Seorang guru mengeluh kesulitannya mengajar biologi kepada muridnya.
Di mana kesulitanmu? tanya guru besar itu.
Mau dikatakan manusia berasal dari hasil evolusi kok bertentangan dengan pelajaran agama yang menyebut manusia berasal dari tanah. Tapi mau disebut manusia berasal dari tanah buku paket menyebut asal manusia salah satunya akibat evolusi.
Profesor itu tersenyum. Ia paham kebingungan guru sekolah menengah itu. Bisa dibayangkan betapa mumetnya murid bila pelajaran biologi masuk berurutan dengan pelajaran agama di sebuah kelas. Kedua mata pelajaran itu punya versi sendiri tentang asal usul manusia yang sampai kini agaknya belum kelar betul duduk perkaranya. Kedua versi itu saling ngotot, masing-masing mencoba meyakinkan penganutnya.
Teuku Jacob (1929 – 2007), profesor itu, menjawab singkat: “Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah”. Mungkin agak di luar dugaan. Umumnya para akademisi di dunia memihak teori evolusi yang seksi itu. Bukan karena tidak ingin ribut dan dimusuhi masyarakat guru besar paleoantropologi kelahiran Peureulak, Aceh Timur, tersebut menjawab begitu. Teori evolusi nampaknya memang kesulitan bernafas dalam “masyarakat beragama”.
Rasanya tak ada ilmuwan yang sering disalahpahami selain doktor keluaran Rijksuniversiteit, Belanda, tahun 1967 itu. Publik kerap mengira ia seorang arkeolog. Setiap kali ada penemuan tengkorak dan tulang-belulang purba orang selalu merujuk pendapatnya. Sebelum ia memberikan pendapat biasanya terjadi ribut-ribut di koran mengenai umur fosil. Silang pendapat baru berhenti ketika Jacob mengetuk palu tentang usia dan asal usul fosil dan tak seorang ahli pun berani membantah, termasuk pakar luar negeri.
Pendiri Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi UGM itu (satu-satunya di Indonesia) sejatinya seorang dokter. Hanya karena mabuk melihat darah ia banting stir memperdalam studi tulang-belulang manusia. Dengan kata lain ia dokter tulang-belulang dan ia pakar pertama paleoantropologi (antropologi ragawi) Indonesia setelah merdeka. Disiplin ini merupakan kajian perihal tulang-belulang makhluk purba. Berdasarkan ciri-ciri mudah belaka baginya menentukan usia sebuah fosil.
Menurut katalog temuan hominid di Indonesia sampai tahun 2003 berjumlah 129 fosil mulai yang tertua dari masa sekitar 1,9 juta tahun lalu sampai temuan termuda dari masa 117 hingga 108 ribu tahun silam yang menyebar di banyak lokasi di Nusantara. Temuan-temuan itu kini tersimpan di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi UGM, sebuah bangunan cukup megah di kompleks kampus tersebut.
Paleoantropolog itu tidak hanya hobi menggali perbukitan untuk menemukan tulang-belulang, juga seorang penulis yang mahir. Bertahun-tahun ia menulis kolom tetap di koran Kedaulatan Rakyat, Jogjakarta. Kita tidak akan membaca potongan tengkorak dan tulang di situ. Ia mengupas subjek lain yang unik, misalnya, tentang sejarah uang. Nampak betul rektor UGM ke-7 dan penulis buku Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis (terbit 2004) itu seorang pakar dengan pengetahuan yang kaya.
Darwati Utieh, wartawan senior.
Facebook Comments