“Balada Kodok Gendut”

Bagikan artikel ini
Metafora Geopolitik
Bagaimana mungkin sebuah negeri kaya sumber daya alam (SDA) akan jatuh miskin, sedang keberadaan (kelahiran)-nya atas berkat rahmat Yang Maha Kaya?
Namun, bisa saja negeri kaya SDA tadi menjadi miskin semiskin-miskinnya bila rahmat Tuhannya dicabut. Ibarat balon, ia kempes karena anginnya lepas.
Nah, ilustrasi di atas, konteksnya adalah Kedaulatan Tuhan. Kekuasaan dan otoritas tertinggi bertumpu pada Ilahi. Aku sak dermo nglakoni;
Atau,
Ia —negara dimaksud— berubah paria tatkala dipimpin orang-orang tak amanah dan suka mengolok-olok Tuhan. Isuk delai sore tempe. Negeri itu akan jatuh melarat (padahal kaya raya) akibat perilaku korup para elit, misalnya, atau adigang adigung adiguno, sikap jumawa, sopo siro sopo insun.
Pada konteks ini, yang berlaku adalah kedaulatan konstitusi. Kekuasaan serta otoritas tertinggi pada konstitusi dan aturan turunannya.
Adakah korupsi menjadi peradaban pada suatu bangsa, lalu perilaku korup dianggap budaya serta menjadi kebiasaan berulang?
Jawabannya, “Ada!” Bahkan jumlahnya mungkin tak sedikit di muka bumi.
Dalam praktik (geo) politik kerap ditemui, selain sistem plutokrasi, contohnya, ataupun oligarki dan seterusnya, terdapat pula sistem kleptokrasi. Ya. Kleptokrasi ialah sistem pemerintahan korup, didominasi individu atau kelompok yang menyalahgunakan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sistem ini biasanya menjangkit pada negara berkembang dan/atau negara gagal yang bergantung dengan SDA. Dalam kegiatan ekspor impor SDA, misalnya, itu salah satu bentuk rente ekonomi yang mudah dijalankan tanpa mengakibatkan pendapatan menurun. Mereka mengutip fee di depan baik ekspor-impor maupun aktivitas pajak dan ekonomi lainnya.
Atau, dampak dari high cost politics sehingga ketika si fulan duduk di takhta kekuasaan, maka kewenangannya ia pakai untuk balikin modal.
Rezim kleptokrasi cenderung melanggengkan sistem manipulatif pada satu sisi, sehingga perilaku koruptif memang diproduksi dan terproduksi melalui sistem itu sendiri; sedang di sisi lain, sebagian rakyat termanipulasi oleh citra, bahkan ‘jatuh cinta’ kepada kaum penjajah yang menindasnya. Klop. Dalam sistem koruptif, kerap kali terjadi pemujaan (kultus individu) sebagian rakyat terhadap para elit dan sosok tertentu yang sebenarnya tengah menipunya.
Maka, bangsa di negeri tersebut ibarat kodok sebagaimana digambarkan pada studi biologi tentang kodok dalam buku “The Winner Stands Alone“-nya Paulo Coelho, penulis novel dari Brazilia.
Adapun poin singkat studi tentang kodok tersebut, narasinya sebagai berikut:
Narasi ke-1: “Jika seekor kodok ditaruh dalam panci berisi air kolam, kemudian airnya dipanaskan secara perlahan, ia akan tetap bertahan dalam panci. Kodok itu tidak bereaksi terhadap meningkatnya suhu dalam panci serta diam saja atas perubahan sekeliling. Ketika air mendidih, kodok pun mati dalam keadaan gendut dan bahagia”;
Atau,
Narasi ke-2: “Ketika kodok tersebut dicemplungkan dalam sepanci air mendidih, niscaya langsung bereaksi. Ia melompat keluar dengan kulit terkelupas, tetapi tetap hidup”.
Nah, meningkatnya suhu dan perubahan lingkungan di sekeliling kodok pada (analog) narasi ke-1, dalam realitas geopolitik disebut dengan istilah isu dan/atau lingkungan strategis yang bergerak (dan berubah). ‘Peningkatan suhu dalam panci’. Isu dimaksud ialah perubahan lingkungan strategis baik global, regional maupun lokal/nasional yang mutlak harus disikapi sesegera mungkin.
Sedang analog (narasi ke-2) contohnya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Rakyat langsung bereaksi cepat ketika terjadi upaya pendudukan oleh kelompok negara kolonialisne. Memang berdarah-darah serta banyak korban, namun bangsa ini (selamat) lepas dari penjajahan.
Dalam hal isu bergerak, jika tanpa antisipasi cepat lagi akurat atas perubahan lingkungan, cenderung membuat si kodok terlena. Ia berendam terus di panci yang suhunya kian lama mendidih, dan akhirnya mati dalam keadaan gendut seolah-olah ‘mati bahagia’ padahal mlocot. Mengenaskan.
Solusi agar tak terdadak, seyogianya setiap bangsa memiliki instrumen fleksibel yang dilekatkan dalam konstitusi guna menyikapi keniscayaan perubahan, bukan malah menutup diri (melalui konstitusi) atas perubahan yang terjadi. Itu keliru besar. Big blunder.
Beberapa istilah berkembang di publik memotret amandemen empat kali UUD 1945 (1999, 2000, 2001 dan 2002). Ada yang menganggap kudeta konstitusi; ada yang menyebut sebagai bunuh diri massal ala reformasi; ada pula pandangan bahwa amandemen UUD 1945 dinilai sebagai ‘sikap menutup diri’ atas perubahan isu dan lingkungan strategis (justru melalui konstitusi). Sontoloyo. Terutama amandemen ke-4 (2002), ketika kaum reformis mengubah status MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara. Sekali lagi, inilah big blunder bangsa ini cq kaum reformis (gadungan). Sebuah kesalahan besar dalam perjalanan bangsanya.
Mengapa begitu?
Akibat downgrade dan perubahan kedudukan MPR menjadi lembaga tinggi, gilirannya — setiap sikap responsif guna menyongsong perubahan selalu menemui jalan buntu alias deadlock. Padahal, perubahan ialah keniscayaan.
Ya. Ketika kedaulatan rakyat dibajak, dan MPR —penjelmaan rakyat— menjadi lembaga tinggi selevel BPK, DPR, Presiden, MK dan lain-lain, maka negeri ini tidak lagi memiliki ‘pucuk piramida’ kekuasaan. Semua lembaga negara sifatnya flat. Setara.
Pertanyaannya, lembaga mana akan memimpin perubahan jika MPR tidak lagi berwenang menerbitkan Ketetapan/TAP yang sifatnya regeling alias mengatur guna menyikapi perubahan?
Jawabannya: “Tidak ada, alias nihil”. Jadi, tatkala ada wacana jabatan presiden diubah menjadi tiga periode karena program infrastruktur tak cukup waktu dalam dua periode, alhasil berujung gagal. Isu perubahan tak terakomodir. MK menolaknya sebab tidak ada aturan dalam konstitusi, dan MPR tidak lagi berwenang mengatur via TAP-nya;
Atau, ingin perpanjangan waktu masa jabatan presiden, ini diprakirakan bakal menuai kegaduhan. Lagi-lagi, selain wacana perpanjangan waktu melanggar konstitusi, mengada-ada, juga nyaris semua partai politik menolak. Jadi, entah lewat ‘jalan tikus’ manapun, dipastikan buntu. Ada portal menganga di depan mata.
Satu-satunya jalan mutlak harus kembali ke UUD 1945 karya agung The Founding Fathers.
Tanpa tahapan kembali ke UUD Naskah Asli dan mengembalikan kedaulatan rakyat (MPR balik menjadi Lembaga Tertinggi Negara), maka bangsa ini ibarat kodok yang melompat-lompat di sekitar sumur. Terlihat asyik dan dinamis di atas permukaan, namun sejatinya jalan di tempat, sementara perubahan terus berjalan, jauh meninggalkan kodok dan sumurnya.
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com