Karl Marx dan Friedrich Engels, adalah duet maut dalam menyusun buku monumental berjudul Das Kapital. Buku babon yang kelak jadi rujukan kalangan ilmuwan, intelektual maupun politisi, yang mempertimbangkan sosialisme sebagai solusi untuk menegakkan keadilan sosial.
Marx dan Engels merupakan pribadi yang bertolak-belakang namun persahabatannya nyaris klasik. Selama 50 tahun mereka berdua saling melengkapi satu-sama lain dalam karya tulisnya. Marx selain pemikir yang sistematis dan punya bakat dan minat dalam menyusun strategi politik buat pergerakan revolusi, seperti yang pernah dia tulis berjudul Manifesto Komunis, dan peka dalam menangkap suatu situasi yang sedang berlangsung, terutama ketika sedang diselubungi oleh kekacauan.
Sebaliknya Engels, merupakan seorang yang punya dorongan kuat untuk berpikir praktis dan senang untuk segera bertindak (action oriented), tekun mengerjakan hal-hal detail, dan tidak terpaku pada hambatan-hambatan prosedural dan aturan-aturan yang ada untuk mewujudkan maksud dan tujuannya. Tipikal seorang praktisi dan organisator.
Maka dalam gaya menulis pun Marx dan Engels beda. Marx yang sejatinya seorang akademisi gaya penulisannya sistematis, berpikir strategis dan cerdas dalam mengurai akar masalah, Engels yang pada dasarnya praktisi juga terpancar dalam gaya penulisannya.
Engels mengibaratkan dirinya dalam menulis seperti pasukan artileri. “Setiap tulisanku menghantam dan meledak seperti granat, begitu Engels dalam menggambarkan style penulisannya.”
Memang beda Deng Marx, Engels ternyata punya pengalaman aktif di kemiliteran, dan sempat terlibat dalam Revolusi 1848 bersama Marx,, meskipun gagal. Makanya dalam pengasingan di Inggris, Engels dan Marx dengan tekun mempelajari ilmu kemiliteran dan strategi.
Edward Mead Earle, dalam bukunya berjudul Makers Modern Strategy, berhasil menyingkap talenta khusus Engels yang belum banyak didalami orang, bahkan oleh para pengikut Marxs sekalipun. Yaitu gairah besar Engels dalam menulis tentang militer. Baik gerakan militer, teknik militer, sketsa biografis singkat para para pemimpin militer dunia, Bahkan juga banyak mengulas secara tajam buku-buku tentang ilmu kemiliteran.
Pada suatu ketika, Engels menyurati Marx: “Sekarang ini aku lagi membaca buku karya Clausewitz On War. Menurutku buku ini suatu cara berfilsafat yang aneh, namun kupikir sangat baik mengenai pokok persoalannya.”
Seperti sudah diketahui bagi para pembelajar ilmu kemiliteran dan Perang, Clausewitz memang merupakan saslah saktu konseptor kemiliteran Jerman yang terkenal. Di akademi2 militer pelbagai negara di dunia, termasuk di Akademi Militer Nasional kita, karya Clausewitz merupakan buku wajib. Ungkapannya yang cukup terkenal: “Perang merupakan usaha mencapai tujuan perang melalui cara lain.” Tersirat dalam ungkapan itu, ketika tujuan perang yang dimaksud adalah tujuan politik bisa dicapai tanpa harus dengan kekerasan, maka perang tidak diperlukan. Sebaliknya ketika tujuan politik menemui jalan buntu, maka perang apa boleh jadi sarana mencapai tujuan politik.
Menurut Clausewitz, yang nantinya sangat menginpirasi Engels:
“Strategi adalah teori penggunaan pertempuran untuk tujuan perang (baca: tujuan politik). Taktik merupakan teori mengenai penggunaan kekuatan-kekuatan militer(bisa diperluas artinya sebagai alat dan sarana) dalam pertempuran.”
Tujuan perang atau politik bisa terwujud ketika salah satu kalah total atau menang mutlak atas musuhnya. Kedua, lewat persetujuan politik di meja perundingan. Ketiga, ketika ketika suatu negara melalui pendayagunaan sarana-sarana nonmiliter, mampu memperdaya negara sasaran sehingga tujuan perang bisa diwujudkan tanpa penggunaan sarana-sarana militer atau alat persenjataan.
Bisa jadi oleh karena pemahamannya dalam menangkap inti pandangan Clausewitz, Engels ketika menjawab pertanyaannya sendiri apakah perang itu seni atau ilmu, Engels mengibaratkan perang seperti dalam perdagangan. Jadi pertempuran dalam sudut pandangn peperangan, ibarat bayar tunai dalam transaksi dagang. Mengapa begitu? Karena menurut Engels, karena seperti juga dalam perdagangan harus ada pembayaran tunai, dalam peperangan pun pertempuran akhirnya harus terjadi dan bersifat menentukan. Tentu saja kembali ke alur pikir Clausewitz, ketika tujuan gagal tercapai melalui sarana-sarana nirmiliter.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kalau pasukan tempur hanya disiagakan secara maksimal untuk bertahan dan untuk tujuan ofensif taktis, apakah pertempuran masih tepat diibaratkan sebagai perdagangan? Masih, kata Engels. “ketika dalam situasi pasukan tetap disiagakan untuk persiapan sewaktu-waktu melancarkan aksi ofensitf, maka kesiapsiagaan pasukan untuk bertahan dan siap serang, pada dasarnya ibarat persediaan barang dalam strategi revolusi.”
Jadi kita simpulkan, walau hanya kesiapsiagaan pasukan untuk menyerang tapi tidak benar-benar digunakan untuk melancarkan aksi militer, menurut Engels hal itu tetap dalam skema perang. Semangat berjuang (militansi) dan kesiapsiagaan untuk aksi ofensif sewaktu-waktu meskipun entah kapan, merupakan inti pandangan kemiliteran dan strategi Engels dan tentunya juga Marx.
Melalui karya Edward Mead tadi, terungkap bahwa justru tema-tema inilah yang jadi pergulatan pikiran maupun tulisan-tulisan baik Marx maupun Engels pada masa-masa awal pengasingannya di Inggris. Apalagi keduanya di Inggris berstatus eksil akibat pengalaman pahit yang sama. Yaitu Gagal total dalam melancarkan revolusi 1848. Sehingga keduanya didorong oleh minat yang sama, menelisik akar penyebab kegagalan aksi revolusi mereka padahal keduanya merasa begitu percaya diri.
Kelak karya kedua orang luar biasa ini, ditulis oleh Engels namun dipublikasi oleh Marx di the New York Tribune. Meringkaskan intisari beberapa pokok pemikirannya, yang kelak kembali menginspirasi Lenin ketika akhirnya berhasil melancarkan revolusi Bolsewik 1917 di Rusia, dan menggulingkan Czar Nicholas II.
Pertama, pemberontakan itu adalah seni dan karena itu sama saja dengan perang. Dan taat pada hukum3 dan prosedur-prosedur tertentu. Maka jangan main-main dengan pemberontakan, kecuali jika kamu siap menghadapi akibat-akibat dari permainanmu.
Kedua, sekali dimulai, maka bertindaklah kamu dengan ketetapan hati dan harus berada dalam posisi yang menyerang atau ofensif. Berada dalam posisi bertahan, sama saja dengan akhir dari pemberontakan bersenjata. Kejutkan musuhmu, dan peliharalah keunggulan semangatmu.
Pandangan Marx dan Engels terkait kemiliteran dan strategi memang harus dipahami dalam konteks dan latarbelakang pandangan filsafat mereka berdua secara lengkap. Keduanya selalu berpedoman pada situasi dan kondisi obyektif ekonomi yang sedang berkuasa di Eropa kala itu, untuk menangkap dinamika sosial-politik dari gagasan-gagasan keduanya.
Begitupun, menurut saya justru di sinilah letak kelemahan Marx dan Engels mengapa keduanya gagal memantik revolusi berskala luas di Eropa pada 1848. Seperti kata Engels, krisis perdagangan dunia pada 1847 itulah yang memicu revolusi Februari dan Maret. Dasar keyakinannya adalah, revolusi hanya akan lahir sebagai konsekwensi dari adanya krisis baru.
Terbukti perhitungan Engels salah total, karena meskipun krisis perdagangan memang terjadi pada 1847, namun belum bisa disebut matang sebagai prakondisi memantik revolusi. Namun bagusnya kedua analis hebat ini, kemudian melakukan introspeksi. Mencari tahu apa akar penyebab kegagalannya. Dari introspeksi itu muncul kesadaran baru keduanya. Bahwa daripada melancarkan pemberontakan sia-sia seperti 1847-1848, lebih baik mempersiapkan strategi kesiap-siagaan jangka panjang selama masa jeda.
Meski Engels yang punya sifat nggak sabaran, grusa-grusu seperti lazimnya orang-orang berorientasi praktis, akhirnya toh menyadari bahwa waktu dan kesabaran merupakan prasyarat pokok dari strategi yang sehat.
Maka dari itu, meski dalam pengasingan dan orang buangan di negeri orang selama di Inggris, keduanya sangat produktif dalam olah pikir dan menulis. Pada puncaknya, lahirlah karya monumental Das Kapital pada 1867. Sebagai jawaban ilmiah kenapa 20 tahun lalu mereka gagal melancarkan revolusi.
Kadang saya suka mikir, sangatlah keliru kalau Das Kapital karya Marx dan Engels ini disalahpahami sebagai doktrin ideologi. Karena kekuatan dan cahaya sejarah buku ini karena selalu manfaat untuk membedah akar dan anatomi ekonomi-politik sebuah negara yang sedang dilanda krisis sehingga berpotensi meruntuhkan sistem kenegaraannya.
Das Kapital merupakan pisau bedah menganalisa dinamika sosial-politik dari situasi ekonomi negara, bukan doktrin atau buku penuntun revolusi. Buku ini lahir untuk menginspirasi orang-orang yang cerdas untuk mengenali karekteristik krisis negaranya, dan mencari solusi sesuai karakteritik geografis negaranya.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments