghadapi ancaman NKRI dari dalam maupun luar negeri. Catat, ancaman dari dalam dan luar negeri.

Tentang jati diri TNI, pernyataan Presiden Jokowi itu mengingatkan kita adanya doktrin CADEK (Catur Darma Eka Karma) sebagai doktrin hankamnas dan doktrin perjuangan TNI yang berlambarkan wawasan nusantara. Berangkat dari wawasan nusantara pula, TNI tidak akan menonjolkan kepentingan suatu matra dan kepentingan satu bidang politik, ekononi, sosial budaya, dan hankam.

Di titik itu, saya melihat Presiden Jokowi sedang mengingatkan pula tentang peran TNI, yang disebutnya pada poin kedua pesannya: TNI berada di garda terdepan dalam menghadapi ancaman tidak saja dari luar negeri, tetapi juga dari dalam negeri. Nah, sampai di sini akan ada masalah. Apa?

Begini. Pada era reformasi, doktrin CADEK telah diubah menjadi TRIDEK (Tri Darma Eka Karma) sebagaimana termaktub pada UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI–yang mengacu pada UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan (produk dari amendemen UUD 1945, simak Bab III Pasal 10, 11, 12 dan Bab XII Pasal 30).

Ingat, perubahan itu terkait dengan proses reformasi di tubuh TNI yang mencakup empat hal: (1) meninggalkan peran sosial politik TNI, (2) memusatkan pada tugas-tugas pokok pertahanan negara, (3) meningkatkan konsistensi pelaksanaan doktrin gabungan, (4) meningkatkan kinerja manajemen internal.

Di sinilah masalahnya. TNI pun kehilangan jati dirinya. UU No. 3/2002 itu menempatkan
TNI hanya berperan dalam pertahanan negara, sedangkan urusan keamanan negara diserahkan kepada Polri. Ada pemisahan tajam antara pertahanan dan keamanan.

Masalah keamanan berkaitan dengan ancaman yang datang dari dalam negeri, sedangkan pertahanan terkait dengan ancaman dari luar negeri. Pemilahan seperti ini tidak ada yang salah, dalam persepsi negara-negara Barat. Tetapi, menjadi masalah bagi negara kita yang memiliki proses sejarah yang berbeda dengan negara-negara Barat, termasuk sejarah TNI dan Polri.

Bagi kita, bangsa Indonesia, sejarah telah membuktikan bahwa konsepsi ancaman terhadap eksistensi negara bisa datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri, seperti pesan Jenderal Besar Soedirman yang diingatkan oleh Presiden Jokowi itu tadi. Di situlah letak konsep hamkamrata bahwa unsur ‘kam’ tidak bisa diartikan sebagai ‘kamtibmas’ semata yang hanya menjadi tanggung jawabPolri.

Konsep pertahanan dan keamanan rakyat semesta itu lahir dari kondisi objektif bahwa keamanan tak saja terkait dengan ancaman gangguan kamtibmas, mengingat di sana juga ada ancaman yang terkait dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (ipoleksosbud), baik ancaman halus bahkan sampai yang brutal: pemberontakan dan perang total, yang bisa juga datang dari dalam negeri.

Di situlah relevansi pernyataan Presiden Jokowi terkait dengan jati diri dan peran TNI dalam menjaga keutuhan NKRI. Apakah ini sebuah sinyal perlunya UU No. 3/2002 tentang Pertahanan dan UU No. 34/2004 tentang TNI direvisi, untuk mengembalikan jati diri dan peran TNI (tanpa harus memberi ruang dalam politik praktis seperti pada era Orba)? Kita tunggu saja. ( * )

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com