Menyingkap Cara Pandang AS dan Cina Dalam Menyikapi Situasi Genting Jelang dan Seusai G-30 September 1965 Melalui Bahasa

Bagikan artikel ini

 

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute

 

Kalau saya baca lagi beberapa dokumen baik yang sudah dirilis oleh pemerintah Amerika Serikat maupun pemerintah Cina terkait pergolakan politik menjelang dan sesudah meletusnya Gerakan G-30 September 1965, ada beberapa frase kalimat menarik yang secara tersirat menggambarkan cara pandang Washington dan Beijing maupun sikap dasarnya dalam melihat Indonesia menjelang dan sesudah pergolakan G-30 September 1965.

Kalau merujuk pada beberapa dokumen maupun arsip surat-surat pihak AS dan Inggris yang belakangan telah berhasil dinyatakan terbuk untuk publik, selalu menekankan adanya polarisasi antara komuniws versus “orang-orang kita” yang mereka istilahkan “Our Local Army Friend” namun tanpa memperjelas terdiri dari ragam ideologi apa saja yang masuk klasifikasi badan intelijen AS CIA maupun Gedung Putih sebagai “Our Local Army Friend.” Seakan menyiratkan bahwa pokoknya yang bersikap anti-komunis, apapun haluan politik dan ideologinya, berarti sekutu AS dan Inggris.

header img

 

 

Adapun pemerintah Cina maupun Partai Komunis Cina, juga tak kalah unik. Melalui dokumen maupun surat-menyurat antar para pejabat senior pemerintahan Cina, selalu mengedepankan frase Angkatan Darat sebagai “Representasi Kelompok Sayap Kanan”, dan “Pengikut Sukarno” untuk menggambarkan kelompok berhaluan nasionalis atau sosialis namun tetap berjiwa nasionalis, dan bukan agen-agen proksi Cina maupun Uni Soviet. Bahkan di kalangan perwira tinggi Angkatan Darat seperti Jenderal Ibrahim Adji, Panglima Kodam Siliwangi yang sejatinya seorang loyalis Sukarno, pada dasarnya berhaluan anti-komunis.

 

Klasifikasi pemerintah Cina/PKC ini Nampak jelas ketika mereka membuat laporan intelijen misalnya dengan mengatakan “”Di dalam tubuh PKI ada unsur-unsur Angkatan darat dan pengikut Sukarno. Atau sebaliknya. “Di dalam tubuh angkatan darat ada penyusupan dari kader-kader PKI dan Pengikut Sukarno.”

Meski secara kebahasaan terkesan sepele dan tidak penting, namun ini menggambarkan penyikapan dan cara pandang, maupun kebijakan strategis baik AS dan blok Barat maupun Cina dalam memandang dan merespons situasi genting yang penuh gejolak dan perkembangan yang begitu cepat dan tak terduga, menjelang maupun setelah meletusnya G-30 September 1965.

Dalam hal AS-Inggris, polarisasi antara komunis versus anti-komunis sebagai dasar penyusunan kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia, maka Nampak jelas agenda strategis AS adalah menggulingkan Sukarno sebagai titik simpul Fron Nasional anti-kolonialisme dan penaganut sosialisme ala Indonesia, sebagai sasaran strategis, dan menyingkirkan komunis sebagai sasaran antara.

Sedangkan frase yang digunakan pemerintah Cina/PKC dengan membedakan antara “Pengikut Sukarno” dan Komunis, maka hal itu menyiratkan bahwa Cina memandang kelompok-kelompok nasionalis non-komunis baik dari kalangan militer maupun sipil yang merupakan pengikut garis politik Sukarno, sejatinya hanya sekadar sekutu taktis.

Berarti, istilah pengikut Sukarno yang digunakan pemerintah Cina sebenarnya berkonotasi negatif yang menyiratkan suatu pesan: bahwa meskipun nasionalis anti-kolonial dan anti-imperialisme, namun dalam penyikapan ideologis pemerintah Cina/PKC, apa yang mereka sebut “para pengikut Sukarno” secara ideologis tetap merupakan musuh dalam jangka Panjang.

Menarik menyimak surat menteri luar negeri Cina, Marsekal Chen Yi, yang ditujukan kepada salah seorang pejabat tinggi pemerintah Cina, maupun kepada para pemimpin negara lain. Sempat menggambarkan Sukarno sebagai mediator sayap kanan dan sayap kiri.

Ini secara jelas menggambarkan bahwa Cina sedari awal memang lebih cenderung mencoba memperalat Sukarno daripada benar-benar memandang Presiden pertama RI tersebut sebagai sekutu ideologis terpercaya.

Maka sesuai alur piker dan pandangan Beijing yang memandang Sukarno dan para nasionalis anti-imperialisme sekadar sekutu taktis, maka tak heran jika  dalam salah satu surat Chen Yi pasca September 1965 yang bermuara pada kegagalan Gerakan 30 September 1965, sempat mengatakan:

“Mungkin lebih baik Sukarno digulingkan saja. Selama ini dia merupakan mediator sayap kanan dan sayap kiri. Namun sekarang situasi sudah berubah.”

Demikianlah sekelumit yang dapat saya sampaikan kali ini berkaitan dengan sebuah studi yang dilakukan oleh Taomo Zhou, seorang mahasiswa program doctor dari Universitas Cornell, melalui sebuah monograf berjudul “ Tiongkok dan Toshio bertajuk “G30S dan Asia, Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin.

Seusai menyelami dokumen-dokumen maupun surat-menyurat yang tersingkap dari monograf Taomo Zhou seperti saya gambarkan tadi, ada sebuah berita pikiran penting yang patut jadi renungan kita bersama. Betapa ketika akhirnya pemerintahan Sukarno yang bertumpu pada nasionalisme anti-imperialisme runtuh pada 1967 melalui peralihan kekuasaan secara bertahap dari sejak keluarnnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kemudian mencapai kulminasi pada Sidang MPRS 1967 menetapkan Suharto sebagai pejabat presiden, dalam tubuh barisan Sukarno ada banyak celah dan titik lemah yang akhirnya berhasil ditembus pihak musuh.

 

Presiden Indonesia Sukarno (kiri) sedang berbicara dengan Jenderal Suharto setelah sesi pembubaran komando Malaysia, 24 Agustus 1966, di Jakarta. Foto: PANASIA-FILES / AFP

 

Benar bahwa pemerintah Cina mengistilahkan “Para Pengikut Sukarno” untuk membedakannya secara ideologis dengan kelompok PKI yang memang sekutu strategis Cina. Namun ketika menggunakan frase “Pengikut Sukarno” tersebut disadari atau tidak oleh para pejabat tinggi Cina ketika menggunakan frase itu, sebenanya juga menggambarkan suatu kenyataan bahwa di dalam kubu Sukarno dari fron nasional anti-imperialisme, ternyata belum punya barisan ideologis yang solid.

Presiden Soekarno melantik Kabinet Dwikora yang disempurnakan (kabinet 100 menteri)

Muatan dari apa yang disebut Pengikut Sukarno itu, sebagian besar didominasi oleh para pengagum, simpatisan, pemuja, atau orang-orang yang berambisi kekuasaan namun tidak punya visi ideologis dan pemikiran yang strategis.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com