Telaah Kecil atas Wacana Hukuman Mati Koruptor
Desa memiliki cara dan adat tersendiri berbasis kebiasaan dalam mengelola lingkungan, isi dan warga desa; sedang negara mempunyai tata kelola sendiri (bukan adat) berdasar konstitusi dan UU guna mengelola isi, wilayah, dan dinamika rakyat. Praktik nilai gotong royong, contohnya, akan berjalan apa adanya ketika ada hajatan di desa. Membersihkan selokan atau memperbaik rumah warga yang terkena bencana dan seterusnya. Tanpa diatur — akan ada orang atau kelompok penyedia makan dan minum, ada warga berkorban tenaga (kerja) saja, ada yang menyiapkan bahan-bahan bangunan dan seterusnya. Guyub dan sederhana. Sedang pada level negara lebih kompleks. Harus ada tatanan hukum guna mengelola nilai gotong royong tersebut. Ibarat hajatan membangun selokan dalam skala besar, proyek misalnya, tentu harus lewat tender atau penunjukan langsung sesuai hukum positif.
Secara filosofi, pepatah leluhur ini saling isi dan melengkapi. Kumpul kebo misalnya, perbuatan zinah yang dilakukan bujangan dewasa suka sama suka tidak bisa dijerat oleh hukum negara (negara mawa tata), tetapi ia dapat dijerat oleh desa mawa cara, contohnya, diarak bugil ke pendopo desa, dicambuk seperti di Aceh dan seterusnya. Itulah gambaran sekilas ajaran leluhur: ‘desa mawa cara, negara mawa tata’.
Agaknya, viral isu soal hukuman mati bagi koruptor yang menyunat bantuan sosial adalah bagian tata (hukum) negara guna mengelola isi dan dinamika warga. Sah-sah saja karena telah diatur dalam hukum positif. Akan tetapi, manakala korupsi sudah membudaya karena faktor sistem politik itu sendiri, diasumsikan — selain anggota parlemen bisa “punah”, jangan-jangan nantinya tidak seorang pun mau mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota sebab takut dihukum mati. Lha, bagaimana cara mengembalikan biaya kampanye tanpa korupsi; mampukah hanya dari gaji saja?
Diprakirakan bakal muncul masalah baru yang lebih besar karena faktor budaya korupsi itu tadi. Seyogianya, pepatah negara mawa tata minimal kudu merujuk motto pegadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Menarik hikmah hukum qisas (karma, causalitas dan lain-lain) yang pernah saya ulas sebelumnya, letak korupsi itu ada di ‘ranah akibat’ bukannya di ‘wilayah sebab’. Retorikanya begini, bukankah korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem (politik)?
Nah, korupsi itu akibat, sedang sistem yang menciptakan korupsi adalah sebab. Jadi, selama sistem politik yang menyebabkan korupsi dibiarkan tetap ada, hidup dan terus bercokol pada sistem (politik) maka akan timbul kegaduhan baru yang lebih masive lagi sistematis apabila hukuman mati koruptor diterapkan. Kenapa?
Ada clue pokok sebagai upaya memecahkan korupsi di Indonesia: “Bersihkan hulu maka air di hilir akan jernih”. Ini clue utama.
Korupsi, selain ia berada di ‘wilayah akibat’ bila dibijaki berbasis hukum qisas, maka harus di-breakdown terlebih dahulu ‘sebab’-nya.
Password korupsi ialah high cost politics atau politik biaya tinggi. Maka pertanyaan selidik yang muncul: “Struktur, momen, dan event yang mana sehingga politik berbiaya tinggi?” Banyak! Namun guna menyingkat diskusi, catatan ini akan mengurai hal-hal kasat mata, misalnya antara lain:
1) pola one man one vote dalam hajatan politik. Ya, kampanye dan modus pencitraan dalam pola ini, apalagi money politic, semua menuntut dana besar yang harus dimiliki si kandidat;
2) otonomi daerah yang menciptakan raja-raja kecil di daerah. Istilahnya Petruk dadi ratu. Manggung (enak)-nya cuma semalam, esok hari digelandang KPK;
3) perubahan nomenklatur fee proyek menjadi gratifikasi. Asumsinya, semua “raja” niscaya terima upeti (fee). Jadi, tinggal tunggu nasib saja karena upeti adalah gratifikasi (korupsi).
4) sistem multipartai dan mahalnya harga “perahu partai”;
5) pidana suap berubah kategori menjadi tindak korupsi sehingga menambah deret keprìhatinan, dan lain-lain.
Simpulan kecil tulisan ini, hukuman mati bagi koruptor tetap saja berjalan untuk deterrence effect bagi calon pelaku, sedang sistem koruptif harus segera diubah menjadi sistem nonkoruptif dalam tempo sesingkatng-singkatnya sesuai ajaran leluhur: desa mawa cara, negara mawa tata.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
baca: juga
Facebook Comments