Rusman, Peneliti Global Future Institute (GFI)
Sepanjang sejarahnya, sejak tahun 1960-an hingga pengujung tahun 1990-an, gerakan mahasiswa adalah gerakan pendobrak. Dan daya dobrak itulah yang begitu kuat untuk merobohkan kekuatan Orde Baru ketika itu. Tercatat, sejak peristiwa yang bersejarah di tahun 1998, para mahasiswa tak henti-hentinya meneriakkan tuntutannya untuk menembus sumbat kemacetan politik. Kini, di era tahun 2000-an, gerakan pendobrak seakan sangat jauh melekat pada gerakan mahasiswa. Apa gerangan penyebab gerakan mahasiswa era kekinian tak seberingas era 90-an?
Zaman sudah berubah. Tokoh-tokoh mahasiswa pun berganti sesuai zamannya. Apalagi di zaman gadget ini mahasiswa seakan dimanjakan oleh situasi. Sekarang, diera kekebebasan ini para mahasiswa ketika menginginkan informasi, cukup hanya melihat dan membaca internet (google). Dan kebanyakan dari mereka, mereka sudah merasa tau dan tidak perlu untuk berguru lagi. Sehingga tak jarang bila informasi yang diterimanya itu hanya sebuah disinformasi.
“Mahasiswa sekarang tidak ada gurunya. Kalau dulu, kita mencari tahu kepada abang-abang kita. Kita datangi mereka. Kita tanyain mereka. Dan kita diajari mulai dari teori hingga praktik di lapangan. Sekarang (mereka) nanyanya lewat google. Sehingga tidak bisa membedakan mana informasi dan mana disinformasi. Ditelan semua. Tidak punya pegangan. Kalau tidak punya pegangan maka kebingungan mana yang benar,” ujar tokoh aktivis Salamuddin Daeng.
Menurutnya, sebagian besar para mahasiswa zaman dulu berasal menengah-ke bawah. Sementara saat ini, kata Salamuddin, berasal dari anak-anak orang kaya. “Yang kalau mau ngomong rakyat lapar tidak tahu caranya, karena dia sendiri tidak pernah merasakan lapar,” sindir Salamuddin.
Agaknya pendapat Salamuddin ada benarnya. Dulu, mahasiswa tidak bisa makan selama sehari-dua hari itu sangat sering terjadi. Penyebabnya, bisa tidak ada uang atau tidak mendapatkan kiriman dari orang tuanya. “Jadi, sering menderita walau tidak menderita-menderita amat seperti rakyat seumumnya yang kesulitan sandang, papan dan pangan. Sedangkan para mahasiswa saat ini tidak mengalami fase sejarah yang demikian,” ujarnya.
Jadi tidak mengherankan bila ketika masuk dalam medan perjuangan, para mahasiswa zaman dulu sigap bertemu dengan situasi yang sangat represif. Bicara dibatasi, organisasi kemahasiswaan hanya di dalam kampus dan tidak boleh keluar. Sehingga ketika masuk dalam medan pertarungan, siap menghadapi pertarungan yang benar-benar keras.
Belum lagi secara sosiologis, mahasiswa di era dulu bergaul dengan masyarakat dan lingkungannya. Dan ketika berjuang, mereka kerap berhadapan dengan situasi represif dan merasakan tekanan-tekanan yang besar sehingga militansinya muncul, dan kesabaran serta keberanian pun muncul.
Dalam sejarahnya, pemuda yang lahir sebagai pemimpin pada masa itu adalah pemuda yang ditempa oleh situasi pada 1908, 1928 dan 1945. Mereka tidak sekonyong-konyong muncul sebagai pemimpin. Mereka melalui proses sejarah yang panjang. Seiring perjalanan negeri ini, muncul pula gerakan pemuda 1966, 1974, dan 1998.
Kemudian, minimnya sikap kritis mahasiswa/pemuda dikarenakan dimanjakan oleh zaman. Pasalnya, tidak sedikit mantan aktivis mahasiswa yang telah menduduki posisi di pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif. Sehingga mahasiswa kerap menjadi pengekor para seniornya itu atau menjadikan seniornya sebagai patron politik praktisnya. (Baca: Membedah Antomi Mantan Aktivis Mahasiswa di Pemerintahan)
Namun hal ini ditepis Salamauddin. Menurut Salamuddin, minimnya sikap kritis para mahasiswa lebih dikarenakan oleh faktor sosiologis, kondisi obyektif dan pengalaman dalam gerakan yang tidak ada. “Lingkungan yang sangat liberal dan tidak ada satu tantangan yang begitu besar. Mereka merasa keadaan ini baik-baik saja,” jelasnya.
Menurutnya, kemudian yang muncul adalah aktivisme sebagai kesenangan semata bukan satu tuntutan dan tugas sejarah. Sementara dari aspek pengalaman sejarah, menurut Salamuddin, mereka kosong karena tidak mau masuk ke dalam pertarungan yang sebenarnya. “Jadi, begitu mereka melihat satu kebijakan atau keadaan yang merugikan rakyat mereka tidak masuk,” tambahnya.
Sekilas Potret Perjalanan Perlawanan Mahasiswa di Indonesia
Pada bulan Mei 1998, kerusuhan meledak di Jakarta setelah beberapa mahasiswa tewas tertembak dalam peristiwa Trisakti. Lantas, mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, dan Soeharto akhirnya tumbang.
Pada 1998 menjadi puncak mata rantai panjang gerakan perlawanan mahasiswa terhadap Soeharto, yang sudah dimulai pada 1971. Sepanjang tahun 1970-an dipenuhi dengan gelombang perlawanan mahasiswa. Dan tercatat ada dua peristiwa monumental. Pertama, peristiwa Malari, 1974. Demonstrasi menentang modal asing itu berakhir dengan kerusuhan di Jakarta. Ketua Dema UI, Hariman Siregar, akhirnya ditangkap dan dipenjarakan.
Kedua, rangkaian pembubaran dewan mahasiswa, pembredelan pers mahasiswa, penangkapan dan pemenjaraan para tokoh-tokohnya, yang dilanjutkan dengan pemberlakuan NKK/BKK. Pada periode ini, perlawanan mahasiswa sempat mati sejenak. Selama lima tahun setelah itu, kampus steril dari iklim perlawanan terhadap Soeharto.
Tapi memasuki paruh waktu kedua pada 1980-an, bibit-bibit perlawanan mahasiswa kembali muncul, dalam skala kecil. Akhir 1980-an, demonstrasi mahasiswa melawan Soeharto menjadi membesar, dan terus berlanjut memasuki tahun 1990-an. Dan, di tahun 1998 itulah puncaknya. Soeharto akhirnya jatuh di tangan mahasiswa, yang dulu di tahun 1966 bersama militer ikut membantunya naik ke panggung kekuasaan.
Tahun 1998, setelah perjalanan panjang, mahasiswa tampil lagi menjadi satu pilar kekuatan yang menentukan kejatuhan orang terkuat Orde Baru. Lalu naiklah Habibie. Sebagian kelompok menolak, sebagian lagi mempertanyakannya. Gerakan mahasiswa menunjukkan gejala perpecahan mengikuti friksi di tingkat elit politik yang saling menjegal dan menjagal.
Penolakan yang kuat kepada Habibie menemukan momen puncaknya pada demo besar-besaran atas penyelenggaraan Sidang Istimewa (SI) MPR, November 1998. Hasilnya adalah Tragedi Semanggi I. Mahasiswa dan kelompok masyarakat yang mendemo SI MPR berhadapan dengan meliter dan PAM Swakarsa, kelompok milisi yang didukung dan direstui TNI.
Masuk tahun 1999 aksi mahasiswa tidak terlalu gencar. Dan Secara subtansial keberhasilan pun tak begitu besar seperti di tahun 1998. Tetapi, menjelang pertengahan tahun, terlebih ketika penghitungan suara pemilu tidak kunjung kelar, gelombang demontrasi mahasiswa marak kembali. Tuntutan mereka pun makin gencar dengan isu utama sekitar pengadilan Soeharto, krebilitas Habibie, dan penghapusan dwifungsi ABRI. Dan terakhir yang tidak kalah gencarnya adalah tuntutan menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Aksi menentang RUU PKB ini melahirkan Tragedi Semanggi II. Militer menunjukkan cacatnya sendiri dengan penembakan membabi buta kepada khalayak yang sedang melepas lelah di trotoar Jalan Sudirman.
Maraknya aksi mahasiswa tahun 1999 ini juga ditandai oleh tumbuhnya organ-organ gerakan baru di kalangan mahasiswa. Organ gerakan yang muncul pada era itu diantaranya adalah KAMMI, Famred, Front Jakarta, Gempur, Jarkot dan organ gerakan lainnya. Secara jaringan, bisa dikatakan gerakan mereka telah cukup luas jangkauannya. Ada yang menjangkau ke beberapa kota di Indonesia. Bahkan konon, ketika itu, satu diantara dari organ gerakan mahasiswa itu telah menebar jaringan sampai ke luar negeri.
Ini merupakan sekilas potret perjalanan perlawanan mahasiswa di Indonesia. Mereka bergerak dengan keinginan dan dorongan besar untuk ikut menentukan arah politik di masanya.
Minimnya Kelompok-Kelompok Diskusi
Era tahun 1990-an di berbagai kampus, bak jamur yang tumbuh, bermunculan kelompok-kelompok diskusi. Mahasiswa berdiskusi, membahas dan membedah isu-isu ketimpangan sosial kemasyarakatan. Tak jarang dalam diskusi-diskusi itu mereka menyikapi kebijakan pemerintah yang membuat negeri ini terpuruk. Dan tak sedikit, melalui diskusi-diskusi tersebut, mereka mendapatkan ide segar, sebagai modal dan penyemangat ketika akan untuk turun ke jalan.
Kini agaknya, memasuki era kekinian, sangat minim dijumpai mahasiswa yang membentuk kelompok-kelompok diskusi, seperti di era 1990-an. Mungkinkah ini menjadi satu diantara penyebab begitu tumpulnya mahasiswa era tahun 2000-an untuk bersikap kritis? Atau bersikap lantang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat?
“Kalau kita mengisi seminar di kalangan mahasiswa, tatapan para mahasiswa seperti kosong. Biasa-biasa saja seperti ngasih kuliah. Enggak ada energinya. Ini berbeda pada masa lalu, yang ada energinya. Kalau para senior kita dulu masuk kampus, ya ngajarin melawan berikut menyusun strateginya,” ujar Salamuddin, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini.
Berkorban Demi Perubahan
Di era 90-an, mahasiswa sepertinya tak gentar menghadapi berlapis-lapis barisan serdadu, lengkap dengan senjata yang siap melontarkan timah panas kepada siapa saja. Dalam sejarahnya, banyak aksi demokrasi mahasiswa berakhir dengan pertumpahan darah. Sebut saja misalnya, sudah berpuluh-puluh mahasiswa yang gugur selama tahun 1999, hanya untuk mewujudkan perubahan di negeri tercinta ini. Entah sudah berapa banyak tragedi yang terjadi. Jika tahun 1998 dan 1999 dibaca dalam satu tarikan napas, kita akan mencatat Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I, sampai tragedi Semanggi II.
Dari catatan sejarah yang diperoleh Tabloid Nusantara, dibeberapa daerah termasuk di Jakarta ketika itu, setiap aksi demontrasi mahasiswa berakhir dengan memakan banyak korban. Di Palembang pada 5 Oktober 1999, aksi demontrasi mahasiswa menewaskan satu orang di pihak mahasiswa. Pada 22 September 1999, di Jakarta berpuluh-puluh mahasiswa dan massa aksi lainnya terluka akibat bentrok dengan pihak aparat keamanan. Dan di Lampung pada 28 September 1999, aksi demontrasi mahasiswa berakhir dengan memakan korban 46 orang luka tembak dan luka ringan. Belum lagi tragedi kecil lainnya yang terjadi di seantero Nusantara.
Setiap aksinya, mahasiswa kerap dihadapkan oleh sikap represif aparat keamanan. Tentu saja, sikap represif aparat keamanan dulu maupun kini tak jauh berbeda. Dan sebuah kewajaran bila aparat menghandalkan sikap represif ini. Pasalnya, aparat keamanan tentu berkeinginan untuk menjaga kestabilan keamanan di negeri ini. Namun gerakan mahasiswa di era 1990-an seperti tak menghiraukan kerasnya tindakan represif aparat keamanan.
Darah yang muncrat dan nyawa yang malayang agaknya sudah jamak dalam sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Bisa dipastikan, mereka pasti akan turun lagi ketika mereka menganggap sudah saatnya harus turun. Bukan hal yang aneh. Pasalnya, mahasiswa sebagai agen perubahan memerlukan benteng moral dan lembaga kontrol yang tidak terkooptasi oleh kepentingan politik praktis. Di lapangan inilah, pada saatnya, mereka akan kembali tampil. Siapapun yang duduk di kursi pemerintahan.