Antara Musim Dingin, Gas, dan Musim Undur Diri

Bagikan artikel ini
Cerpen Geopolitik dan Geospiritual
Tidak dapat dibayangkan, bila kebocoran jaringan pipa gas Nord Stream 1 dan 2 dari Rusia-Jerman (akibat sabotase?) tidak segera diperbaiki, apakah yang akan terjadi saat musim dingin pada Desember 2022 – Februari 2023 nanti di Benua Biru?
Ketika perbaikan pipa Nord Stream memakan waktu berbulan-bulan bahkan setahun, maka menguat prediksi bahwa Uni Eropa (UE) bakal mengalami krisis energi sangat parah. Pun kalau ada pasokan alternatif dari Amerika Serikat (AS) misalnya, atau dari Norway, Qatar dan lainnya, sudah tentu harga berkali-lipat. Supply and demand berjalan pasti. Dan berapa pun harga dijual pasti dibeli, kenapa? Sebab, tanpa gas di musim dingin Eropa bisa membeku, iso sak wong-wong e.
Dampak yang boleh diprakirakan, akan ada prioritas kebutuhan dalam penggunaan gas. Sudah barang tentu, kebutuhan rumah tangga akan lebih diprioritaskan ketimbang lainnya termasuk kebutuhan gas untuk industri yang menyerap banyak porsi. Konsekuensi atas dampak dimaksud, perekonomian UE akan jatuh bahkan mengalami stagflasi. Ini tidak dapat dibendung. Inflasi dan kontraksi terjadi secara bersamaan. Ekonomi anjlok lalu pengangguran merebak. Kriminalitas pun meningkat.
Apa yang akan terjadi di Benua Biru?
Fenomena yang kemungkinan muncul, banyak Perdana Menteri (PM) mengundurkan diri karena tidak sanggup mengatasi krisis energi di negaranya. Dan krisis energi kelak mirip snowball process. Meluas kemana-mana serta berujung pada krisis kepercayaan. Rakyat turun di jalan-jalan menggugat kinerja elit kekuasaan.
Gilirannya, fenomena undur diri pejabat dan elit kekuasaan bakal merebak di UE. Hal ini mengulang peristiwa pada bulan Juni-Juli 2022 lalu, dimana empat PM mengundurkan diri akibat krisis. Antara lain PM Bulgaria, Kiril Petkov (senin, 27/6); PM Estonia Kaja Kallas (Kamis, 15/7); PM Inggris, Boris Johnson (Kamis, 8/7), dan PM Italia, Mario Draghi (Kamis, 21/7).
Lantas, bagaimana perspektif geospiritual melihat fenomena di UE?
Nah, sesuai clue pada tulisan ini, kini giliran geospiritual mengurai serta melanjutkan cerita pendek (cerpen) di atas.
Singkat kata, geospiritual mengajarkan, bahwa tahun 1444 Hijriyah artinya ‘mati’. Ada tiga pemaknaan ‘mati’ di sini, antara lain:
Pertama, secara letterlijk — banyak orang mati sia-sia di tahun ini. Entah sebab apa. Entah karena azab, durhaka, musibah, ruh, ataupun karena lalai/alpa, dan lain-lain;
Kedua, banyak orang mati pikir, mati karir, dan/atau ‘mati-mati’ lainnya;
Ketiga, mati dalam makna ‘kumpul’. Ya, bila ada yang mati lazimnya orang berkumpul. Entah keluarga, kawan ataupun sanak saudara lain guna mendoa bagi si almarhum, ataupun menghibur keluarga yang ditinggalkan.
Nah, makna kumpul yang lebih strategis dalam cerpen ini bisa berujud membentuk koalisi (partai) misalnya, atau membuat pakta pertahanan, sinergi, musyawarah mufakat — intinya mencari jalan terbaik.
Sekarang kita preteli siji-siji (urai satu persatu) terkait perspektif ‘mati’ pada judul cerpen ini.
Mati dalam arti letterlijk telah banyak contoh. Korban banjir bandang di Pakistan misalnya, atau korban akibat dahsyatnya berbagai badai yang kini menerjang beberapa Negara Bagian di AS, korban konflik Ukraina, dan kemarin (mohon maaf) di Kanjuruan, Malang, korban massal akibat sepakbola.
Makna ‘mati’ lainnya, selain banyak orang mati pikir kemudian gelap mata, tanpa manajemen hati yang baik bisa membuat orang mati karir. Untuk isu lokal, contohnya, pembunuhan Brigadir J oleh FS di Duren Tiga, Jakarta, bisa dijadikan contoh secara berurutan: berawal FS mati pikir (gelap mata) – gilirannya ia mati karir (dipecat) – dan berujung mati penghasilan; sedang contoh di level global juga tak sedikit. Para elit kekuasaan di UE misalnya, sudah tahu bahwa negaranya punya ketergantungan atas gas dan gandum dari Rusia kok ikut – ikutan memblokade ekspor Rusia.
Perang sanksi antara Rusia versus Barat adalah contoh mati pikir bagi perumus kebijakan di UE. Tak mampu berpikir cerdas. Sebab, para elit sepertinya hanyut oleh propaganda AS dalam konflik Ukraina. Dampaknya jelas, tidak sedikit para elit UE dianggap mati karir oleh para pendukungnya karena merumus kebijakan blunder bagi bangsa dan negaranya. Sanksi kepada Rusia justru menghantam diri sendiri. Jelang musim dingin, UE justru menuju krisis energi.
Mati yang ketiga bermakna berkumpul alias musyawarah mufakat untuk sesuatu yang lebih baik. Bisa jadi, para elit di jajaran UE nantinya mampu menarik hikmah atas krisis energi di Benua Biru, bahwa common enemy (musuh bersama) UE bukanlah Rusia, tetapi AS sebagai biang kerok krisis selama ini. Apalagi jika nanti terungkap, bahwa pelaku sabotase jaringan pipa Nord Stream 1 dan 2 di Laut Baltik adalah ulah geostrategi Paman Sam dalam rangka menciptakan ketergantungan UE terhadap gas AS.
Ya. Control oil and you control nation, control food and you control the nations (Henry Kissinger). Dan oil = energi, salah satunya adalah gas. Itu kredo geostrategi yang selama ini dijalankan oleh AS di panggung geopolitik global.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com