Apa Yang Salah Dari Rendahnya Budaya Literasi di Indonesia?

Bagikan artikel ini
Masih perlukah dibuktikan budaya literasi di Indonesia? Mungkin baik kita bersikap pura-pura kaget membaca penelitian tentang perkara itu dalam beberapa tahun ini. Kita kaget karena hasilnya sungguh mencengangkan. Gerak kurvanya tiap tahun nyaris konstan. Tidak nampak pergerakan menaik mendekati garis batas keseimbangan.
Survei Unesco tahun 2011 menunjukkan indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001 persen. Artinya dari 1000 penduduk hanya 1 orang yang mempunyai keinginan membaca buku.
Hasil penelitian Programmer for International Student Assessment (PISA) menemukan budaya literasi masyarakat Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara yang diteliti dan urutan ke-57 dalam minat baca siswa.
Sebuah riset yang dirilis Most Literature Nations, Maret 2016, terkait pemeringkatan literasi international, Indonesia menempati posisi ke-59 dari total 61 negara yang diteliti.
Kita rasanya tidak perlu menambah jumlah hasil penelitian hanya untuk membuktikan rasa “kaget” kita yang luar biasa. Hasil itu saja sudah lebih dari cukup menunjukkan bangsa kita memang tak berbakat, dalam kata-kata Rendra, “berumah di angin”.
Apa yang kurang?
Sejauh menyangkut buku kita mungkin negara pertama penyelenggara book fair di Asia Tenggara. Saat beberapa bangsa lain belum melek buku kita sudah gila buku sejak pameran buku pertama diadakan 9 tahun setelah merdeka.
Bukan Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia yang didirikan Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan tahun 1950) melainkan Tjio Wie Tay (1927 -1990) yang berperan sebagai promotor dan pionir pameran buku di Indonesia.
Untuk merayakan pembukaan toko bukunya, PT. Gunung Agung, di Jakarta tahun 1953 industriawan buku itu langsung mengadakan pameran sekitar 10.000 judul buku dalam berbagai bahasa. Jumlah yang fantastis kala itu.
Baru tahun berikutnya, bulan September 1954, ia menyelenggarakan pameran buku berskala nasional: Pekan Buku Indonesia. Pameran ini istimewa bukan hanya dalam jumlah peserta juga dibuat sebuah katalog setebal 331 halaman, semacam database.
Katalog memuat secara detail daftar penulis masing-masing penerbit, jumlah buku, nama dan alamat penerbit, juga percetakan dan jaringan toko buku seluruh Indonesia; mulai dari toko buku Tuan Jusuf di Air Bangis (Sumatera Tengah) hingga toko buku Sabar di Wonosobo (Jawa Tengah).
Sejak Tjio Wie Tay, yang kemudian kita kenal sebagai Masagung, memulainya sudah puluhan book fair diadakan di Indonesia. Buku tak pernah kurang di produksi, pameran buku silih berganti, penerbit muncul hampir di tiap daerah.
Apa lagi yang kurang?
Darwati Utieh, wartawan senior. 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com