Asia Pasifik dalam Pusaran Kekuatan-kekuatan Global

Bagikan artikel ini

Rohman Wibowo, Junior Research Associate Global Future Institute (GFI)

Jika pada Perang Dingin kehadiran dan peran negara-negara besar di Asia Pasifik banyak dipengaruhi oleh pola-pola hubungan bermusuhan atau kompetisi antar negara-negara besar (bipolar), maka pada era pasca Perang Dingin ini peran dan kehadiran mereka di kawasan lebih ditentukan oleh kemampuan mereka sendiri untuk: (1) mengeksplorasi dan memanfaatkan peluang-peluang strategis yang terbuka; (2) mengembangkan gesture politik yang dapat mendukung pencapaian sasaran kebijakan mereka dalam rangka pemenuhan national interests; dan (3) menjadikan diri mereka sebagai bagian penting dari konfigurasi politik-keamanan.

Urgensi Kawasan Asia Pasifik

Terdapatnya trend yang menganggap kawasan Asia Pasifik pasca Cold War sebagai kawasan di mana terjadi kompetisi tajam antara negara-negara besar dapat dikaitkan dengan perspektif geopolitik ala geopolitikus ternama berasal Inggris bernama Sir Halford Mackinder. Tulisannya yang berjudul The Geographic Pivot of History yang terbit tahun 1904, menyatakan bahwa daerah pedalaman benua Eurasia merupakan daerah poros (pivot region) politik dan kekuatan dunia.

Mackinder kemudian mengusulkan adanya konsep The Heartland yang membentang mulai dari Laut Baltik dan Laut Hitam di sebelah barat sampai sungai Yenisey di sebelah Timur. Sampai akhirnya ia pun berasumsi seperti ini “bahwa barang siapa yang menguasai Eropa Timur, ia akan menguasai The Heartland (daerah jantung); barang siapa yang menguasai daerah jantung , ia akan dapat menguasai benua Eurasia; dan barang siapa dapat menguasai Eurasia berarti ia akan dapat menguasai dunia”. (Baca: Geografi Politik, 2007)

Melalui logika berpikir geopolitik ala Mackinder, kini regional Asia Pasifik merupakan kawasan poros sekaligus The Heartland yang baru bagi pertarungan kepentingan-kepentingan global. Dalam hal ini, sejak berakhirnya Perang Dingin, kawasan tersebut telah memperlihatkan kemajuan-kemajuan berarti dalam pembangunan ekonomi. Ini antara lain dibuktikan oleh interaksi yang intensif, tidak hanya dalam bidang perdagangan tetapi juga dalam arus investasi dan teknologi. Asia Pasifik kini menjadi intergrated manufacturing region dengan Jepang maupun Cina sebagai motor pertumbuhan ekonomi kawasan.

Adapun dalam konteks politik internasional, terjadinya integrasi yang dapat dilihat melalui terbentuknya kerjasama kawasan dalam balutan forum atau organisasi internasional merupakan fenomena yang menarik, semisal kenyataan politik yang membentuk Trans Pacific Partnershhips (TPP), ASEAN Regional Forum (ARF), Shanghai Cooperation Organization (SCO) hingga East Asia Summit (EAS). Penulis dalam kesempatan kali ini lebih ingin mengulik kerjasama yang terjadi dalam EAS. Kerjasama lintas bidang (Ekonomi, Politik-Kemanan) yang diikuti oleh negara-negara anggota ASEAN plus negara-negara kuat seperti; Amerika Serikat, Cina, Rusia, India, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru ini dalam perkembangannya telah berhasil bertransformasi menjadi kerjasama kemaritiman. How Come?

Pada tahun 2011 lalu, sepakatnya ASEAN dengan kedelapan negara kuat tersebut dalam forum EAS telah mampu menghadirkan kerjasama kemaritiman baru bernama Expand ASEAN Maritime Forum (EAMF), yang mana sebelumnya hanya forum kerjasama kemaritiman internal ASEAN. EAMF ini sendiri berkutat dengan pemenuhan kepentingan menyoal keamanan maritim dan juga konektifitas maritim kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, hakikat negara-negara eksternal kawasan ASEAN yang tergabung dengan EAMF tersebut mempunyai kepentingan kemaritiman terhadap arus pelayaran atau sea lanes of communications (SLoC) dan juga Sea Lanes of Trade (SLoT) atau arus perdagangan internasional yang terdapat dalam kawasan.

Jadi, integrasi melalui forum kerjasama tampaknya menjadi prioritas pemerintah negara-negara Asia Pasifik. Kehadiran kerjasama ini diperuntungkan tidak hanya untuk mendukung legitimasi politik dan ekonomi mereka, namun yang terpenting yaitu bagaimana dapat merealisasikan kepentingan nasional.

Varian Faktor yang Mempengaruhi Sistem Internasional Kawasan Asia Pasifik

Dalam tataran makro strategis, masa depan lingkungan Asia Pasifik pasca-Perang Dingin ditentukan oleh beberapa faktor. Pertama, perimbangan kepentingan prioritas kebijakan Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan Rusia. Interaksi politik dan keamanan antara keempat kekuatan ini akan terus berlangsung selama mereka masih menganggap diri mereka sebagai kekuatan yang memiliki taruhan-taruhan strategis yang besar dan menentukan arah percaturan politik kawasan. Persepsi negara-negara di kawasan mengenai pentingnya kehadiran dan peran keamanan negara-negara besar itu merupakan faktor lain yang mendorong negara-negara besar ini untuk tetap hadir di kawasan.

Asumsi mengenai kehadiran kekuatan besar dalam kawasan pun tersebut hampir senada dengan pandangan Seizaburo Sato (Professor Political Science Tokyo University). Sato mengemukakan “The factor important implication with regard to the Pacific-Asian Security issues within the context of recent global changes in international relations is that the advanced democracies such as the United States, Japan, and the European Economic Community (EEC) countries are playing a central role in developing economic integration and interdependence among non-communist nations, and in this process, the East Asian Countries (China in context) have registered marked economic growth.” (Baca: Regional Dynamics; Security, Political, and Economic Issues in the Asia Pacific Region, 1990).

Kedua, masalah duo Korea. Masalah tersebut akan tetap menjadi determinan utama dari kebijakan-kebijakan keamanan negara-negara di Asia Pasifik. Korea yang bersatu di bawah pemerintahan Seoul mungkin akan lebih kuat dan independen, tetapi dapat menimbulkan persoalan-peersoalan perbatasan dengan Cina, dan jika ini terjadi, akan merubah secara radikal pertimbangan-pertimbangan keamanan dan kebijkaan luar negeri Korean successor maupun  negara-negara besar tetangganya.

Selanjutnya, proses unfikasi ini, apakah secara damai atau  kekerasan, akan mempengaruhi stabilitas regional. Tetapi, tanpa unifikasi sekalipun, potensi untuk timbulnya ketidakstabilan tetap tinggi. Korea Utara yang dipersenjatai oleh nuklir menjelaskan pentingnya Semenanjung Korea bagi stabilitas dan keamanan kawasan. Namun, Korea yang bersatu dan dipersenjatai oleh kekuatan nuklir juga akan semakin memperumit masalah-masalah regional dan kebijkan luar negeri negara-negara di kawasan.

Ketiga, faktor energi kawasan. Sejalan dengan perkembangan di bidang ekonomi, perkiraan mengenai perhitungan akan keperluan bahan energi cepat atau lambat akan mengakibatkan ketegangan-ketegangan militer antar negara-negara yang menuntut kedaulatan atas wilayah laut yang mengandung kekayaan mineral strategis, misalnya Laut Cina Selatan dan Kepulauan Natuna. Oleh karena itu, perkiraan tentang kemungkinan terjadinya perebutan dan tuntutan wilayah yang kaya akan bahan – bahan energi di dasar laut maupun di lepas pantai akan masuk dalam perhitungan-perhitungan strategis negara-negara besar di kawasan.

Aktor- Aktor Pemegang Kunci Kawasan

Untuk melakukan mapping guna meneropong konstelasi politik internasional kawasan Asia Pasifik, esensi Power setiap negara merupakan daya tawarnya. Hal ini sebangun dengan asumsi Henry Kissinger yang berasumsi “ power was relatively homogeneous; its various elements- economic, military or political- complemented one another. (Baca: Foreign Policy; Crisis, Does America Need a Foreign Policy. 2002) Melalui Kriteria Kissinger terkait esensi power yang harus dimiliki oleh setiap negara, dapat dikatakan bahwa eksistensi negara seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan Rusia adalah pemain kunci dalam kawasan.

Jepang. Pasca Perang Dingin, negara yang ber-ibukota Tokyo ini semakin menjadi kekuatan ekonomi yang mampu mengimbangi Eropa dan Amerika Serikat. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi dan pengembangan teknologi Jepang telah menyumbang pada pengembangan kemampuan militer. Meskipun peran keamanan dan regional Jepang masih menghadapi kendala-kendala domestik dan internasional, ada pentunjuk kuat bahwa Jepang semakin asertif dan keterlibatannya yang semakin besar dalam masalah-masalah keamanan semakin nyata.

Supremasi akan kekuatan militer Jepang akan terwujud tatkala Jepang dapat menjalankan strategi otonomi keamanan dan menjadi negara besar dalam pengertian yang tradisional. Kemungkinan ini didasarkan atas kallkulasi bahwa komitmen keamanan Amerika Serikat kini tidak dapat diandalkan lagi dan bahwa lingkungan keamanan regional menjadi kurang aman. Dalam opsi demikian, Jepang akan menampilkan postur militer yang ofensif dan memiliki kapabilitas proyeksi kekuatan. Dengan membangun kekuatan militernya, Jepang sekurang-kurangnya akan memperoleh prestise internasional, dan status yang demikian ini memungkinkan Jepang memiliki leverage untuk memaksa negara lain bertindak sesuai dengan kepentingan Jepang. (Baca: Post Cold War Security Issues in the Asia pacific Region, 1994)

Cina. Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, pengembangan teknologi yang semakin canggih serta anggaran belanja pertahanan yang terus meningkat memungkinkan Cina membangun kemampuan militer dan ekonominya. Transformasi yang begitu cepat dalam kapabilitas Cina dan kemungkinan-kemungkinan instabilitas domestik Cina menimbulkan kekhawatiran mengenai bagaimana Cina menjalankan kepentingan-kepentingan regionalnya. Bahwa Cina tetap menjalankan perannya sebagai produser senjata utama dan melanjutkan pembangunan sistem persenjataan yang canggih adalah sebuah fakta yang semakin memperbesar kekhawatiran mengenai perilaku Cina. Lebih lanjut, hubungan Cina dengan tetangganya di kawasan memiliki potensi untuk menyumbang pada keamanan kawasan dan pembangunan ekonomi, tetapi juga dapat menjadi sumber ketidakamanan kawasan. Singkatnya, ekonomi dan pembangunan ekonomi Cina dapat menjadi sumber stabilitas sekaligus ketidakstabilan kawasan.

Di samping itu, Cina dapat dipersepsikan sebagai ancaman karena beberapa alasan yaitu; (1) Cina adalah kekuatan imperial dengan sejarah masa lalu yang diwarnai oleh ekspansi dan dominasi militer; (2) Cina kini adalah negara yang sedang tumbuh dan dipandang mampu menantang hirarki kekuatan yang telah mapan dan karenanya bisa mengancam stabilitas keamanan; (3) Cina adalah negara yang selalu dianggap kurang puas dengan kedaulatan teritorial dan perbatasannya dan karena itu mencoba mengatasi ketidakpuasan tersebut dengan cara-cara militer; (4) Pembangunan kekuatan militer Cina yang demikian pesat termasuk kekuatan lautnya;  dan (5) Kebutuhan energi dan pangan Cina akan semakin meningkat dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut Cina tidak akan segan-segan untuk menggunakan cara-cara kekerasan atau akuisisi wilayah. (Baca: Hakikat Peran dan Kehadiran Keamanan Negara-negara Besar di Asia Pasifik, 1997)

Amerika Serikat. Kapabilitas militer AS yang hadir di Asia Pasifik pasca Cold War menunjukan kemajuan yang signifikan. US Pacific Fleet atau kekuatan naval berupa kehadiran pangkalan militer AS di laut Asia Pasifik merupakan eksistensi AS dalam kawasan. Dalam hal ini, US Pacific Fleet yang ketiga bermakas di Eastern Pacific dan yang ketujuh bermakas di Western Pacific dan Indian Ocean. (Lihat: cpf.navy.mil)

Eksistensi naval power AS tersebut harus dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan keseimbangan antara negara-negara besar dan mencegah kekuatan hegemon mendomninasi kawasan. Di lihat dari perspektif ini, AS kelihatannya mulai menjauhi perannya semasa era Perang Dingin sebagai hegemon menuju peran baru sebagai pengimbang terhadap kemungkinan munculnya hegemon potensial. Di sini artinya, sasaran strategi balance of power yang dimaksud bukan hanya untuk menghadapi bahaya dari masa depan sistem politik internasional, semisal ancaman yang datang dari Cina seiring memanasnya sengketa Laut Cina Selatan, tetapi juga proliferasi senjata nuklir Korut. Pada akhirnya, geliat manuver politik luar negeri AS di bawah presiden Trump akan mengisi babak baru percaturan politik internasional kawasan yang nantinya dapat dilihat dari setiap tindakan rasional politiknya.

Rusia. Negara pimpinan Vladimir Putin ini kini sedang merumuskan kembali perannya dalam tatanan internasional dan menilai kembali kepentingan-kepentingan regional dan globalnya. Ada beberapa faktor yang membentuk kehadiran dan kebijakan Rusia di Asia Pasifik. Pertama, hubungan kemitrannya dengan Cina. Sebagai kekuatan dominan yang sedang tumbuh, negara pimpinan presiden Xi Jin Ping tersebut menempati tempat  penting dalam kebijakan Asia Pasifik Rusia. Kemitraan yang dibuktikan dengan terbentuknya Shanghai Cooperation Organizations (SCO) di tahun 2001 lalu itu, telah menunjukan bahwa Rusia memandang Cina sebagai kekuatan dari mana keuntungan-keuntungan dalam konteks ekonomi, politik dan keamanan dapat diperoleh sekaligus dijadikan sebagai peluang dan kemungkinan politik dalam mengarungi persaingan dalam kawasan.

Kedua, faktor reformasi ekonomi Rusia. Proses reformasi ekonomi Rusia tidak dapat terus-menerus tergantung pada Eropa dan Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Pasifik, khususnya Jepang dan Korea Selatan terlepas Cina dapat menjadi sumber potensial. Karena kepentingannya itu, Rusia harus tetap merasa perlu berpatisipasi dalam struktur ekonomi maupun kawasan Asia Pasifik.

Pada akhirnya, dengan sedemikian geliat lintas negara yang dikemukakan diatas, akan semakin menambah catatan hipotesa para pemikir hubungan internasional untuk kembali menganalisa masa depan sekaligus dinamika yang akan muncul dari percaturan politik antar negara dalam kawasan yang meminjam istilah Mackinder disebut sebagai The Heartland.

*Tulisan ini dimuat kembali oleh redaksi untuk keperluan pendidikan publik

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com