Antara Esemka, Daya Tawar dan Kepentingan Nasional

Bagikan artikel ini

Telaah Kecil Geopolitik

Terlepas pro kontra selama ini, hakiki peluncuran ESEMKA ke publik —secara geopolitik— adalah “kontra skema” atas (skema) MONOPOLI Jepang dan beberapa negara lain terkait dunia/market outomotif di Indonesia. Bukankah monopoli itu kejahatan tertua yang membidani dua ideologi besar (kapitalis dan komunis) di muka bumi?

Geoekonomi memberi isyarat, bahwa Indonesia itu pasar menggiurkan bagi apapun produk-produk outomotif. Hampir semua jenis outomotif terutama made in Jepang dilahab oleh pasar “hedonis” Indonesia. Jadi, inti hipotesanya: “Mengapa negara dan/atau anak bangsa tidak mengambil-alih pasar dimaksud dari tangan asing di pasar negerinya sendiri?” Itulah prolog narasi sekaligus ide dalam telaah kecil ini.

Idealnya, segenap anak bangsa mendukung sepenuhnya momen tersebut karena peluncuran ESEMKA terkait dengan Kepentingan Nasional RI (KENARI). Dan seyogianya pula, Doktrin KENARI yang perlu digebyarkan ialah, jika terkait KENARI maka segenap komponen bangsa mutlak wajib satu kata, satu langkah dan tindakan. Tak boleh beragam warna, tidak berbeda suara. Tetapi, apakah KENARI itu sendiri sudah dirumuskan serta diundangkan oleh negara cq elit penguasa saat ini? Permasalahan muncul ketika timbul pertanyaan selidik, “ESEMKA itu produk swasta atau negara cq BUMN; atau, jika kelak ESEMKA mampu menggeser dominasi Jepang di pasar outomotif, siapa yang paling diuntungkan?”

Saya bicara dalam lingkup konsesi sejarah, artinya, telaah ini tidak membahas mekanisme produksi barang secara supply chain sebagaimana produk-produk industri lainnya. Dengan demikian, di sini, jangan persoalkan lagi bahwa ada ChaNgan di sana, misalnya, atau ada jejak Volvo di ESEMKA dan seterusnya. Kenapa? Karena hakiki supply chain hampir merupakan ruh dari mekanisme industri apapun, dimanapun.

Dari perspektif geopolitik, Indonesia itu selain sexy, dahsyat, juga “mengerikan” di mata global karena faktor demografi, sumber raw material, tempat putar ulang kapital, lintasan sealane of communication/SLOC, geoposisi silang dan lain-lain, termasuk dalam hal prestasi. Dianggap mengerikan, contohnya, bila Indonesia menutup semua selat-selat strategisnya untuk semua pelayaran, apa tidak heboh dunia? Karena hampir 50% pelayaran global (SLOC) melintasi perairan kita. Untuk prestasi, misalnya, jangankan produksi mobil, zaman Pak Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi RI, pesawat terbang (CN-250) pun diproduksi oleh Indonesia. Konon, ia satu-satunya pesawat dengan mesin turboprop di dunia. Pertanyaannya, lebih bergengsi mana, produksi mobil atau pesawat terbang? Retorika ini tak perlu dijawab agar tulisan ini bisa dilanjutkan.

Pertanyaan menggelitik muncul, “Kenapa tatkala Habibie menjadi Presiden RI ke-3 (Mei 1998 – Oktober 1999) justru produksi CN-250 tidak dilanjutkan?”

Menurut uraian almarhum di sebuah sesi, faktor utama ialah tekanan Internasional cq IMF sehingga beliau melunak. Sebagai kompensasi atas lunaknya Habibie, IMF pun memberi “hadiah” berupa penguatan rupiah dari Rp 15.000,00 per US Dollar menjadi Rp 6.500,00 per Dollar. Dan demi rakyat, Habibie memilih menghentikan mimpinya memproduksi CN-250 daripada rupiah terus melemah yang bisa membuat beberapa industri gulung tikar dan pengangguran merebak. Apa boleh buat. Meski ada analisa lain bahwa menguatnya rupiah terhadap US Dollar sebenarnya “ditukar” dengan lepasnya Timor Timur dari pangkuan NKRI. Analisa tersebut sah-sah saja. Kenapa? Karena hingga saat ini, tidak ada satu pun teori yang mampu menjelaskan faktor-faktor pendukung kenapa rupiah menguat terhadap dolar di era Habibie.

Demikian. Terima kasih.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com