Post-truth adalah era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Frasa ini —post truth— sebenarnya sudah digunakan sejak 1990-an yang dipopulerkan oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Termasuk Ralph Keyes, dalam buku The Post-Truth Era (2004), ia membuat istilah truthiness, yaitu sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali.
Kemudian Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman Raya di era Hitler berkuasa dulu. Goebbels mengajarkan ‘dogma’ melalui taktik propaganda: “Tebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik, maka kebohongan yang berulang akan dianggap sebagai kebenaran”. Itu poin pokoknya.
Selanjutnya Jean Baudrillard memperkenalkan konsepsi Simulakra sebagai era. Hari ini, kata Baudrillard, kita hidup dalam era simulakra. Era dimana batas antara realitas dan citra telah melebur. Bahkan citra sudah berubah menjadi realitas itu sendiri. Baudrillard menyebutnya hyper-reality atau realitas semu. Pilihan-pilihan hidup kita sangat dipengaruhi oleh realitas semu ini, kata Milan Kundera, yang diciptakan oleh agen-agen periklanan, manajer kampanye politik, atau desainer yang merancang semu bentuk mulai dari mobil hingga alat olahraga, contohnya, saat saya membeli baju bermerek A tiba-tiba saya merasa hebat. Padahal, apakah kehebatan ditentukan oleh merek baju? Tetapi, ketika citra telah mengepung saya — saya percaya dan yakin bahwa merek A membuat saya lebih hebat daripada memakai baju obralan.
Inilah fase simulakra: ‘Citra yang membentuk realitas, bahkan citra telah menjadi realitas itu sendiri’.
Tatkala penduduk dunia sedemikian terasuki oleh citra serta tak sanggup lagi membedakan mana citra, mana realitas, tak heran bila pencitraan pun menjadi industri tersendiri. Kemudian demokrasi pun menjadi industri tersendiri, bahkan demokrasi berubah menjadi ajang industri pencitraan.
Perusahaan-perusahaan konsultan politik mendesain citra para politisi agar sesuai dengan selera publik. Dan pada saat yang sama, publik yang telah hidup di alam simulakra cenderung memberikan suaranya kepada citra si kandidat, bukan realitas si kandidat. Akhirnya, demokrasi pun dianggap sebagai bentuk aktivitas pencitraan, bukan lagi kegiatan adiluhung untuk mencari negarawan terbaik bagi sebuah bangsa.
Dalam sistem demokrasi kita, kekuasaan bisa dicapai hanya melalui suara terbanyak. Maka untuk berkuasa, yang harus dilakukan adalah membentuk citra tertentu yang disukai publik. Tak ada gunanya ideologi, kata Kundera, pencitraan lebih kuat dari realitas dan lebih berkuasa daripada ideologi.
Jauh sebelum dogma Goebbels di atas contohnya, atau teori Tesich, Keyes dan Baudrillard — leluhur nusantara dahulu telah memperkenalkan era post-truth namun dengan istilah era kalabendu.
Jayabaya meramal bahwa akan datang zaman kalabendu. Selanjutnya pujangga besar Jawa Ranggawarsita pada pertengahan abad ke-19 menafsirkan serta menggambarkan ramalan Jayabaya ialah masa pancaroba yang meliputi era kalitada dan zaman kalabendu.
Mengapa disebut era kalitada, oleh karena akal sehat diremehkan. Benar salah, baik buruk, adil dan tidak adil — diabaikan. Ketika timbul krisis moral sejatinya adalah buah dari krisis akal sehat itu sendiri. Korupsi dilakukan secara berjamaah disebabkan erosi tata nilai telah menyebar nyaris di semua lapisan sosial.
Kenapa juga dinamai era kalabendu? Sebab, di atas permukaan terlihat stabil dan terkendali namun di bawah permukaan bergolak senyap. Mirip api dalam sekam. Kenapa? Karena alat stabilitas adalah penindasan. “Stabilitas semu”. Banyak ulama mengkhianati kitab suci, dipelihara; sedang ulama suci dijauhi. Korupsi seperti dilindungi; kemewahan dipamerkan; bajingan justru dikasih jabatan; orang jujur ditertawakan dan lain-lain.
Inilah zaman edan, kata Ranggawarsita, sebab akal sehat diremehkan sehingga rusaknya tata nilai dan kebenaran dijungkir-balikkan. Menurutnya, setelah usai zaman kalitada dan kalabendu nanti akan muncul era kalasuba, yakni zaman stabilitas dan kemakmuran.
Hal-hal apakah yang dianjurkan Ranggawarsita agar selamat di era kalitada? Tak lain, eling dan waspada. Selalu ingat dan sadar. Tidak ikut situasi serta tak larut dalam permainan edan (gila). Selanjutnya, jika ingin selamat di zaman kalabendu hingga tiba di zaman kalasuba maka syaratnya kudu sabar, prihatin, tawakal dan selalu di jalan Tuhannya. Tak lama lagi akan tiba zaman kalasuba yang ditegakkan oleh Satria Piningit misalnya, atau Ratu Adil, dan berbagai sebutan lain sesuai masanya.
Bahwa urutan zaman kalitada, kalabendu dan era kalasuba tidak hanya terjadi pada kerajaan Surakarta di abad ke-19 saja, tetapi berlangsung juga di belahan dunia lain. Di Romawi Kuno misalnya, atau di Spanyol, di Portugal, Italia, India, Irak, Rusia, Cina, dan lain-lain, dimanapun, kapanpun, hanya aktor dan kemasan berbeda. Inilah yang disebut wolak-walik e zaman. Timbul – tenggelamnya era alias pergolakan zaman.
Di balik kesusahan ada kemudahan. Di dalam teori konflik modern, setiap chaos (kekacauan) tersimpan kemampuan untuk muncul order (ketertiban). Dan kemampuan dimaksud tidak tergantung dari unsur luar, justru dari dalam. Makanya dalam filosofi Jawa, munculnya Satria Piningit kelak justru berasal dari kalangan internal, bukan dropping ataupun tidak karena rekayasa eksternal. Camkan. Dan dia, entah Ratu Adil, atau Satria Piningit bukan lahir dari rekayasa manusia, namun ditakdirkan ‘ada’ begitu saja.
Kembali ke judul. Jadi, antara post truth, era simulakra dan zaman edan, selain era yang berulang, juga satu tarikan napas!
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments