Asing Sedang Asyik Mengakuisisi Rumah dan Pekarangan Kita

Bagikan artikel ini

Kontemplasi Kecil Geopolitik atas Dinamika Pilpres 2024

Pilpres 2024 mutlak harus dikelola dengan cermat, amanah, benar dan konseptual baik secara inward looking maupun outward looking (melihat/tampak luar). Janganlah hanya melihat kedalam (inward looking) saja.

Kenapa begitu?

Betapa di tengah kian memanasnya suhu geopolitik global, entah konflik Rusia melawan Ukraina didukung Barat yang tak kunjung usai, ataupun konflik (lokal) antara Palestina versus Israel yang telah menjalar menjadi konflik kawasan, regional, bahkan konflik global karena sudah melibatkan para adidaya. Hal ini membuktikan asumsi, bahwa konflik lokal adalah bagian dari konflik global.

Menihilkan outward looking, misalnya, ibarat para elit dan bangsa ini: “seperti berebut makanan di meja, tanpa menyadari bahwa rumah dan pekarangannya tengah diambil-alih oleh pihak (asing) luar”. Tampaknya, skenario inilah yang kini berlangsung secara sistematis, masive dan senyap, namun mayoritas bangsa ini nyaris tak menyadari.

Indonesia hari ini dan esok, jika tanpa pemahaman serta pengelolaan secara inward and outward looking dalam bernegara, niscaya akan tetap dijadikan lapangan tempur bagi kepentingan-kepentingan asing. Ya. Cuma menjadi medan kurusetra (proxy war) para pihak (eksternal), khususnya para adidaya dalam rangka berebut geoekonomi di negeri kita.

Flashback sejenak. Secara konstitusi, sejak UUD 1945 diamandemen (1999-2002) oleh kaum neoliberal (neolib), saya kerap menyebut kaum neolib ini dengan istilah ‘bablasan reformasi’, mengapa? Bahwa 6 (enam) tuntutan reformasi sebenarnya sudah selesai dan terpenuhi melalui 12 (dua belas) TAP MPR yang terbit dalam kurun waktu 1998-1999. Tetapi, kelompok neolib ‘membablaskan’ eforia rakyat. Lepas dari kungkungan Orde Baru, rem reformasi dibuat blong, sehingga tindakan kelompok tersebut mengobrak-abrik konstitusi nyaris tak ada protes dan gugatan. Bahkan salah satu tokoh neolib mengklaim dirinya sebagai the Second Founding Fathers.

Kaum inilah yang membongkar pasal demi pasal di Batang Tubuh UUD 1945. Mereka menghapus kolom Penjelasan, misalnya, atau menihilkan Bab IV, mengganti pasal-pasalnya menjadi liberalistik sesuai pesanan asing sehingga konstitusi sekarang berubah individualis lagi kapitalistik.

Yang lebìh miris lagi, tidak ada satu pun produk hukum (Ketetapan/TAP MPR) yang mencabut UUD 1945 Naskah Asli, dan tak satu pun TAP MPR yang mengesahkan UUD NRI 1945 alias UUD 2002. Jadi, sebenarnya ada 2 konstitusi beroperasi di republik ini. Secara de jure, UUD 1945 Naskah Asli masih berlaku, secara de facto, UUD NRI 1945 alias UUD 2002 yang beroperasional. Tak sedikit pakar Hukum Tata Negara memahami dualisme ini, tetapi nyaris semuanya njegideg. Entah kenapa. Mereka diam seribu bahasa.

Menyandingkan perilaku perubahan dengan lain negara, contohnya, Amerika (AS) saja —jagonya demokrasi liberal— sudah 27 kali mengubah konstitusi, namun naskah asli ‘Declaration of Independence tetap utuh. Tidak diotak-atik. Para elit politik AS menghormati the Founding Fathers-nya. Perubahan konstitusi diletak di adendum. Ditaruh pada lampiran. Demikian pula India, meski sudah 100-an lebih konstitusinya diubah dan diamandemen, tapi Naskah Asli tetap orisinil. Utuh. Mereka menjunjung tinggi karya agung pendiri bangsanya.

Jadi, selama bangsa ini menggunakan UUD NRI 1945 hasil amandemen empat kali UUD Naskah Asli, selain kualat, mungkin ‘nasib’ bangsa ini tinggal menghitung hari. Barangkali. Semoga tidak. Ya, kalau tidak seperti Uni Soviet, pecah berkeping-keping. Jangan-jangan, bangsa ini akan menjadi Absentee of Lord seperti Aborigin di Australia, suku Indian di AS, atau Melayu di Singapura. “Tuan tanah yang tidak berpijak di tanahnya sendiri”. Tanah Air, mungkin nanti tinggal ‘air’-nya thok, tanahnya dikavling-kavling entah oleh siapa. Bahkan airnya pun harus membeli karena sudah dikemas dalam botol-botol atas nama bisnis dan investasi.

Nah, simpulan awal pada uraian singkat lagi sederhana di atas, bahwa bangsa ini harus sadar diri, bangkit dan bergerak secara benar melalui langkah awal kembali ke UUD 1945 Naskah Asli sesuai rumusan pendiri bangsa.

Di publik, memang tengah bergulir konsepsi dari sekelompok ‘kembang sore dan bunga-bunga sedap malam’ menawarkan road map untuk balik ke UUD 1945 Naskah Asli. Namun, hanya dua konsep perubahan yang mencuat di permukaan baik di publik maupun di Senayan atau di parlemen. Antara lain yaitu:

Pertama, melalui Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang digulirkan Bambang Soesetyo, Ketua MPR RI. Konsep ini berbasis amandemen ke-5 via pasal 37 UUD NRI 1945. Artinya apa, PPHN ini melanjutkan empat kali amandemen (1999, 2000, 2001, 2002) sebelumnya. Dengan kata lain, konsep ini identik setuju terhadap liberalisasi konstitusi selama ini. Bila diibaratkan orang tersesat, PPHN melanjutkan ketersesatan pada amandemen ke-1, 2, 3 dan ke-4. Niscaya, selain bakal tambal sulam, konsepnya juga menduga-duga;

Kedua, lewat Lima Proposal Kenegaraan yang ditawarkan oleh LaNyalla Mattalitti, Ketua DPD RI yang telah disampaikan pada Pidato Kenegaraan, Rabu, 16 Desember 2023 di Senayan, Jakarta. Konsep ini mengajak kembali ke titik nol. Balik ke UUD 1945 sesuai rumusan Pendiri Bangsa melalui Peta Jalan. Adapun poin inti Peta Jalan dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dengan diisi oleh utusan-utusan komponen masyarakat tanpa ada yang ditinggalkan;

Kedua, membuka peluang anggota DPR berasal dari perorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tak hanya diisi dari unsur partai politik saja. Ini memastikan bahwa proses pembentukan UU tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja, tetapi secara utuh dibahas oleh perwakilan daerah yang berbasis provinsi;

Ketiga, memastikan Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG) diisi secara bottom up/dari bawah. Bukan ditunjuk Presiden sebagaimana pernah terjadi di era Orde Baru;

Keempat, memberikan wewenang untuk pemberian pendapat kepada UD dan UG terhadap materi RUU yang dibuat oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi keterlibatan publik secara utuh dalam pembahasan UU di DPR;

Kelima, menempatkan peran Lembaga Negara yang dibentuk di Era Reformasi secara tepat, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan Sistem Demokrasi Pancasila.

Atas dua konsep di atas, silakan saudara-saudara memilih mana: “PPHN atau Lima Proposal Kenegaraan?”

Menurut hemat penulis, agar kita tidak dicap bangsa kualat, itu bisa mendapat bencana karena berbuat kurang baik pada leluhur. Sekali lagi, sebaik-baiknya pilihan —menurut hemat penulis— adalah Lima Proposal Kenagaraan.

Kenapa demikian?

Sebab, selain bukan konsep orang per/orang, naskah tersebut merupakan Hasil Sidang Paripurna DPD RI, pada 14 Juli 2023 dan sudah disampaikan di Pidato Kenegaraan pada Rabu, 16 Agustus 2023 di depan Presiden dan Wakil Presiden, para Ketua Lembaga Tinggi Negara, Ketua Partai Politik, Dubes Negara seDunia, anggota MPR/DPR/DPD, para Raja dan Sultan seNusantara, para Kepala Suku, dan lain-lain.

Hngga kini, Lima Proposal dimaksud nyaris tidak ada sanggahan, serta telah disosialisasikan ke berbagai daerah dan elemen bangsa oleh perangkat DPD RI.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com