Dina Y. Sulaeman, alumnus magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
Meski secara de facto upaya para pemberontak telah gagal menggulingkan Bashar Assad, namun konflik di Syria masih belum reda. Negara-negara Barat, Turki, dan Arab (Saudi, Qatar, Emirat, Libya) yang selama ini mendukung kelompok pemberontak (mulai dari dana, senjata, dan bahkan mengirim pasukan untuk membantu kelompok pemberontak), masih terus melancarkan upaya-upaya untuk menghalangi proses stabilisasi di Syria.
Kebenaran di Syria satu persatu mulai terungkap (antara lain, pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh AS dan sekutunya dengan mengirim pasukan dan senjata secara illegal ke Syria; laporan-laporan dari media Barat sendiri tentang aksi brutal para pemberontak dalam membunuhi orang-orang pro Assad), namun AS dan sekutunya tetap tak mau berhenti mengganggu Syria.
Kabar terakhir menyebutkan bahwa empat senator AS, salah satunya John McCain, menyerukan agar AS memberikan bantuan senjata kepada pemberontak Syria. Obama dan PM Turki, Erdogan, juga diberitakan telah bertemu untuk membahas pemberian bantuan peralatan kepada para pemberontak.
Saya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang hipokritas Barat dan betapa media Barat telah berhasil menipu banyak orang, melakukan pembunuhan karakter terhadap Assad, bahkan sampai-sampai ada orang Indonesia yang menggalang dana untuk ‘korban’ Assad. Saya ingin menyoroti masalah ‘bantuan internasional’ dari sisi kajian Hubungan Internasional.
Pertanyaannya, bila di sebuah negara, katakanlah Syria, benar-benar terjadi kejahatan kemanusiaan; katakanlah Assad memang benar-benar membunuh 7000 atau 9000 rakyatnya (sungguh fantastis, dan anehnya ada saja yang percaya mati pada angka ini meski sudah disodori berbagai berita pengimbang), sejauh mana negara asing boleh melakukan intervensi: mengirim bantuan senjata?
Dalam kajian Hubungan Internasional, ada yang disebut ‘Humanitarian Intervention’ atau intervensi kemanusiaan. Menariknya, aktris cantik Angelina Jolie kini sudah direkrut oleh PBB untuk menjadi ‘juru bicara’ bagi doktrin ini. Mungkin, jika Jolie yang angkat bicara, kata ‘humanitarian intervention’ jadi terdengar lebih seksi dan lebih manusiawi. Dalam wawancaranya dengan AlJazeera, Jolie menyatakan dukungannya bagi humanitarian intervention di Syria.
Memang, kata humanitarian intervention –apalagi bila keluar dari bibir Jolie yang seksi, seolah terdengar mulia. Namun sesungguhnya humanitarian intervention adalah serangan militer. Intervensi kemanusiaan berbeda dengan ‘bantuan kemanusiaan’ yang biasa dilakukan negara-negara saat mengirim obat atau uang ke negara-negara yang tertimpa bencana. Humanitarian intervention adalah serangan militer yang dianggap ‘layak’ untuk dilakukan sebuah negara terhadap negara lain dengan alasan kemanusiaan.
Contoh konkritnya, NATO dianggap boleh mneyerang Libya dan menggulingkan Qaddafi karena konon Qaddafi adalah diktator yang menyengsarakan rakyatnya. Kini, banyak pihak yang menyerukan serangan militer AS dan NATO ke Syria dengan alasan Assad sudah membunuhi ribuan rakyatnya.
Dalam kajian Hubungan Internasional dan Hukum Internasional, legalitas humanitarian intervention masih jadi perdebatan. Sebab utamanya ada di doktrin ‘kedaulatan negara’. Negara dianggap sebagai entitas yang berdaulat sehingga berhak penuh dalam mengendalikan rakyat, menetapkan hukum, dan mengamankan wilayahnya. Bila doktrin kedaulatan negara ini diterima (dan kenyataannya, semua negara di dunia ini menyatakan menerima doktrin ini), artinya, tidak ada negara yang berhak melakukan intervensi terhadap sebuah negara lain, apapun alasannya. Aturan PBB pun juga menyatakan bahwa sebuah negara tidak boleh melakukan serangan militer terhadap negara lain, kecuali bila ada izin dari Dewan Keamanan PBB.
Namun masalahnya, izin dari DK PBB pun sangat bergantung pada kepentingan negara-negara pemegang veto. Dalam kasus Irak, DK PBB sama sekali tidak memberikan izin, namun AS dan sekutunya tetap menyerang Irak. Dalam kasus Libya, DK PBB memang memberikan izin untuk ‘melakukan segala hal yang dianggap perlu demi melindungi rakyat sipil Libya’. Saat itu, Rusia dan China abstain. Dalam kasus Syria, Rusia dan China menggunakan hak vetonya dan menolak dilancarkannya serangan militer atas nama PBB ke Syria.
Bila kita melihat pada sejarah munculnya doktrin humanitarian intervention, akan terlihat bahwa sejak awal memang doktrin ini dibuat untuk mengakomodasi kepentingan Barat. Kochler (Humanitarian Intervention in the Context of Modern Power Politics, 2000), menulis bahwa doktrin humanitarian intervention pertama kali dikemukakan pada tahun 1800-an oleh Eropa dalam menghadapi Imperium Turki. Menurut Kochler, salah satu kriteria utama dalam menjustifikasi humanitarian intervention adalah ‘ketidakadilan dan kekejaman’ yang menyinggung moral Kristen dan peradaban Eropa. Atas kriteria itulah Eropa merasa berhak untuk melakukan serangan militer ke wilayah-wilayah yang dikuasi Turki, yaitu Yunani (1826), Syria (1860), Armenia (1896), dll.
Lebih lanjut Kochler mengungkapkan bahwa realitas di balik doktrin humanitarian intervention sesungguhnya adalah agenda kolonialisme Eropa terhadap Imperium Ottoman. Ketika mereka menyerang Turki dengan alasan kemanusiaan, yang sesungguhnya terjadi malah pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan, dan perlakuan brutal terhadap orang-orang muslim yang mereka anggap sebagai kaum barbar. Kochler menyatakan, “Prinsip kemanusiaan didefinisikan berdasarkan dogma relijius yang parameternya adalah agama Kristen.”
Di era modern, lanjut Kochler, arogansi Eropa yang menganggap dirinya sebagai pihak yang berahak melancarkan perang atas nama kemanusiaan (jus ad bellum), diwakili oleh PBB. PBB kini dianggap sebagai badan yang berhak ‘memoderatori’ perang atas nama kemanusiaan. Masalahnya, pengambilan keputusan di DK PBB sangat bergantung kepentingan negara-negara adidaya. Itulah sebabnya, serangan militer terhadap Israel yang sudah jelas-jelas melakukan kejahatan kemanusiaan di Palestina tidak dilakukan; serangan militer atau bahkan kecaman pun tidak dilakukan kepada Bahrain yang jelas-jelas represif terhadap rakyatnya. Sebaliknya, serangan terhadap Irak dan Libya yang kaya minyak, dianggap legal karena ‘demi menyelamatkan rakyat Irak dan Libya’.
Praktik-praktik doktrin humanitarian intervention di era modern ini menunjukkan bahwa doktrin ini masih tetap seperti semula: penuh kemunafikan.
Argumen lain yang menunjukkan kemunafikan doktrin ini adalah penggunaan strategi perang yang dilakukan negara-negara adidaya. Meskipun dibungkus label ‘kemanusiaan’, nyatanya mereka tetap menggunakan bom yang dijatuhkan dari pesawat. Bom, adalah senjata pembunuh massal yang tidak memiliki mata. Ia akan menghancurkan siapa saja dan apa saja. Dalam kasus Libya, meski atas izin PBB dan meski atas nama kemanusiaan, NATO justru telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Itulah sebabnya, kini ada gerakan untuk mengajukan NATO ke Pengadilan Penjahat Perang Internasional dengan tuduhan melakukan intervensi terhadap sebuah negara berdaulat, melakukan serangan dan pengeboman terhadap kota-kota, desa, menghancurkan gedung-gedung, dan membunuh rakyat sipil yang tidak bisa dijustifikasi sebagai kepentingan militer (berdasarkan The Hague International Penal Court semua perilaku NATO ini sudah cukup alasan untuk divonis sebagai penjahat perang).
Kembali kepada Angelina Jolie, apapun justifikasi yang diberikannya dalam mendukung humanitarian intervention, sesungguhnya semua itu hanya eufemisme belaka. Humanitarian intervention sesungguhnya adalah perang, tidak lebih. Libya sudah pernah menjadi korbannya. Negara yang awalnya salah satu yang terkaya di Afrika itu kini hancur dan jatuh miskin setelah dibombardir NATO. Sama sekali tidak ada sisi ‘kemanusiaan’ dalam perang ini, yang ada hanya kehancuran bagi rakyat Libya. Keuntungan terbesar didapatkan oleh negara-negara sponsor perang, mulai dari konsesi minyak hingga debitor baru (Libya terpaksa berhutang banyak pada Barat untuk rekonstruksi negaranya).
Apakah kini dunia akan membiarkan nasib yang sama menimpa Syria?
(Tulisan ini sudah dimuat di website IRIB Indonesia)