Geopolitik Harga Minyak

Bagikan artikel ini
Ada tiga asumsi global terkait minyak dan geopolitik yang relevansinya masih valid hingga kini. Asumsi dimaksud antara lain:
Pertama, if you would understand world geopolitic today, follow the oil (Deep Stoat). Hari ini, jika anda ingin memahami dunia geopolitik, ikuti kemana aliran minyak;
Kedua, when it comes to oil 90% its about politic, and 10% its about oil itself (Guilford, 1973). Membahas minyak maka 90% tentang politik, dan 10%-nya soal teknis perminyakan itu sendiri;
Ketiga, control oil and you control nation, control food and you control the peoples (Henry Kissinger). Kendalikan minyak maka anda menguasai negara, kendalikan pangan maka anda menguasai rakyat.
Bahwa hakiki subsidi BBM atau minyak dimanapun, selain ujud ‘atensi’ negara terhadap rakyat, juga merupakan bentuk pengembalian (pungutan) pajak kepada warganya. Dan khusus di Indonesia adalah amanah pasal 33 UUD 1945, contoh ayatnya di bawah ini:
Ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
Ayat 3: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Lantas, ketika ada pendapat bahwa subsidi BBM dinilai membebani APBN, bahkan dianggap merugikan negara maka pandangan tersebut merupakan perspektif kaum pengusaha, sudut pandang korporasi, bukan lagi cara pandang dan tata kelola negara. Dari sisi ini sebenarnya sudah dapat dibaca bagaimana tata kelola serta perspektif mana yang tengah dijalankan oleh pemerintah.
Energi dalam hal ini minyak adalah sektor vital sebagaimana tersurat dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 tadi plus tiga asumsi geopolitik (Deep Stoat, Guilford, Kissinger) di atas. Mengapa? Sebab, minyak adalah sektor paling strategis di antara sektor-sektor lain. Ia penggerak berbagai sektor yang ada. Bila harga minyak naik, misalnya, maka harga-harga barang dan jasa niscaya terkerek naik terutama harga pangan (sembako). Ada efek domino.
Seyogianya sektor energi tidak boleh diswastakan, oleh sebab orientasi swasta adalah profit. Efisiensi. Mencari keuntungan sebesar-besarnya. Kenaikkan harga minyak, akan menjadi penyumbang terbesar sebuah inflasi. Gilirannya, jika tanpa antisipasi yang jitu, inflasi bisa semakin liar serta mampu membuat instabilitas negara, dan bila timbul hiper-inflasi maka negara bisa kolaps.
Pertanyaan penting muncul, “Apakah tata energi kita sudah diswastakan atau belum?”
Pasal 33 UUD 45, ayat 4 (ayat ini hasil amandemen UUD): “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Dalam pasal 33 ini dijelaskan, bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh tiga pelaku utama yakni Koperasi, BUMN/D dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan (Indrawati, 1995).
Merujuk pasal 33 UUD 45 ayat 4 (hasil amandemen) dan penjelasannya di atas, swasta boleh masuk disektor hajat hidup orang banyak atas nama tafsir ‘efisiensi berkeadilan’ dan ‘mekanisme pasar’. Ini jelas tersirat lagi tersurat.
Dalam Undang-Undang (UU) No 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, ini UU lama yang menerapkan vertical integration dimana dari hulu hingga hilir (exploration and development, transportasion, refenery, transportation, distribution, retail/gas oil station) atau semua tahapan proses perminyakan di bawah kontrol Pertamina. Satu komando. Mirip vertical integration serta hierarki ala TNI dan Polri. Ada Pertamina Pusat selevel Mabes TNI dan Mabes Polri. Ada Pertamina Daerah setingkat Kodam dan Polda dan seterusnya. Mungkin dikandung maksud guna memudahkan koordinasi terkait pengawasan dan pengamanan kilang-kilang minyak mengingat area Pertamina tergolong objek vital nasional yang mutlak harus dilindungi.
Nah, sangking canggihnya UU 8/1971 terutama implementasi struktur Pertamina dari hulu sampai hilir, Petronas — ‘Pertamina’-nya Malaysia pun meniru pola dan model struktur Pertamina. Dulu, Pertamina adalah guru bagi Petronas. Hasilnya? Petronas kini menjadi perusahaan berkelas dunia.
Tetapi, itu dulu. Era kini, semenjak masuk reformasi yang ditandai lengsernya Pak Harto dan jatuhnya Orde Baru, terjadi amandemen UUD 45 sebanyak empat kali (1999, 2000, 2001 dan 2002) termasuk produk-produk (UU) turunannya. Nah, salah satunya UU yang diamandemen adalah UU 8/1971 diganti dengan UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dalam UU baru tersebut, selain tak ada lagi vertical integration di Pertamina, juga dari hulu (exploration etc) sampai di hilir (ritel/SPBU) swasta dibolehkan masuk mengelola tata niaga minyak dan gas.
Ketika swasta atau korporasi dibolehkan mengelola minyak dari hulu hingga hilir, maka wajar jika profit oriented menggejala di sistem perminyakan kita. Harganya tak bakal turun. Mencari untung terus. Sangat berbeda dengan Petronas yang saat ini justru tengah menurunkan harganya.
Sebagaimana dikatakan oleh Guilford di awal tulisan ini, bahwa berbicara soal minyak maka 90% soal politik, dan 10% tentang teknis perminyakan itu sendiri. Nah, UU No 22/2001 adalah faktor politik, sementara subsidi yang tidak tepat, misalnya, atau tidak adanya storage dan refenery di Indonesia — itu cuma teknis semata.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com