Ancaman Narkoba dan Pro Kontra Hukuman Mati

Bagikan artikel ini

Penulis : Jon Donnison, Koresponden BBC, Sydney
Dalam pernyataan kepada wartawan, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, menegaskan hubungan antara Australia dan Indonesia tidak akan bisa sama lagi setelah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dieksekusi di Nusakambangan, Jawa Tengah, Rabu (29/04). “Australia menghormati sistem hukum Indonesia, kedaulatan Indonesia. Tapi kami mengecam keras eksekusi ini. Makanya hubungan dengan Indonesia tidak akan bisa sama lagi. Begitu proses yang terkait dengan Chan dan Sukumaran selesai, kami akan menarik duta besar kami untuk konsultasi,” kata Abbott.

Sementara itu, berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) saat ini sudah ada 338 jenis Narkoba. Biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan Narkoba sebanyak Rp 63,1 Trilyun di tahun 2014 dan diprediksi menjadi Rp 143,8 Trilyun di tahun 2020, sehingga Narkoba menjadi permasalahan global yang dalam penyelesaiannya harus diatasi secara global. Sedangkan menurut UNODC sebuah lembaga PBB yang mengurusi masalah bahaya Narkoba menilai di Indonesia terdapat 200 pabrik baru narkoba,kerugian akibat Narkoba mencapai Rp 2,2 trilyun per tahun, korban tewas setiap hari akibat narkoba mencapai 33 orang dan 2.000 orang hilang masa depannya akibat Narkoba.
 Sebagai contohnya, menurut beberapa sumber, lebih dari 59.000  orang  warga NTB terindikasi menyalahgunakan Narkoba  dan 1.000 orang sudah menjadi pecandu Narkoba, bahkan 3/4 dari warga yang menyalahgunakan Narkoba tersebut terindikasi menjadi pemakai Narkoba secara teratur. Daerah wilayah rawan Narkoba ada di 18 titik wilayah Kota Mataram, termasuk di kawasan wisata.
Menurut beberapa sumber, Narkoba yang beredar di Dumai konon berasal dari Cina, dibawa dan dititipkan lewat kapal barang ke Malaysia, kemudian dari Malaysia Narkoba tersebut masuk ke Kota Dumai melalui pelabuhan rakyat TPI Batu, dan dikirim ke Medan via darat. Adapun jalur dan jaringan peredaran dan distribusi narkoba di wilayah Batam yaitu peredaran Narkoba di Batam berasal dari Malaysia, melalui jalur resmi yaitu Pelabuhan Stulang Laut Johor Bahru Malaysia dan Pelabuhan Kukup Johor menuju Pelabuhan Internasional Batam Centre. Jalur tidak resmi atau melalui pelabuhan tikus yaitu Pelabuhan Rakyat Sungai Tiram Johor Bahru Malaysia ke Pelabuhan Tikus Tanjung Sengkuang Batam, Pelabuhan Tikus Tanjung Uma Batam, Pelabuhan Tikus Pantai Stress Batam, Pelabuhan Tikus Teluk Mata Ikan Batam dan Pelabuhan Tikus Tanjung Memban Batam. Bahkan, wilayah perbatasan laut khususnya di Selat Malaka sangat rawan dijadikan sebagai jalur peredaran Narkoba, khususnya dari Malaysia.
Ancaman Narkoba juga dinilai sangat komplek dan multi dimensi, karena secara strategis jangka panjang dapat menghancurkan negara atau sebuah peradaban bangsa yang heterogen seperti Indonesia, disamping memang Indonesia telah dijadikan target oleh pihak asing agar Indonesia menjadi negara dan bangsa yang lemah dan mempunyai ketergantungan dengan negara lain di dunia.
Adapun beberapa kelemahan dalam upaya “memerangi” peredaran Narkoba di beberapa daerah antara lain kekurangan jumlah personel, terbatasnya pengetahuan terhadap anatomi kejahatan internasional, kurang paham terhadap teknik dan taktik pengungkapan, masih kuatnya ego individual dan sektoral, sehingga belum bersinergi dalam pelaksanaan tugas, belum terlaksana komunikasi dan koordinasi antar instansi terkait dalam memutus jaringan Narkoba, belum terlaksananya patroli gabungan mengawasi perairan dan pelabuhan tikus antara Satpol Air, TNI AL dan Bea Cukai, dll. Sementara itu upaya pemerintah memerangi Narkoba seperti misalnya menembak mati terdakwa Narkoba sejauh ini belum menimbulkan efek jera, sehingga vonis hukuman mati terhadap pelaku peredaran, produksi dan memasarkan Narkoba harus dilanjutkan oleh jajaran penegak hukum, walaupun menimbulkan pro dan kontra didalam dan luar negeri.
Narkoba Ancaman Serius, Hukuman Mati Layak Diterapkan ?
Indonesia sudah masuk darurat Narkoba, setidaknya karena 33 orang tewas akibat narkoba setiap hari, 200 pabrik Narkoba didirikan di Indonesia, serta kerugian material yang sangat banyak akibat Narkoba. Oleh karena itu, apakah hukuman mati masih layak dilakukan terhadap pembuat dan penyelundup Narkoba ?
Yang pasti, masalah ini telah menimbulkan pro kontra. Kelompok yang kontra hukuman mati beralasan ; pertama, hukuman mati di Indonesia berdampak negatif, karena telah mendapatkan kecaman internasional dan melemahkan upaya untuk menolong 276 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Masih banyak cara lain untuk memberantas narkoba selain hukuman mati, seperti perbaikan regulasi.
Kedua, membangun efek jera bagi penyalahgunaan Narkoba dengan hukuman mati adalah produk yang sudah ketinggalan jaman. Hukuman mati justru menutup informasi mengenai sindikat narkoba. Hukuman mati mengindikasikan keputusasaan pemerintah dalam perang melawan narkoba.
Ketiga, konstitusi melindungi hak hidup setiap orang dalam kondisi apa pun dan pemerintah harus memberikan sosialisasi anti narkoba tanpa memberlakukan penerapan hukuman mati. Penegakan hukum yang diterapkan oleh kalangan internasional saat ini juga tidak menggunakan hukuman mati.
Keempat, hukuman mati tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan dan menimbulkan penderitaan, serta penyiksaan terhadap terpidana mati. Hukuman mati juga tidak akan efektif karena belum ada upaya luar biasa dari pemerintah untuk mempersempit pasar Narkoba. Hukuman mati tidak hanya melanggar HAM, tetapi juga menimbulkan banyak penderitaan dan penyiksaan terhadap pelaku kejahatan. Hukuman mati harus ditolak, karena hanya menjadi jalan pintas pemerintah untuk menyelesaikan persoalan.
Kelima, dalam acara media briefing dengan tema “Akademisi Menolak Hukuman Mati” diselenggarakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta (7/3/2015), Haris Azhar menilai, dalam hukuman mati, tubuh terpidana dijadikan sarana untuk memperlihatkan otoritas penguasa kepada publik, dan hukuman mati yang diterapkan di Indonesia merupakan kemunduran bagi tatanan hukum. Menurut aktivis Kontras ini, penghentian kejahatan melalui hukuman mati yang diterapkan adalah salah satu bentuk kekerasan paling purba yang diresmikan oleh negara. Eksekusi mati eksesif yang diinisiasi oleh Presiden membawa adab hukum di Indonesia kembali ke arah keterbelakangan. Penolakan grasi Presiden hanya melihat survei-survei bahaya narkoba yang tidak jelas, sehingga pihaknya menilai ada yang keliru dalam eksekusi mati. Hukuman mati merupakan pelarian dan jalan pintas untuk mengelak dari tanggung jawab.
Keenam, eksekusi mati yang dilakukan terhadap terpidana narkoba merupakan suatu kegagalan pemerintah dalam menanggulangi bisnis Narkoba di Indonesia. Pemerintah hanya menindak kepada kurirnya saja sebagai penyelamatan terhadap gembong dan mafia sebenarnya. Indonesia sebagai negara beradab, tetapi masih menggunakan hukuman mati yang merupakan hukum zaman kolonial. Jika ini tetap dilakukan, maka ke depan akan banyak orang yang mati. Negara dengan serius melakukan perampasan hak hidup seseorang ketika terpidana sakit jiwa dihukum mati. Banyak tahanan yang sudah menjalani masa lebih dari 10 tahun, jika dipaksakan itu melanggar prinsip hukum pidana dan hukum kemanusiaan.
Menurut catatan penulis ada beberapa NGO yang menolak hukuman mati bagi pembuat dan pengedar Narkoba yaitu Human Right Working Group (HRWG), Imparsial, Setara Institute, LBH Masyarakat, Institute for Criminal Justice Reform/ICJR, Indonesian Legal Resource Center, dan Elsam.
Sementara itu, kelompok yang pro penerapan hukuman mati bagi pembuat, gembong dan mafia Narkoba mempunyai alasan bahwa yang penting terkait permasalahan narkoba adalah bagaimana menanggulangi efeknya terhadap psikologis, kesehatan, sosial dan kejiwaan masyarakat. Kebijakan Presiden Jokowi terkait eksekusi mati adalah hak prerogatif sebagai kedaulatan negara dan karena Indonesia negara hukum maka hukum harus dikedepankan. Pemerintahan Jokowi-JK telah melakukan terobosan dalam memberantas peredaran narkoba secara komprehensif. Meminta pemerintah tidak terjebak demokrasi standar ganda dan HAM yang paradoksial. Eksekusi mati adalah masalah hukum, untuk itu Pemerintahan Jokowi-JK tidak terpengaruh intervensi politik negara lain.
Menurut penulis, untuk menciptakan adanya kepastian hukum terkait eksekusi mati terhadap terpidana tindak pidana serius (serious crime) dan extra ordinary crime seperti gembong narkoba, teroris dll, maka harus ada ketegasan dari pemerintah, khusus upaya terkait pelemahan dan penolakan terhadap eksekusi hukuman mati. Sebab, apabila ada pengecualian terhadap terpidana mati, maka kondisi tersebut dapat memancing reaksi dari berbagai pihak di dalam negeri maupun manca negara.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus didukung untuk teguh dan berani terus melaksanakan hukuman mati terhadap pengedar, pembuat dan jaringan narkoba, karena memang kebijakan “no excuse for drug dealers” yang diterapkan Jokowi-JK harus didukung sepenuhnya.
Menurut penulis, sebenarnya hukuman mati diberlakukan di Indonesia bukan karena untuk menyanggah popularitas, karena sekarang ini duet pemerintahan baru Indonesia dibawah Jokowi-JK memiliki niat untuk menegakkan supremasi dan kedaulatan hukum di Indonesia.
Pemerintah Indonesia konsisten menerapkan hukuman mati, karena Indonesia sudah masuk darurat narkoba, setidaknya karena 33 orang tewas akibat narkoba setiap hari, 200 pabrik Narkoba didirikan di Indonesia, serta kerugian material yang sangat banyak akibat Narkoba. Bahkan, dalam perspektif strategis, sebenarnya Narkoba merupakan alat “infiltrasi’ untuk merusak masa depan generasi muda bangsa. Ini yang dilupakan mereka yang menolak hukuman mati di Indonesia.
Last but not least, adanya pendapat yang menyatakan hukuman mati tidak dilaksanakan di negara lain adalah pendapat yang patut dinilai kembali kebenaranya, karena Amerika Serikat yang merupakan “dedengkot demokrasi” juga menerapkan hukuman mati, terbukti Lester Bower yang kini berusia 67 tahun, disuntik mati di Huntsville pada Rabu (3/6/2015) sekitar pukul 18.38 waktu setempat Selama ini, napi tersebut sudah dijadwalkan tujuh kali eksekusi mati namun selalu ditunda pada menit terakhir. Bower divonis bersalah atas pembunuhan empat pria di hangar pesawat di Grayson County, Texas pada tahun 1983 lalu. Jaksa menyebut, Bower membunuh keempat pria tersebut setelah mencuri pesawat dari salah satu korbannya. Bower merupakan narapidana mati AS ke-15 yang dieksekusi mati tahun ini. Delapan terpidana mati lainnya yang juga dieksekusi mati tahun ini berasal dari Texas.
Australia misalnya memang “sempat kesel” sama Indonesia pasca eksekusi mati Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dalam kasus Narkoba, dimana Australia menarik Dubesnya di Indonesia, namun tidak lama karena kurang dari 1 bulan setelah eksekusi mati terhadap warganya, maka Australia kembali menempatkan Dubesnya. Mungkin Australia menyadari bahwa kebijakan eksekusi mati adalah hak pemerintah Indonesia dalam melindungi warganya dari ancaman Narkoba yang sudah menggila. Semoga.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com