Antara Silver Notice, UU MLA dan Revolusi Moral

Bagikan artikel ini
Sesi Sastra Geopolitik
Hasil Sidang Umum Interpol di Bali, tanggal 7-10 November 2016 telah menerbitkan Silver Notice tentang penegakkan hukum terkait pengembalian aset dan kejahatan finansial. Dengan kata lain, interpol dan stakeholders terkait niscaya bakal melakukan audit finansial secara global. Kelak hal ini menjadi salah satu sebab munculnya pergeseran geopolitik —eufimisme gempa politik— baik di tingkat global, regional maupun di level nasional/lokal.
Ya. Konstelasi politik di tiap-tiap negara akan mengalami “gempa” akibat pembongkaran/penyelidikan dan penyidikan oleh Interpol baik secara silent maupun terang-terangan. Dan Indonesia juga akan mengalami hal serupa yakni goncangan keras secara politik. Kenapa demikian, karena tak sedikit si pemilik modal di negeri ini rata-rata adalah alumni (baca: para pencoleng) BLBI.
Tak boleh disangkal, skandal BLBI, selain merupakan akumulasi kapital dengan modus manipulasi sistem keuangan, juga secara tamsil mereka telah mencuri masa depan bangsa ini.
Lantas, bagaimana Indonesia menyikapi Silver Notice hasil sidang di Bali?
Indonesia menyambut positif atas terbitnya Silver Notice dengan membuat Undang-Undang (UU) Mutual Legal Assistance (MLA) Indonesia-Swiss atau UU MLA tentang Bantuan Hukum Timbal Balik antara Indonesia-Swiss.
Dalam MLA tersebut, sekurang-kurangnya ada 11 poin penting perjanjian Indonesia-Swiss. Nah, bila poin-poin tersebut terpenuhi dan dipenuhi oleh Indonesia, maka akan membantu menyelamatkan aset bangsa yang konon berjumlah sekitar Rp 11 ribu triliun dengan rincian Rp 7 ribu triliun tersimpan di Swiss dan Rp 4 triliun di Singapura.
Adapun poin-poin perjanjian dimaksud antara lain sebagai berikut:
(1) membantu menghadirkan saksi;
(2) meminta dokumen rekaman dan bukti;
(3) penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengembalian aset;
(4) menyediakan informasi berkaitan dengan suatu tindak pidana;
(5) mencari keberadaan seseorang dan asetnya;
(6) mencari lokasi dan data diri seseorang serta asetnya, termasuk memeriksa situs internet yang berkaitan dengan orang tersebut;
(7) melacak, membekukan, menyita hasil dan alat yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
(8) meminta dokumen yang berkaitan dengan suatu tindak pidana;
(9) melakukan penahanan terhadap seseorang untuk diinterogasi dan konfrontasi (dengan saksi/alat bukti lain);
(10) memanggil saksi dan ahli untuk memberikan pernyataan; dan
(11) menyediakan bantuan lain sesuai perjanjian yang tidak berlawanan dengan hukum di negara yang diminta bantuan, dan lain-lain.
Bagi Indonesia yang tengah dirundung beberapa persoalan baik masalah hulu maupun hilir, manuver Interpol kelak diibaratkan lempengan bumi yang bergerak melalui dua titik epicentrum —Silver Notice dan UU MLA— dan sudah barang tentu, selain akan ada goncangan (politik) keras di Indonesia pada satu sisi, namun usai goncangan mereda ia bakal menggeliat di panggung global di sisi lain. Ini bukan ilusi yang bersumber dari keinginan pikiran dan kemauan batin, tetapi mimpi (visi) rakyat ini niscaya berjalan pasti meski perlahan. Kenapa? Kendati Silver Notice dan UU MLA sudah ada dan nyata, (tinggal) aksinya menunggu momentum tepat.
Akhirnya, di paruh heroisme balada, Ki Waskito, Jangkane Zaman ngendiko: “Seandainya UU MLA dijadikan PRIORITAS PROGAM siapapun rezim penguasa, lalu didudukkan sebagai Kepentingan Nasional RI, dan dikerjakan dalam tempo sesingkat-singkatnya sebagaimana jihad kemerdekaan tempo dulu, maka bangsa ini kelak selain bisa melunasi gunungan utang secara cepat, tidak tergantung kepada negara lain, juga akan disegani oleh dunia!”
Kenapa begitu, Ki? Tanya para saliknya kepingin tahu. “Itulah Revolusi Moral. Sebuah harmonisasi antara Revolusi Mental dan Revolusi Akhlak!”
Dalam kisah jejak pencarian Tuhan, akhlak adalah jasad kasar, sedang mental ibarat jisim latief atau jasad halus alias sukma, jare wong Jowo. Nah, revolusi moral itu simponi keduanya secara harmonis.
Jadi, jangan bentur-benturkan substansi kedua revolusi tersebut, konyol itu. Akan tetapi, satukan langkah-padukan derap kaki. Sekali lagi, SATUKAN DERAP LANGKAH!
“Le,” ujar Ki Waskito mengakhiri ngajinya kepada para salik tercinta: “Kejayaan Nusantara itu terulang setiap tujuh abad. Camkan, le! Abad ke-7 era Sriwijaya; abad ke-14 era Majapahit; dan sekarang kita telah memasuki lorong abad ke-21, itulah Era Indonesia Jaya. Jadi, persiapkan diri masing-masing berbasis moral yang baik”.
Para salik tercenung. Diam seribu bahasa. Entah kenapa.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com