Antara Sihir, Simulakra dan Pencitraan

Bagikan artikel ini
Sesi Ngaji Cilik-Cilikan
Hijib itu bahasa Arab, arti Indonesianya: SIHIR atau BOHONG. Yaitu mengubah pandangan/membengkokkan dan lain-lain. Hijib diambil dari kata “hazaba yahzubu” yang artinya: bisa tertimpa; menyusahkan; menghimpun dalam kelompok atau golongan dimana ujungnya semu (bohong) belaka.
Hijib atau sihir ada dua macam: 1) hijib nasor untuk pengobatan atau menolong; 2) hijib nawawi untuk pamer kanuragan, unjuk gigi, kedigdayaan dan seterusnya.
Apapun bentuk hijib atau sihir, niscaya akan membuat orang/pelakunya terusir. Apalagi jika ilmu (sihir)-nya mulai nyatek alias ‘menggigit’ orang lalu kabur/lari dari tanggung jawab.
Dalam KBBI, sihir ialah: 1 perbuatan ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantara dan sebagainya); 2 ilmu tentang penggunaan kekuatan gaib; ilmu gaib (teluh, tuju dan sebagainya).
Secara histori, sihir merupakan ilmu tua warisan dua malaikat Izza dan Uzza. Pasalnya, konon di langit dahulu, dunia malaikat sempat gempar karena iri melihat perilaku manusia yang kerjanya mabuk-mabukkan, main perempuan dan seterusnya. Sawang sinawang. Mereka pun ingin mencicipi “enak”-nya sebagai manusia.
Singkat narasi, setelah melewati suatu tahap perlombaan, Izza dan Uzza terpilih di antara para malaikat untuk turun ke bumi. Dan atas izin-Nya, mereka menjelma jadi manusia (lelaki tampan) dan diberi nafsu sebagai kodrat manusia serta namanya pun diubah menjadi Harut dan Marut. Ya, keduanya diturunkan di Babylonia atau sekarang bernama Irak.
Singkat cerita, ketika akhirnya mereka “kecatek” (tergigit) oleh ilmu sihirnya sendiri. Kenapa? Karena mereka tergoda mencicipi/mengumbar syahwat dengan istri orang yang telah disihirnya namun tertangkap khalayak lalu digebuki beramai-ramai oleh massa. Nah, usai kejadian tersebut, akhirnya Harut dan Marut menyadari risiko menjadi manusia dengan praktik-praktik sihirnya. Kapok.
Kepada Tuhan, mereka bermohon ingin kembali menjadi malaikat. Tetapi, Tuhan memberi tangguh hingga akhir zaman dan keduanya mendapat hukuman yaitu digantung di atas laut dan di dalam lautan.
Jadi, apabila suatu saat ditemui “api” di atas laut atau di dalam lautan, maka itulah lokasi Harut-Marut menjalani masa tangguh sampai kiamat tiba. Inilah prolog sekilas catatan berbasis Ngaji Tauhid di kampung tempo doeloe.
Ya, “sihir” itu istilah era bahula atau zaman old. Era kini disebut “pencitraan,” yaitu upaya sistematis guna membentuk persepsi, memanipulasi pikiran, dan mempengaruhi langsung alam bawah sadar agar perilaku seseorang dan/atau publik memberikan respon sesuai kehendak pelaku/penebar citra.
Jagonya pencitraan adalah Joseph Goebbels, Menteri Propaganda di Era Nazi, zaman Adolf Hitler. Poin teori Goebbels (1942) yang kondang ialah: “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan membuat publik menjadi percaya”. Goebbels pun memberi trik, bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja. Demikian inti teori Goebbels perihal propaganda.
Jean Baudrillard (1929 – 2007), filsuf kontemporer asal Prancis menyebutnya sebagai “era simulakra”. Artinya, realitas yang ada ialah realitas semu, atau realitas buatan (hyperreality). Menurut Baudrillard, hari ini kita hidup dalam era simulakra. Era dimana batas antara realitas dan citra telah melebur. Bahkan citra telah berubah menjadi realitas itu sendiri. Ia menyebutnya hyperreality atau realitas semu. Pilihan-pilihan hidup dipengaruhi oleh realitas semu ini, yang menurut Milan Kundera, diciptakan oleh agen periklanan, manajer kampanye politik, atau desainer yang merancang semu bentuk mulai dari mobil hingga alat olah raga. Saat saya membeli baju bermerek A, tiba-tiba saya merasa hebat. Padahal, apakah kehebatan ditentukan oleh merek baju? Tetapi, ketika citra telah mengepung saya, maka saya percaya bahwa merek A membuat lebih hebat daripada memakai baju obralan. Inilah fase simulakra: “Citra yang membentuk realitas, bahkan citra menjadi realitas itu sendiri” (Dina Y. Sulaeman, 2010).
Ketika publik sudah terasuki oleh citra dan tidak mampu membedakan antara citra dan realitas, maka tak heran jika pencitraan menjadi industri tersendiri. Para konsultan politik mendesain citra para politisi agar sesuai dengan selera publik, dan publik yang terkepung simulakra cenderung memberi suara kepada citra si kandidat, bukannya realitas kandidat. Inilah yang kini terjadi. Itulah yang sekarang berlangsung di alam demokrasi (ala Barat). Kerap kali, yang dicoblos pemilih itu justru citra si kandidat, ternyata realitasnya adalah kucing garong!
Dan tampaknya, pencitraan dalam aktivitas politik kini hampir menjadi ‘tarikan nafas’ — kebutuhan primer bagi politikus. Selain dianggap lumrah, pencitraan juga merupakan metode ampuh bagi si subjek politik menjaring konstituen, sehingga dalam dinamika politik praktis, publik selaku objek maupun politikus selaku si subjek itu sendiri kerap gagal menyadari apakah yang ia kerjakan itu sesuatu yang riil atau semu, misalnya, janji-janji politik dan sebagainya.
Bagi publik yang sadar, lalu terbangun dari “sihir” para politikus biasanya melakukan “reaksi” baik secara silent maupun vulgar alias reaksi secara langsung, terang – terangan. Nah, kasus Walikota di Meksiko, Oscar Comapala, di Kota Frontera, adalah contoh nyata, bahwa ia diikat di pohon oleh warganya lantas digebuki ramai-ramai akibat lalai terhadap janji-janji (politik) sewaktu kampanye. Itu ujud perlawanan secara vulgar dan langsung oleh warga yang sudah terbangun dari sihir (pencitraan) si politikus.
Bagaimana ujud era simulakra dan praktik pencitraan di Indonesia?
Entahlah. Banyak pihak yang berkompeten lebih memahami. Namun pada ngaji kali ini, jika boleh dibandingkan, tampaknya lebih parah model pencitraan di Meksiko daripada di kita. Kenapa? Karena sekelas Walikota pun digebuki oleh warga gegara ingkar janji. Tetapi kita harus waspada, oleh sebab gambaran seperti yang diungkap Baudrillard tentang fase simulakra kerap kali berlangsung masive, terstruktur dan sistematis: “Citra yang membentuk realitas, bahkan citra menjadi realitas itu sendiri.”
Sosok menteri atau gubernur, misalnya, seyogianya tugasnya adalah merumus strategi dan menelorkan kebijakan guna menyelesaikan masalah-masalah warganya. Itu fakta ideal dan seharusnya. Akan tetapi, karena si pejabat telah terasuki dan terkepung simulakra maka kegiatannya lebih menonjol mengais citra diri dengan menyapu jalan, misalnya, atau otong-otong (mengangkati) pohon tumbang, daripada menerbitkan keputusan bijak yang membuat nyaman warga. Secara manajemen, otong-otong pohon itu porsi level bawah bukan tugas sang gubernur atau menteri. Kalau sekali-sekali sich tak masalah bila niatnya untuk memotivasi bawahan, memberi teladan, atau dalam rangka down to earth (membumi). Tetapi jika motifnya untuk pencitraan diri untuk kepentingan politik praktis, maka itulah hijib atau sihir. Dan secara filosofi-histori sebagaimana Harut-Marut dulu, kelak mereka bisa menjadi orang – orang terusir apabila “ilmu”-nya sudah nyatek!
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com