Sumbang Saran GFI untuk Kemlu Terkait KTT G-20 November 2022

Bagikan artikel ini

Pada hari Selasa (13/09), tim kajian strategis Global Future Institute (GFI) mengadakan brainstorming dengan dua pejabat Kementerian Luar Negeri sehubungan dengan semakin dekatnya Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Bali, November 2022 mendatang. Dalam zoom meeting tersebut dari GFI hadir Hendrajit, Rusman, Korie Soenarko dan Nesya Aulia. Adapun dari pihak Kemlu hadir Bapak Rio Budi Rahmanto, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Multilateral dan Bapak Dhani Eko Wibowo, Fungsional Diplomat Ahli Madya. 

Berikut rincian 9 poin pokok-pokok dan pikiran dan gagasan GFI sebagai masukan kepada Kementerian Luar Negeri terkait peran keketuaan Indonesia dalam KTT G-20 November mendatang:

 

  1. Dengan menyadari peran kepemimpinan Indonesia dalam KTT G-20 di Bali November 2022 mendatang serta mengingat semakin menajamnya konflik global antar negara-negara adikuasa dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dan negara-negara bersama-sama dengan negara-negara sedang berkembang yang tergabung dalam G-20, harus berperan proaktif di dunia internasional untuk mengatasi krisis internasional yang berlangsung saat ini, dengan diilhami oleh dan berpedoman pada, peran kepeloporan para kepala negara/pemerintahan negara-negara Asia-Afrika pada KAA Bandung 1955, maupun Gerakan Nonblok di Beograd pada 1961.
  2. Sehubungan dengan peran kepemimpinan Indonesia pada KTT G-20 November 2022 mendatang, maka skema KAA Bandung 1955 maupun Skema Gerakan Nonblok Beograd 1961, perlu diaktifkan kembali mengingat semangat yang terkandung di dalam Dasa Sila Bandung maupun komunike bersama negara-negara sedang berkembang yang tergabung dalam Gerakan Nonblok, bahwa untuk merespons menajamnya persaingan antara dua kutub negara-negara adikuasa, perlu adanya kontra skema yang pada perkembangannya telah menawarkan sebuah gagasan alternatif di luar dua kutub yang sedang bertarung saat itu.
  3. Negara-negara di kawasan Asia-Pasifik termasuk Indonesia yang berada di kawasan Asia Tenggara, menyadari betul betapa gawatnya konstelasi geopolitik kawasan Asia-Pasifik jika AS dan NATO memaksakan pengerahan armada militernya ke Samudra Hindia dan Samudra Pasifik untuk menghadapi Cina, sehingga pada perkembangannya bisa memicu kembali Perang Dingin seperti pada era 1950-an hingga akhir 1980an. Bahkan lebih buruk lagi, memicu meletusnya perang dunia berskala terbatas.
  4. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara pelopor Gerakan Nonblok yang dicetuskan di Beograd, Yugoslavia pada 1961, sudah sepantasnya mendukung inisiatif Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa untuk menghidupkan kembali Gerakan Nonblok. Mengingat pentingnya negara-negara sedang berkembang (developing countries) untuk tidak terseret ke dalam pusaran Proxy War dan persaingan global antara Amerika Serikat-NATO vs Rusia dan Cina. Sehingga negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dapat menghindarkan diri agar  tidak larut masuk dalam persekutuan militer bersama AS dan NATO maupun Cina dan Rusia.
  5. Prakarsa untuk menghidupkan kembali Gerakan Nonblok melalui momentum KTT G-20 di Bali November 2022 mendatang, sangat penting dan stratgis mengingat pertimbangan bahwa sebagai negara-negara yang kerap disebut negara-negara blok Selatan/Global South maupun sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat, sejatinya sejak era Perang Dingin hingga kini, secara tegas senantiasa menolak untuk diatur-atur atau dikendalikan oleh negara-negara adikuasa baik blok Barat maupun blok Timur.
  6. Gerakan Nonblok yang masuk kategori negara-negara yang sedang berkembang atau yang kerap disebut sebagai negara-negara Dunia Ketiga, berasal dari pelbagai  kawasan seperti Timur-Tengah, Afrika, Asia, dan Amerika Latin, kiranya sangat penting mempertimbangkan gagasan menghidupkan dan mengaktifkan kembali Gerakan Nonblok sebagai sesuatu yang tetap menarik dan relevan untuk merespon dinamika dan tantangan global yang tengah berlangsung selama ini.
  7. Maka itu, negara-negara yang sedang berkembang yang tergabung dalam Global South atau blok kerjasama negara-negara selatan-selatan, termasuk Indonesia, kiranya jauh lebih strategis dan menguntungkan untuk mengambil garis kebijakan  Nonblok.  Sehingga tetap menerapkan kebijakan luar negeri dan hubungan diplomatik yang terbuka baik terhadap blok Barat maupun Rusia dan Cina. Apalagi Indonesia sejak 1948 hingga kini masih tetap menganut azas Politik Luar Negeri Yang Bebas dan Aktif. Bebas Aktif atau Nonblok bukan berarti menganut paham netralisme, melainkan sebuah kebijakan yang pro aktif dan konstruktif untuk menciptakan perdamaian dunia dan tata dunia yang adil dan setara antar bangsa.
  8. Adanya tren global yang saat ini semakin mengarah pada kerjasama-kerjasama internasional yang bersifat multipolar dan semakin memudarnya pengkutuban tunggal atau unipolar yang dihegemoni oleh AS dan blok Barat,  semakin memanasnnya persaingan global antara AS vs Cina di pelbagai kawasan dunia, krisis global yang semakin meningkat di sektor pangan dan energi serta keuangan global akibat dari sepak-terjang AS dan negara-negara Barat selama ini, maka negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia saat ini semakin menemukan momentumnya yang tepat untuk menetapkan kembali tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran baru dalam rangka menghidupkan kembali Gerakan Nonblok.
  9. Kenyataan bahwa negara-negara sedang berkembang atau Dunia Ketiga yang tergabung dalam Gerakan Nonblok memiliki potensi besar baik dalam kepemilikan sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur-Tengah, saat ini mempunyai momentum sejarah untuk membentuk dirinya sebagai kutub kekuatan baru atau kekuatan alternatif berupa sebuah Asosiasi atau Perhimpunan Internasional.

Tim Kajian Strategis Global Future Institute (GFI)

  1. Hendrajit
  2. M Arief Pranoto
  3. Rusman
  4. Korie Soenarko
  5. Halim Hasibuan
  6. Nesya Aulia
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com