AS Sedang Menyiapkan Desain Perang Di Kawasan Asia?

Bagikan artikel ini

Analis politik Phill Hynes yang berbasis di Hong Kong, beberapa waktu lalu  menuliskan pengamatannya tentang kemungkinan perang baru di Asia yang sedang dipersiapkan AS dan sekutunya. Kali ini sasaran yang hendak dihancurkan adalah China. Menurut Phill, pertanyaannya bukan lagi “jika”, melainkan telah masuk tahap “kapan” perang bakal dimulai.

Baca:

Here’s what the U.S. is doing to prepare for war in Asia

Apa alasan dan legitimasi perang yang tengah dipersiapkan? Bagi AS, alasan apa pun bisa dibuat, dapat dikonstruksi, bahkan sampai alasan yang paling tak masuk akal pun tak menjadi soal bagi mereka. Dalam kasus invasi dan penghancuran Irak (2003) misalnya, alasan yang dibuat adalah sebuah fantasi: Irak memiliki senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction).

Seluruh media Barat (AS dan sekutunya) secara serempak mengulang-ulang soal senjata pemusnah massal itu. Mayoritas rakyat mereka mengamini. Dan, memang terungkap, bukan barang buktinya, melainkan fantasinya. Ternyata bukan hanya sekadar fantasi, melainkan sebuah fantasi yang buruk. Apa yang ditemukan di Irak bukan senjata pemusnah massal, melainkan serbuk entah apa dalam kardus. Barangkali serbuk deterjen. Namun itu membuktikan bahwa dinas intelijen AS, CIA telah bekerja sesuai prosedur standar mereka: menipu. Bahkan menipu para jendral mereka. Bahwa akibat invasi dan konsekuensi setelahnya mengakibatkan ratusan ribu rakyat Irak dibantai, tak membuat penduduk AS dan sekutunya terusik moral mereka. Bagaimana media mereka yang berkali-kali mendaur ulang kebohongan “senjata pemusnah massal” itu? Diam, membisu. Bagi mereka, yang penting bisnis tetap jalan, dan bagi jurnalisnya yang penting gaji tetap mengalir.

Dalam kasus lain, misalnya Libya (2011), apa alasan yang digunakan? Krisis kemanusiaan akibat “perang sipil” di sana. Media barat menyebutnya sebagai perang sipil untuk menyebut perang rezim Gaddafi yang sedang memadamkan pemberontakan yang ingin menggulingkan pemerintah. Kembali lagi, alasan fantastik ini dipakai untuk menghancurkan Libya sampai tahap kerusakan negara itu tak bisa diperbaiki kembali sampai detik ini. Bahkan pasukan dan pesawat tempur NATO turut serta untuk menghancurkan Libya, meskipun Libya tak sedang mengancam atau menyerang anggota NATO. Aneh? Tidak. NATO hanya menjalankan  perintah juragan mereka di Washington.

Lantas apa alasan AS menyiapkan perang melawan China?

Narasi yang dibangun, tentu saja, adalah bagaimana membuat China sebagai musuh bersama. Caranya? Membangun konsensus di kalangan sekutu AS bahwa China sedang menantang “rules-bases order”, bahwa China secara agresif mengancam stabilitas kawasan.

Konsensus ini tak saja dilakukan di level pengambil keputusan, melainkan sekaligus perlu memobilisasi dukungan rakyat di tiap negara sekutu. Itu sebabnya kini, media arus utama dan media sosial di negara-negara sekutu, penuh narasi anti-China. Media di AS, Eropa Barat, Jepang, Korsel, Australia, Filipina, India, setiap hari mendaur ulang sinofobia. China adalah bahaya. China adalah “yellow peril”. Politik mobilisasi paranoia semacam ini perlu sebagai sumber legitimasi bagi perang yang sedang dipersiapkan.

Langkah berikutnya adalah mulai mengepung China secara militer dan geografis. Sekeliling wilayah China dikurung. Kalau anda mengikuti langkah-langkah AS dalam beberapa tahun dan bulan terakhir semakin terlihat intensitas pengurungan itu. Beberapa contoh bisa disebut sebagai berikut, tak urut sesuai waktu dan hanya yang saya ingat.

(a) Kerja sama NATO dengan -Jepang (dan Korsel) dan rencana pembukaan kantor penghubung di Tokyo. NATO itu organisasi Atlantik Utara, mengapa harus mengurus wilayah Pasifik? Kembali lagi, segala alasan bisa dibuat.

(b) AS menyetujui pembelian peralatan militer sebesar USD 500 juta ke Taiwan dan melatih pasukan Taiwan.

(c) AS menambah 4 pangkalan militer baru di Filipina. Di bawah Marcos Jr. , Filipina kembali mendekat ke AS.

(d) Menlu Anthony Blinken berkunjung ke negara-negara  Asia Tengah (Maret 2023). Wakil Menlu Victoria Nuland yang dijuluki “angel of death” karena reputasi buruknya, berkunjung ke Mongolia (April 2023).

(e) PM Pakistan, Imran Khan yang condong ke Rusia dan China “dikudeta” pada April 2022, lewat tekanan Donald Lu (asisten Menlu urusan Asia Selatan dan Tengah).

(f) Menlu Anthony Blinken ke Papua Nugini (Mei 2023)

(g) PM Modi (India) diundang ke Washington (Juni 2023).

(h) Menlu Anthony Blinken ke Australia, Selandia Baru, dan  negara di kepulauan Pasifik (Juli 2023)

(i) Pertemuan trilateral di Camp David, AS (Agustus 2023) antara Presiden Biden, PM Fumio Kishida (Jepang), dan Presiden Yoon Suk Yeol (Korsel).

(j) Presiden Biden ke India dan Vietnam (September 2023)

Berbagai kunjungan diplomatik tersebut, entah disebutkan secara terbuka, atau disembunyikan, hampir semua membicarakan soal bahaya China. Jadi secara geografis, China telah terkepung dari wilayah timur (Taiwan, Korea, Jepang), barat (India, Vietnam, dan negara-negara Asia Tengah), selatan (Australia, Filipina, Selandia Baru dan Papua Nugini), utara (Mongolia).

Dari semua negara tersebut, beberapa di antaranya kemungkinan besar akan berdiri pada posisi netral jika perang dimulai, yakni negara-negara di Asia Tengah (Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan), sebab kelima negara tersebut juga bergabung dalam SCO (Shanghai Cooperation Organization) bersama China, Rusia, Iran, Pakistam, dan India. Negara lain yang berpeluang netral adalah Selandia Baru, Papua Nugini, Vietnam (meski memiliki sengketa laut dengan China, tak mudah bagi Vietnam berpihak ke AS), Pakistan (dalam beberapa tahun terakhir memiliki relasi erat dengan China dan lawan abadi India, prinsip: “musuhnya musuh adalah teman” barangkali menggambarkan relasi Pakistan dan China), Mongolia (negara yang secara geografis buntu, terkurung oleh Rusia dan China, sulit untuk berpihak ke AS).

Bagaimana dengan India, bukankah ia tergabung bersama China, di SCO maupun di dalam BRICS? China dan India tak pernah menjadi tetangga yang harmonis. Urusan perbatasan antar keduanya sampai hari ini tak bisa diselesaikan. Sejak perang antar keduanya pada 1962, urusan perbatasan menjadi perkara yang menghantui mereka yang setiap saat bisa membuka perang baru. Dan beberapa hari lalu, terbetik laporan dari Bloomberg bahwa secara diam-diam AS meminta militer India untuk membuat skenario respon yang akan dilakukan India jika China melakukan invasi ke Taiwan. Skenario merentang mulai dari sekadar mengecam sampai ikut terlibat di dalamnya untuk ikut menyerbu China.

Benarkah analisis dan prediksi Phill Hynes bakal jadi kenyataan? Tentu saja masih bisa diperdebatkan. Namun untuk mengantisipasi skenario terburuk ke depan, kiranya tetap bermafaat untuk kita dalami lebih lanjut.

Diolah kembali oleh Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI) 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com