Antara Propaganda, Satria Piningit dan Nasib Polri

Bagikan artikel ini
**) Tanggapan terhadap opini Gde Siriana Yusuf, Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus) atas artikelnya di Tempo, yang berjudul: REKONSTRUKSI KASUS SAMBO DAN SUPRAPOWER DI KEPOLISIAN
Tragedi Duren Tiga (isu D3), Jaksel (8/7/2022), selain viral, melebar serta meluas kemana-mana, tampaknya juga ditumpangi serta dijadikan ‘titik balik’ oleh segelintir orang dan kelompok demi kepentingan tertentu. Ini yang terbaca. Entah titik baliknya seperti apa dan kepentingan macam mana, memang masih em je alias mak jlas (maksudnya: tidak jelas), tetapi bagi yang jeli melihat bahwa ‘kepentingan tertentu’ dimaksud sudah bisa diendus. Ini prolog tanggapan atas opini Gde Siriana Yusuf (selanjutnya ditulis inisial: GSY) di Tempo.
Tulisan GSY, sebenarnya seperti halnya opini Connie Rakahundi, ataupun opini Sutoyo A dan lain-lain. Sama saja. Pointers materi mereka hendak menggiring persepsi publik bahwa ‘isu D3, penyebab dan implikasi’-nya diakibatkan oleh sistem di Polri itu sendiri. Ini yang perlu digarisbawahi.
GSY menulis bahwa aktor berganti, tetapi sistem dan struktur tidak berubah. Jika demikian, cerita drama pembunuhan ini layak diberi judul Turn Back Cops yang hanya menyisakan kesedihan, tulis GSY di ujung ulasannya.
Celakanya, GSY menyamakan isu D3 dengan cerita polisi korup pada berbagai filem layar lebar di beberapa negara, misalnya, filem Zanjeer (1973) karya Bollywood yang dibintangi Amitabh Bachchan; atau Departed (2006) keluaran Hollywood yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Matt Damon; ataupun Taxi Driver (2021), drama Korea yang diambil dari kisah nyata tentang korban salah tangkap polisi.
Ulasan GSY cukup genit dan menghanyutkan publik seolah-olah benar, seakan-akan demikian adanya. Akan tetapi, jika dicermati secara insight dan inside — maka tercium bau propaganda liar seperti halnya opini Connie, atau ulasan Sutoyo dan lain-lain yang sudah beredar di publik.
Kontra opini guna menanggapi propaganda dimaksud sebenarnya simpel, contohnya begini:
1. Jangan membunuh tikus-tikus dengan cara membakar lumbung padi. Itu logical fallacy alias sesat pikir. Kenapa? Karena gak nyambung antara fakta-fakta/premis dan kesimpulan. Tikus yang merusak padi, tetapi lumbung yang dibakar. Big blunder. Selain kurang tepat, juga rugi banyak;
2. Pada isu D3 dan implikasi yang muncul di atas permukaan, bahwa segelintir anggota yang berbuat kesalahan dalam praktik tugas (oknum), tetapi struktur Polri yang dipersalahkan, dikritisi, perlu diubah/diganti agar tidak suprapower. Lho, yang super body itu Satgassus, lembaga nonstruktural. Kalau struktural Polri bertindak selalu berbasis undang-undang (UU), Perkap, dan diskresi kepolisian;
3. Memang terbaca, ada manuver pengalihan isu agar publik tidak fokus pada penanganan 340 KUHP. Publik digiring melalui opini bahwa isu D3 dan ‘satgasisme’ di tubuh Polri disebabkan oleh sistem dan struktur Polri dalam ketatanegaraan (di bawah langsung Presiden);
4. Jika struktur berubah di bawah Kemendagri misalnya, siapa berani menjamin tidak ada oknum dan tak memunculkan ‘satgasisme’ di Polri?
Bahwa sentral isu D3 kini tidak lagi menyoal teknis dan taktis dalam criminal justice system. Secara taktis, isu D3 sebenarnya sudah rampung. Tinggal pengiriman berkas perkara ke Jaksa, kemudian menunggu P21. Selesai.
Kondisi isu D3 sudah ditarik ke wilayah politik praktis. Dan situasi pun berubah drastis. Isu D3 kini berubah menjadi serangan untuk melemahkan soliditas internal di Polri, misalnya, atau mengakomodir kepentingan kelompok yang hendak men-downgrade kewenangan dan tugas Polri di masyarakat. Ini yang mutlak diwaspadai bersama.
Padahal, tanpa harus mengubah struktur Polri, ada cara lain yang lebih cepat dan praktis. Perubahan struktur, selain memakan tempo lama karena terkait dengan perubahan beberapa Tap MPR, UU, juga belum tentu tepat sasaran.
Mengatasi jebloknya public trust dan membangkitkan citra Polri dari titik nadir, seyogianya dilakukan dalam tempo sesingkat- singkatnya. Serahkan saja kepada ‘Satria Piningit’ di lingkungan internal karena oknum di balik D3 dan peristiwa rentetannya, tidak sampai satu persen saja dari jumlah keseluruhan anggota Polri. Sangat sedikit, tetapi kenapa struktur yang dikambing-hitamkan?
Adapun kriteria Satria Piningit dimaksud antara lain sebagai berikut:
Pertama, ia adalah sosok strong leader, high integrity, no compromise, wise dan berwawasan;
Kedua, memiliki track record tidak terlibat dan tak terindikasi dengan aktivitas ilegal/dunia kegelapan;
Ketiga, diberi deadline paling lama enam bulan untuk ‘bersih-bersih’ di Polri;
Keempat, ditunjuk dari angkatan paling senior di Polri saat ini agar tidak ada ewuh pekewuh;
Kelima, diangkat dan diberhentikan oleh Keputusan Presiden/Keppres;
Keenam, oleh karena bersifat extraordinary situation, maka persyaratan umur semestinya diabaikan.
Demikian adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com